Fintech

Penagihan Fintech Lending: Dari Teror Hingga Depresi

Tech - Gita Rossiana, CNBC Indonesia
23 August 2018 15:56
Debt collector melakukan intimidasi ketika melakukan penagihan. Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi fintech meluncurkan kode etik pelaku peer to peer (P2P) lending. Salah satunya yang diatur adalah mekanisme penagihan yang dilakukan oleh debt collector.

Dalam melakukan penagihan, debt collector akan dilarang menggunakan kata kasar, mengintimidasi dan menghina. Debt collector juga dilarang menyebarkan informasi terkait data peminjam, mengaku-ngaku sebagai pihak lain seperti polisi dan pengacara.

Praktik penagihan fintech lending memang hal yang banyak dikeluhkan berbagai pihak. Salah satunya, Risky Yuliani (26) yang tidak menduga pinjamannya yang berjumlah sedikit dari fintech Lending harus berakhir dengan malapetaka. Dia tidak menyangka, hanya untuk memenuhi kebutuhan yang sementara harus berakhir dengan dia berhenti dari pekerjaan.

Kira-kira setahun yang lalu, Risky meminjam uang Rp 1 juta dari sebuah P2P lending. "Karena kebutuhan mendadak jadi saya nekat minjam di situ,"ujar Risky kepada CNBC Indonesia, Kamis (23/8/2018).

Namun karena tenor pinjaman pendek, Risky harus mencari pinjaman lain untuk menutup pinjaman yang sebelumnya. Hingga akhirnya Risky sudah meminjam uang yang rata-rata Rp 1 juta dari 10 aplikasi.

"Cuma berhubung tenor yang pendek membuat saya harus tutup lubang gali lubang sampai akhirnya saya punya pinjaman dari 10 aplikasi," cerita dia.

Pada awalnya, Risky masih bisa membayar pinjaman yang berbunga 2% tersebut. Pasalnya, dia masih bisa bekerja dan bisa membayarnya. Namun belum lama ini, Risky harus menunggak pembayarannya dan dia pun harus keluar dari pekerjaannya karena ulah debt collector P2P lending.

"Saya juga diusir dari kos karena telat bayar,"kenang dia.

Parahnya, Risky dikenakan denda yang tidak masuk akal atau di luar bunga pinjaman untuk setiap keterlambatan. Risky pun harus diteror oleh debt collector yang terus menagih utangnya hingga akhirnya dia depresi.

"Emergency kontak dan kontak telepon saya yang bukan emergency pun ditelpon sama debt collector, sepertinya memang disadap," ujar dia.

Hingga hari ini, Risky masih belum bisa membayar tagihan pinjaman dia dari aplikasi online tersebut. Risky pun masih diteror oleh para debt collector.

Bukan hanya Risky, banyak masyarakat yang juga terganggu dengan adanya fintech online. Sampai ada petisi yang ditulis oleh Bimbim Ian di Change.org yang mengadukan permasalahan penagihan yang tidak beretika dan bunga tinggi tersebut kepada OJK dan Kemenkominfo.

Beberapa teman peminjam yang merasa tidak berhubungan lagi dengan peminjam juga sempat merasakan getah dari P2P lending. Hal ini pun sempat diviralkan lewat akun twitter @alialsanjani.


Artikel Selanjutnya

Asosiasi Klaim Fintech Lending Beri Utangan ke 1 Juta orang


(roy/dru)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading