Pak Jokowi, RI Punya Banyak "PR" Untuk Genjot Ekonomi Digital

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 October 2019 11:04
Ini Sabrek PR Indonesia Kalau Mau Genjot Ekonomi Digital
Foto: Pedagang menjajakan dagangannya dengan sistem pembayaran cashless di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Ekonomi digital di Indonesia ditopang e-commerce dengan pertumbuhan yang paling pesat. Menurut studi e-Conomy SEA 2019, nilai GMV e-commerce di Indonesia pada 2015 mencapai US$ 1,7 miliar dan naik signifikan menjadi US$ 21 miliar pada 2019.

Itu artinya industri e-commerce tumbuh dengan laju 88% per tahun. Pertumbuhan yang fantastis tentunya. Industri e-commerce ini diprediksi akan mencapai nilai GMV sebesar US$ 82 miliar pada 2025. Oleh karena itu aspek logistik jadi penting dalam ekonomi digital.

Setiap tahunnya Bank Dunia merilis data performa logistik tiap negara dalam bentuk Indeks Performa Logistik (IPL). Aspek yang diukur antara lain adalah bea cukai, infrastruktur, pengiriman internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan penelusuran, serta ketepatan waktu.

Berdasarkan laporan tersebut Indonesia masih berada di peringkat bontot jika dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Indonesia hanya unggul dari Filiphina.

Apabila dilihat lebih lanjut per kategori yang dinilai maka Indonesia hanya unggul di ketepatan waktu. Skor indeks ketepatan waktu Indonesia berada di atas rata-rata negara Asia Tenggara lain. Artinya Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah pada aspek logistiknya.

Selanjutnya dari sisi talent/SDM & skill, Indonesia ternyata juga masih punya PR. Ketersediaan dan kapabilitas sumber daya manusia merupakan faktor krusial dalam ekonomi maupun bisnis. Pasalnya dengan tersedianya SDM yang mencukupi dan kemampuan yang efektif, produktivitas akan terdongkrak. Seperti kita ketahui bersama produktivitas merupakan salah satu metrik penting dalam ekonomi maupun bisnis.

Mengutip laporan Bank Dunia, ketersediaan dan kemampuan tenaga kerja merupakan faktor yang sangat penting dalam hal menarik investor asing untuk menggelontorkan dananya ke suatu negara. 

Pada 2019, setidaknya tercatat ada 136,2 juta angkatan kerja. Sebanyak 49% bekerja di sektor jasa. Namun lebih dari 50% bekerja sebagai buruh dan bekerja di sektor informal. Setiap tahunnya rata-rata jumlah angkatan kerja bertambah 1,81 juta.

Namun, permintaan tenaga kerja digital mencapai 600 ribu/tahun menurut Giri Kuncoro, Software Engineer Gojek. Artinya dari pertambahan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya kalau dilihat dari segi demand, 30% membutuhkan kemampuan digital. Jumlah tersebut masih belum dapat terpenuhi.

Kalau ini terus terjadi hingga 10 tahun ke depan, maka akan ada gap hingga 6-7 juta. Menurut estimasi Bekraf di tahun 2030 jumlah kebutuhan tenaga kerja untuk ekonomi digital mencapai 17 juta.

Well, berarti secara kuantitas tenaga kerja Indonesia untuk ekonomi digital masih kurang. Secara kemampuan digital Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lain.

Menurut World Digital Competitiveness Report yang dirilis oleh lembaga riset global IMD, untuk skill digital Indonesia berada di peringkat 41, masih kalah dengan Malaysia dan Singapura. Sebagai pembanding juga ditampilkan evaluasi skills menurut laporan World Economic Forum (WEF) yang berjudul The Network Readiness Indeks yang mengukur kemampuan masyarakat dalam menggunakan ICT secara efektif.

Untuk menambal kesenjangan itu, pemerintah perlu kerja sama yang solid dengan berbagai institusi seperti pendidikan tinggi dan vokasi untuk mengkaji kurikulum.

Kebutuhan skill di bidang data science, artificial intelligence dan big data analytics ke depan akan semakin tinggi sehingga selain masalah kurikulum, masalah upskilling dan reskilling juga jadi hal yang penting mengingat bahwa sebenarnya populasi uisia produktif di Indonesia tergolong tinggi dengan adanya bonus demografi. Sebagai catatan, lebih dari 50% populasi Indonesia berada di bawah 30 tahun. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


(twg/roy)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular