Fintech

Suku Bunga Fintech Lending, Versi OJK dan Asosiasi

Gita Rossiana, CNBC Indonesia
07 March 2018 09:24
NPL Fintech lending pada Desember 0,7% menjadi 1,2% pada Februari 2018
Foto: Detik.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga akhir 2017, total penyaluran pinjaman industri fintech lending sudah menembus Rp 3 triliun. Hal ini meningkat pesat dibandingkan realisasi pada akhir 2016 sebesar Rp 300 miliar. Padahal perkembangan industri ini masih seumur jagung.

Di balik perkembangan fintech pembiayaan fintech yang sudah meningkat 10 kali lipat, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) juga meningkat. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebutkan, pada Desember 2017, NPL fintech lending mencapai 0,7%, meningkat menjadi 1,2% pada Februari 2018.

Dari sisi rasio NPL memang masih kecil, karena berada di bawah treshold atau ambang batas maksimal 5% yang ditetapkan regulator. Namun apabila melihat nominal kredit bermasalah dibandingkan total pembiayaan maka akan menjadi sebuah kekhawatiran baru.

Sorotan regulator tidak hanya dari sisi NPL, namun juga dari penetapan suku bunga. Wimboh mengungkapkan, suku bunga kredit di fintech lending tinggi sekali sehingga dia mengkonotasikan tingginya suku bunga tersebut dengan 'rentenir'. "Suku bunganya bisa sampai 19%, which is cukup mahal. Kalau bunga mahal, apa bukan rentenir?" terang dia dalam acara temu wartawan di Bandung beberapa hari lalu.

Satu kata rentenir memang terkesan sangat negatif sehingga bisa menimbulkan asumsi baru di masyarakat yang seperti 'arisan keliling', 'lintah darat' atau ada kata lain?

Secara spontan, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) langsung menggelar acara konferensi pers mengenai pernyataan Wimboh Santoso tersebut. Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi langsung menjabarkan mengenai perhitungan bunga di fintech lending. Menurut dia, fintech lending tidak beroperasi layaknya rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian kepada nasabah).

Sangat berbahaya bila OJK menyamakan semua model bisnis Tekfin dengan rentenir," ujar Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (6/3/2018).
 

Namun memang, sebaiknya suku bunga di fintech lending patut dibatasi atau kalau perlu ada benchmark yang dipergunakan. Aftech menilai, penetapan suku bunga di fintech lending(peer to peer lending/P2P lending) harus mengacu pada benchmark yang sudah ada di pasaran. Benchmark ini bisa dengan mengacu suku bunga yang ada di bank BUKU I, BUKU II ataupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
 
Adrian mengungkapkan, contoh penerapan benchmarking ini sudah dilakukan di Investree dan modalku. "Dengan benchmarking ada kok yang suku bunganya bisa 12% per tahun,"kata dia.
 

Penetapan benchmark ini, menurut Adrian bisa dengan bank BUKU I, BUKU II ataupun BPR. Adrian mencontohkan, misalnya suku bunga di bank BUKU I dan BUKU II adalah 14-15%, maka apabila ditambah komponen risiko tanpa jaminan bisa bertambah 1%."Jadi tidak mau terlalu mahal, nanti tidak ada yang mau pinjam sama P2P lending,"kata dia.
 
Selain menggunakan benchmark, penetapan maksimum cap menurut Adrian juga perlu diatur. Hal ini juga yang membedakan P2P lending dengan pay day loan (bunga harian kepada nasabah).
 
Hal lain yang menurut Adrian juga membentuk suku bunga di fintech adalah profil risiko. Pihaknya bisa memberi suku bunga kredit hingga 12%, 13% atau 14%. "Penentuan harga berdasarkan profil risiko atau risk based pricing,"ucap dia.

 
Lagipula, penetapan suku bunga ini adalah secara tahunan. Sementara di P2P lending, banyak peminjam yang meminjam secara bulanan sehingga apabila dirata-ratakan, suku bunganya bisa sekitar 1,5% per bulan atau ditambah 1-2% untuk fee.
(roy/roy) Next Article Asosiasi : Fintech Tak Bisa Jamin Dana Nasabah yang Hilang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular