Pelapak Asing di Toko Online

Seakan di Atas Angin, Tapi Toko Online Banyak Beri Problem?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 July 2019 07:31
Seakan di Atas Angin, Tapi Toko Online Banyak Beri Problem?
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah bukan rahasia lagi kalau industri e-commerce tengah berkembang dengan pesat di Indonesia.

Bayangkan saja, di tahun 2018, nilai transaksi e-commerce di Indonesia sudah mencapai US$ 12,2 miliar atau setara Rp 173,2 triliun (asumsi US$1= Rp 14.200) atau naik hingga 617,6% dari tahun 2015, berdasarkan laporan yang dirilis Goolgle bersama Temasek.

Dalam laporan yang sama, volume transaksi e-commerce Tanah Air akan menyentuh level US$ 53 miliar (setara Rp 752,6 triliun) di tahun 2025. Bila ramalan Google tepat, maka saat itu industri e-commerce akan menyumbang sekitar 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sumber: Google dan Temasek


Indonesia Memimpin

Mengingat jumlah penduduk yang masuk peringkat empat terbanyak di dunia, tidak heran jika industri e-commerce Indonesia merupakan yang terbesar di antara negara-negara ASEAN.

Perbandingannya, Thailand yang merupakan peringkat ke-2 hanya memiliki nilai transaksi US$ 3 miliar di tahun 2018, dan diprediksi US$ 13 miliar di tahun 2025.

Mau bagaimanapun juga, perkembangan industri penjualan barang-barang ritel akan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, konsumsi juga makin banyak.

Disrupsi Teknologi

Perkembangan teknologi seringkali man menyebabkan gangguan pada sistem yang sudah ada sebelumnya. Terkait dengan industri e-commerce yang memanfaatkan platform berbasis internet, aktivitas penjualan ritel konvensional tentu akan terkena dampaknya.

Prilaku konsumen berubah seiring adanya perkembangan teknologi. Yang tadinya belanja bulanan dilakukan secara rutin di supermarket-supermarket besar, kini konsumen mulai menggemari belanja kebutuhan sehari-hari secara online.


Pajak Tak Seimbang


Salah satu faktor yang boleh jadi menjadi penyebab ritel konvensional semakin tertekan adalah perlakuan pajak yang tidak setara. Sebenarnya tidak ada perbedaan perlakuan bagi pelaku bisnis online dan konvensional. Keduanya terikat pada peraturan pajak yang sama. Ada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Badan usaha yang memiliki perputaran uang (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar/tahun hanya dikenakan PPh Final sebesar 0,5% dan beban PPN. Namun untuk yang telah memiliki omzet lebih dari Rp 50 miliar/tahun akan dikenakan PPh Badan 25% dan PPN 10%. Secara umum demikian.

Masalahnya, para penjual yang menjajakan barang dagangannya melalui e-commerce sulit untuk ditagih pajaknya. Bukan hanya sulit ditagih, pemerintah juga semakin sulit untuk mendapatkan data pajak secara akurat.

Hal itu disebabkan karena hingga saat ini, data merchant yang terekam di masing-masing e-commerce belum banyak yang terhubung dengan identitas wajib pajak, seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Berbeda dengan penjual konvensional yang perlu melengkapi seluruh dokumen administrasi untuk membuka usaha atau toko. Semua data terekam dengan baik sehingga proses penagihan lebih mudah.

Perbedaan perlakuan itulah yang ujungnya menyebabkan perbedaan harga jual ke konsumen. Seringkali, harga jual produk yang sama di toko online lebih murah ketimbang di toko-toko fisik.

Hal itu juga telah dikeluhkan oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Wakil ketua Aprindo, Tutum Rahanta, menyuarakan bahwa perbedaan perlakuan antara si online dan si offline menyebabkan iklim persaingan usaha yang tak sehat.

"Yang saya masalahkan adalah keadilan di persaingan. Apapun yang dijual dan beredar di Indonesia itu harus sama-sama bayar pajak, mengurus SNI, BPOM," kata Tutum kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/7/2019).

