
Kredit Macet Tembus 3,18%, Apa Kata Asosiasi Fintech?
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
28 March 2019 19:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut rasio pinjaman macet perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending per Februari mencapai 3,18%. Selain itu, rasio kredit kurang lancar juga tercatat sebesar 3,17%.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menjelaskan kenaikan pinjaman macet disebabkan terbatasnya variabel analisa credit scoring yang bisa diakses perusahaan fintech. Akibatnya, fintech kerap keliru memahami perilaku peminjam yang diloloskan.
"Dengan pembatasan hanya boleh mengakses tiga variabel itu membuat kecerdasan credit scoring Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi konsumen yang baik menjadi berkurang," jelas Kus, sapaan Kuseryansyah, kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/3/2019).
Kuseryansyah menjelaskan, proses credit scoring merupakan proses yang harus dilalui penyelenggara untuk menentukan layak atau tidaknya konsumen untuk dipinjami uang. Setidaknya di awal kemunculannya, penyelenggara memiliki 15 variabel untuk menganalisa konsumen.
Kemudian, OJK membatasi menjadi 3 variabel analisa saja yang boleh dipakai penyelenggara, yakni kamera, microphone dan lokasi. Pembatasan ini dilakukan OJK sejak Oktober 2018 menyusul maraknya praktek penagihan yang mengarah pada kekerasan.
"Kalau dulu lebih terbuka untuk dianalisa. Tapi OJK melihat karena banyak penagihan melalui akses phone book dan menggunakan kontak dari borrower maka dibatasi," tambah Kus.
Kuseryansyah menyadari pembatasan yang dilakukan OJK tersebut betujuan melindungi data pribadi konsumen. Namun, lanjut Kus, di Indonesia saat ini pun belum ada Undang-Undang tentang perlindungan data pribadi. Di sisi lain, fintech ilegal yang di luar pemantauan OJK dengan bebas mengakses data pribadi konsumen di luar tiga variabel tersebut.
"Terkait data pribadi, tidak ada kriteria yang valid. Fintech legal dibatas 3 [variabel], fintech ilegal bisa akses semua. Dengan UU, polisi bisa langsung menindak tanpa harus ada aduan." tandasnya.
Simak video tentang arah pengembangan fintech dari OJK di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy) Next Article Makin Gemuk, Ini 88 Fintech Terdaftar dan Berizin dari OJK
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menjelaskan kenaikan pinjaman macet disebabkan terbatasnya variabel analisa credit scoring yang bisa diakses perusahaan fintech. Akibatnya, fintech kerap keliru memahami perilaku peminjam yang diloloskan.
![]() |
"Dengan pembatasan hanya boleh mengakses tiga variabel itu membuat kecerdasan credit scoring Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi konsumen yang baik menjadi berkurang," jelas Kus, sapaan Kuseryansyah, kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/3/2019).
Kemudian, OJK membatasi menjadi 3 variabel analisa saja yang boleh dipakai penyelenggara, yakni kamera, microphone dan lokasi. Pembatasan ini dilakukan OJK sejak Oktober 2018 menyusul maraknya praktek penagihan yang mengarah pada kekerasan.
"Kalau dulu lebih terbuka untuk dianalisa. Tapi OJK melihat karena banyak penagihan melalui akses phone book dan menggunakan kontak dari borrower maka dibatasi," tambah Kus.
Kuseryansyah menyadari pembatasan yang dilakukan OJK tersebut betujuan melindungi data pribadi konsumen. Namun, lanjut Kus, di Indonesia saat ini pun belum ada Undang-Undang tentang perlindungan data pribadi. Di sisi lain, fintech ilegal yang di luar pemantauan OJK dengan bebas mengakses data pribadi konsumen di luar tiga variabel tersebut.
"Terkait data pribadi, tidak ada kriteria yang valid. Fintech legal dibatas 3 [variabel], fintech ilegal bisa akses semua. Dengan UU, polisi bisa langsung menindak tanpa harus ada aduan." tandasnya.
Simak video tentang arah pengembangan fintech dari OJK di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy) Next Article Makin Gemuk, Ini 88 Fintech Terdaftar dan Berizin dari OJK
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular