
Internasional
Tercekik Biaya Kepatuhan, Industri Ingin Lebih Banyak Fintech
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
07 June 2018 14:15

Hong Kong, CNBC Indonesia - Pengawas sistem keuangan perlu menyediakan lebih banyak teknologi baru yang dapat membantu melawan masalah pencucian uang, karena banyak lembaga keuangan yang kewalahan menanggung biaya kepatuhan yang terus meningkat, kata kelompok industri keuangan Asia hari Kamis (7/6/2018).
Beberapa bank telah didenda karena tidak mencegah pencucian uang melalui rekening mereka, dan permintaan tersebut dibuat setelah Bank Commonwealth Australia pekan lalu didenda karena melanggar undang-undang pencucian uang dan pendanaan teror.
Asosiasi Industri Sekuritas dan Pasar Modal Asia (Asia Securities Industry and Financial Markets Association) mengatakan ingin melihat lebih banyak penggunaan teknologi baru di dalam pemeriksaan anti-pencucian uang atau 'know your client' atau (KYC) karena teknologi itu menjanjikan pemotongan biaya secara drastis.
"Solusi fintech, pengenalan wajah, misalnya, memberikan harapan besar bagi industri, tetapi belum diterima secepat yang mungkin diinginkan oleh regulator di seluruh dunia," kata Mark Austen, chief executive asosiasi tersebut.
Bank sentral Hong Kong, Hong Kong Monetary Authority, dan bank sentral Singapura, Monetary Authority of Singapore, tahun lalu mengatakan mereka tengah mengeksplorasi gagasan apakah utilitas KYC, pusat penyimpanan data yang dapat digunakan oleh bank untuk menyimpan duplikasi saat menambahkan klien baru, harus disiapkan.
Namun, prosesnya membutuhkan waktu di tengah kekhawatiran tentang siapa yang harus bertanggung jawab saat data salah.
Dibebani oleh kepatuhan dan biaya yang dibutuhkan telah menjadi beban yang berat bagi kebanyakan bank dan broker.
Pada tahun 2017, jumlah karyawan yang bekerja di kepatuhan KYC di lembaga keuangan mencapai rata-rata sebesar 307, melonjak dari yang hanya 68 di tahun sebelumnya, kata asosiasi itu dalam laporannya, dilansir dari Reuters.
Tahun lalu HSBC menghabiskan US$3 juta (Rp 41,7 miliar) untuk kepatuhan. Jumlah ini tiga kali lipat nilai biaya kepatuhannya antara tahun 2013 sampai 2017 dan saat ini perusahaan mempekerjakan 8.600 staf kepatuhan.
"Turunnya jumlah karyawan KYC dan AML (Anti Money Laundering/ Anti Pencucian Uang) bergantung pada otomatisasi yang dilakukan institusi - ada banyak usaha karena itu berarti mereka dapat memotong biaya dan mungkin benar-benar meningkatkan kepatuhan," tambah Austen.
Asosiasi tersebut meminta anggotanya membantu regulator memahami mengenai perkembangan dan harmonisasi standar karena aturan KYC yang berbeda di setiap wilayah telah menaikkan biaya untuk kelompok keuangan lintas batas, yang juga memahami aturan tersebut dalam cara yang berbeda-beda.
"Akan bagus jika institusi keuangan di Asia paling tidak semuanya memikirkan tentang masalah seputar KYC dengan cara yang sama," kata Will Haslet, seorang rekan di firma hukum Herbert Smith Freehills, yang berkontribusi dalam laporan itu.
"Ketika kita berbicara tentang solusi jangka panjang dari teknologi, maka konsistensi adalah hal yang penting."
(prm) Next Article Ini Bukti Layanan Perbankan Mulai 'Disikat' Fintech
Beberapa bank telah didenda karena tidak mencegah pencucian uang melalui rekening mereka, dan permintaan tersebut dibuat setelah Bank Commonwealth Australia pekan lalu didenda karena melanggar undang-undang pencucian uang dan pendanaan teror.
Asosiasi Industri Sekuritas dan Pasar Modal Asia (Asia Securities Industry and Financial Markets Association) mengatakan ingin melihat lebih banyak penggunaan teknologi baru di dalam pemeriksaan anti-pencucian uang atau 'know your client' atau (KYC) karena teknologi itu menjanjikan pemotongan biaya secara drastis.
Bank sentral Hong Kong, Hong Kong Monetary Authority, dan bank sentral Singapura, Monetary Authority of Singapore, tahun lalu mengatakan mereka tengah mengeksplorasi gagasan apakah utilitas KYC, pusat penyimpanan data yang dapat digunakan oleh bank untuk menyimpan duplikasi saat menambahkan klien baru, harus disiapkan.
Namun, prosesnya membutuhkan waktu di tengah kekhawatiran tentang siapa yang harus bertanggung jawab saat data salah.
Dibebani oleh kepatuhan dan biaya yang dibutuhkan telah menjadi beban yang berat bagi kebanyakan bank dan broker.
Pada tahun 2017, jumlah karyawan yang bekerja di kepatuhan KYC di lembaga keuangan mencapai rata-rata sebesar 307, melonjak dari yang hanya 68 di tahun sebelumnya, kata asosiasi itu dalam laporannya, dilansir dari Reuters.
Tahun lalu HSBC menghabiskan US$3 juta (Rp 41,7 miliar) untuk kepatuhan. Jumlah ini tiga kali lipat nilai biaya kepatuhannya antara tahun 2013 sampai 2017 dan saat ini perusahaan mempekerjakan 8.600 staf kepatuhan.
"Turunnya jumlah karyawan KYC dan AML (Anti Money Laundering/ Anti Pencucian Uang) bergantung pada otomatisasi yang dilakukan institusi - ada banyak usaha karena itu berarti mereka dapat memotong biaya dan mungkin benar-benar meningkatkan kepatuhan," tambah Austen.
Asosiasi tersebut meminta anggotanya membantu regulator memahami mengenai perkembangan dan harmonisasi standar karena aturan KYC yang berbeda di setiap wilayah telah menaikkan biaya untuk kelompok keuangan lintas batas, yang juga memahami aturan tersebut dalam cara yang berbeda-beda.
"Akan bagus jika institusi keuangan di Asia paling tidak semuanya memikirkan tentang masalah seputar KYC dengan cara yang sama," kata Will Haslet, seorang rekan di firma hukum Herbert Smith Freehills, yang berkontribusi dalam laporan itu.
"Ketika kita berbicara tentang solusi jangka panjang dari teknologi, maka konsistensi adalah hal yang penting."
(prm) Next Article Ini Bukti Layanan Perbankan Mulai 'Disikat' Fintech
Most Popular