Atas alasan perubahan prilaku konsumen dan ketidakadilan penerapan peraturan perpajakan, pemandangan tutupnya gerai ritel konvensional di berbagai lokasi di Indonesia bukan lagi hal yang aneh.

Teranyar, enam gerai Giant yang merupakan salah satu brand supermarket di bawah naungan PT Hero Supermarket Tbk (HERO) mengumumkan penutupannya pada bulan Juni 2019.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>>


Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah pernah berupaya mengembalikan keadilan persaingan usaha. Pada Januari 2019 silam, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri (PM) Keuangan No. 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 210).

Salah satu hal penting yang diatur dalam peraturan tersebut adalah kewajiban penyertaan NPWP untuk setiap pedagang di e-commerce. Jadi, pengelola platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee dan yang lain wajib mensyaratkan setiap pedagang untuk memasukkan NPWP ke dalam database. Baik pedagang lama maupun baru.

Peraturan tersebut akan memudahkan pemerintah untuk mencatat dan mendata aktivitas perpajakan di dunia maya. Namun sayangnya, akibat desakan dan bisikan berbagai pihak, Sri Mulyani mencabut peraturan tersebut pada bulan April 2019. Dengan demikian, aktivitas perpajakan di dunia maya kembali gelap gulita. Sementara peritel konvensional kembali berada di posisi yang tidak diuntungkan.

Ketidakpastian Meningkat

Di satu sisi, penarikan PMK 210 bagi beberapa pihak, seperti Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) merupakan angin segar. Satu penghalang bagi masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha melalui jalur online kembali sirna. Harapannya, pertumbuhan penjualan online dan industri e-commerce bisa semakin cepat. 

Namun ada dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh prilaku 'maju-mundur' penerapan kebijakan tersebut selain ketidakadilan persaingan yang sebelumnya sudah disebutkan. Hal itu adalah ketidakpastian iklim usaha.

Sumber: World Bank


Kala pemerintah dibuat seakan tidak punya fondasi untuk mengambil sikap, saat itulah investor takut untuk menanamkan modal. Sebab, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Bank Dunia, faktor utama yang menjadi penentu keputusan investasi adalah stabilitas politik dan keamanan. Sementara faktor kedua terbesar adalah kepastian hukum dan perundangan.

Adapun keringanan pajak hanya berada di urutan ke-7 sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan investasi. Padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi ) sudah sangat sering mengingatkan akan stimulus investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.


E-Commerce Membuka 'Tol Impor'


Hal lain yang menjadi perhatian akhir-akhir ini adalah kemudahan yang diberikan sejumlah aplikator e-commerce untuk melakukan impor. Contohnya di Lazada dan Shopee kini ada barang dagangan yang langsung dikirim dari China.

Uniknya, sebagian barang-barang tersebut menawarkan ongkos kirim yang sangat minim. Salah satu kasus dimana sebuah kamera digital seharga Rp 300.000 yang dikirim langsung dari China ke Jakarta hanya dikenakan ongkos kirim Rp 10.000. Sama dengan ongkos kirim dalam kota Jakarta.

Memang, harus dipahami bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk melakukan impor. Baik melalui e-commerce asing seperti Taobao atau Alibaba, maupun lokal punya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kemudahan impor yang ditawarkan e-commerce lokal berpotensi mendorong prilaku impor yang konsumtif bagi masyarakat Indonesia.

Jika penarikan PMK 210 dianggap sebagai penghapusan barrier untuk melakukan usaha, maka kemudahan yang diberikan e-commerce juga telah mencabut penghalang impor bagi konsumen.

Alhasil boleh jadi nanti toko-toko online akan semakin dibanjiri oleh produk-produk impor dan semakin menggeser posisi produk lokal. Ujung-ujungnya, industri dalam negeri jadi kurang dukungan dari pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA




(taa/roy) Next Article Kejutan, Shopee Geser Tokopedia Jadi Raja e-Commece RI

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular