
Akses Data Dibatasi & Kredit Macet Fintech Tembus 3,18%
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
01 April 2019 18:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku kebijakan pembatasan variabel analisa credit scoring oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberatkan bagi industri.
Diketahui semula perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending dalam mengukur kelayakan debitur menggunakan sekitar 15 variabel analisa credit scoring, namun sejak Oktober 2018 OJK membatasi menjadi hanya 3 variabel, yaitu microphone, kamera dan lokasi.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan pembatasan ini menyebabkan rasio kredit macet (non-performing loan) P2P lending capai angka 3,18% dengan rasio kredit kurang lancar 3,17%. Semakin banyak variabel analisa, kata Kuseryansyah, maka jumlah data yang dianalisa lebih banyak sehingga informasi yang didapat lebih solid.
"Apalagi dengan adanya kasus bunuh diri kemarin semua menjadikan P2P lending suspect, semakin lah akses ke data [debitur] pribadi dibatasi. Memberatkan tidak buat penyelenggara? memberatkan. Kami coba merumuskan usulan bahwa penggunaan data pribadi tidak sampai mengganggu atau misuse," kata Kuseryansyah kepada CNBC Indonesia, Senin (1/4/2019).
Kuseryansyah menambahkan, di Indonesia saat ini belum ada Undang-Undang (UU) perlindungan data pribadi sehingga tidak ada kriteria valid mengenai data apa saja yang bisa disebut pribadi dan tidak.
Tanpa UU tersebut kepolisian juga kesulitan menindak fintech-fintech ilegal. Di saat variabel analisa credit scoring fintech ilegal dibatasi hanya 3, fintech ilegal bisa mengakses semua variabel. Dengan adanya UU perlindungan data pribadi maka polisi bisa saja menindak tanpa ada aduan.
Praktek penagihan pinjaman secara amoral, menghina, mengancam dan meresahkan masyarakat, bisa ditindak langsung oleh polisi tanpa menunggu aduan lebih dulu bila UU perlindungan data pribadi sudah ada. Untuk itu, Indonesia membutuhkan UU digital ekonomi, UU Fintech, dan UU perlindungan data pribadi.
"Amerika Serikat (AS) dan Eropa sudah punya UU fintech sehingga terdefinisi fintech mana yang sesuai dan tidak," ujarnya.
Guna mengurangi dampaknya terhadap NPL, AFPI berencana membuat pusat data fintech lending. Melalui pusat data tersebut seluruh anggota asosiasi bisa mengakses informasi kostumer mana saja yang masuk daftar hitam atau mengalami fraud. Pihaknya juga mengharapkan UU perlindungan data pribadi segera terbit.
"Nanti tanggal 5 April akan ada focus group discussion (FGD) OJK yang mengundang pakar untuk mengkaji soal variabel analisa ini. Kita inginnya ada akses ke device, call log, SMS. AFPI sudah buat kelompok kerja yang draftnya harus selesai April." pungkasnya.
Simak video potensi bisnis fintech lending Indonesia di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Dunia Gelap! OJK Beberkan Nasib Pinjol di 2023
Diketahui semula perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending dalam mengukur kelayakan debitur menggunakan sekitar 15 variabel analisa credit scoring, namun sejak Oktober 2018 OJK membatasi menjadi hanya 3 variabel, yaitu microphone, kamera dan lokasi.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan pembatasan ini menyebabkan rasio kredit macet (non-performing loan) P2P lending capai angka 3,18% dengan rasio kredit kurang lancar 3,17%. Semakin banyak variabel analisa, kata Kuseryansyah, maka jumlah data yang dianalisa lebih banyak sehingga informasi yang didapat lebih solid.
![]() |
Kuseryansyah menambahkan, di Indonesia saat ini belum ada Undang-Undang (UU) perlindungan data pribadi sehingga tidak ada kriteria valid mengenai data apa saja yang bisa disebut pribadi dan tidak.
Tanpa UU tersebut kepolisian juga kesulitan menindak fintech-fintech ilegal. Di saat variabel analisa credit scoring fintech ilegal dibatasi hanya 3, fintech ilegal bisa mengakses semua variabel. Dengan adanya UU perlindungan data pribadi maka polisi bisa saja menindak tanpa ada aduan.
Praktek penagihan pinjaman secara amoral, menghina, mengancam dan meresahkan masyarakat, bisa ditindak langsung oleh polisi tanpa menunggu aduan lebih dulu bila UU perlindungan data pribadi sudah ada. Untuk itu, Indonesia membutuhkan UU digital ekonomi, UU Fintech, dan UU perlindungan data pribadi.
"Amerika Serikat (AS) dan Eropa sudah punya UU fintech sehingga terdefinisi fintech mana yang sesuai dan tidak," ujarnya.
Guna mengurangi dampaknya terhadap NPL, AFPI berencana membuat pusat data fintech lending. Melalui pusat data tersebut seluruh anggota asosiasi bisa mengakses informasi kostumer mana saja yang masuk daftar hitam atau mengalami fraud. Pihaknya juga mengharapkan UU perlindungan data pribadi segera terbit.
"Nanti tanggal 5 April akan ada focus group discussion (FGD) OJK yang mengundang pakar untuk mengkaji soal variabel analisa ini. Kita inginnya ada akses ke device, call log, SMS. AFPI sudah buat kelompok kerja yang draftnya harus selesai April." pungkasnya.
Simak video potensi bisnis fintech lending Indonesia di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Dunia Gelap! OJK Beberkan Nasib Pinjol di 2023
Most Popular