Aral Melintang, Tepatkah Bank Syariah RI Spin-Off?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
19 July 2019 17:54
Aral Melintang, Tepatkah Bank Syariah RI Spin-Off?

Jakarta, CNBC Indonesia- Industri perbankan syariah Indonesia dimulai pada tahun 1992 dengan pengoperasian bank umum syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Pendirian tersebut juga sekaligus menjadi permulaan era dual banking system (sistem perbankan ganda) yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan.

Awal mulainya kondisi perbankan syariah Tanah Air kurang kondusif karena belum adanya landasan hukum yang kuat serta jaringan pendukung seperti instrumen pasar, arahan dari bank sentral, manajemen likuiditas, dan seterusnya.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia memperkenalkan aturan baru termasuk diantaranya UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan dan UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.

UU tersebut memperbolehkan bank untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil serta memungkinkan bank konvensional untuk membuka Unit Usaha Syariah (UUS).

Seiring berjalannya waktu, industri perbankan syariah mulai berkembang dimana hingga detik ini sudah terdapat 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 UUS. Selain itu, beberapa BUS juga sudah melantai di BEI, dan sudah mulai diperdagangkan instrumen keuangan syariah seperti sukuk negara, sukuk koperasi, dan reksa dana syariah.

Akan tetapi, sudah hampir tiga dekade pangsa pasar (market share) industri syariah Tanah Air belum berkembang, masih saja stagnan di kisaran 5%-6%. Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan market share bank syariah mencapai 15% di tahun 2023. Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, harus tumbuh 3 kali lipat!

Untuk mencapai target tersebut, 2 tahun lalu pemerintah Indonesia melalui OJK mengeluarkan visi 'Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia 2017-2019'.

Nah, dalam roadmap tersebut salah satu langkah OJK untuk memperbesar kapasitas kelembagaan industri keuangan syariah adalah pemisahan unit syariah menjadi badan usaha sendiri (spin-off).

Spin-off dalam konteks di atas berarti UUS yang ada sekarang harus memisahkan diri dan membentuk BUS. Untuk bank, OJK memberi batasan hingga tahun 2023, sedangkan untuk asuransi hingga tahun 2024.

Apakah keputusan tersebut tepat? Dapatkan industri perbankan syariah berkembang pesat dengan menjadi lembaga mandiri?

(BERLANJUT HALAMAN DUA)

Ketidakjelasan arahan dari pemerintah Indonesia terkait industri perbankan syariah menjadi salah satu alasan utama tidak berkembangnya industri ini.

Hal ini berbeda jauh dengan Malaysia yang pengembangan industri syariahnya didasarkan pada pendekatan "top-down" atau digerakkan oleh pemerintah. Setidaknya terdapat sepuluh UU yang membentuk kerangka hukum untuk pendirian dan operasional sistem perbankan syariah di Negeri Jiran.

Memulai industri syariah sekitar 10 tahun lebih awal dari Indonesia, pemerintahan Negeri Jiran sudah memiliki Dewan Penasihat Syariah di tahun 1997, serta pengadilan Muamalat di tahun 2003 yang khusus menangani kasus terkait institusi perbankan syariah.

Sementara di Indonesia, perbankan syariah diawasi dan diarahkan oleh 3 institusi terpisah, yaitu Dewan Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah, dan OJK. Kemudian untuk pengadilan, berada di bawah naungan pengadilan agama sejak tahun 2006.

Dengan masih bercampur baurnya penanganan institusi syariah dan penanganan di beberapa institusi mempersulit koordinasi dan jalur komando.

Di lain pihak, jika UUS diwajibkan untuk berpisah, maka akan kehilangan manfaat yang selama ini dinikmati dan berpotensi biaya operasional yang makin membludak.

Pemisahan UUS berarti institusi harus membangun kantor dan cabang terpisah untuk memberikan pelayanan. Belum lagi infrastruktur lainnya seperti layanan internet dan mobile banking yang menumpang di server bank umum, tentunya harus memisahkan diri untuk menghindari resiko pencampuran atau kehilangan data.

UUS juga perlu memperkenalkan ulang produknya, melakukan edukasi terpisah, belum lagi mencari calon nasabah baru. 

Hal tersebut menjadi tantangan lain bagi perusahaan, karena jika masih menempel dengan bank umum tidak sulit untuk menawarkan produk syariah ke nasabah bank konvensional dan peluang untuk mendapat nasabah kelas pertama lebih mudah.

Melansir Statistik Perbankan Syariah April 2019, rasio pembiayaan bermasalah (non-performing-financing/NPF) BUS dan UUS mencapai 4,44% pada April 2019. Bahkan pada awal tahun lalu sempat melebihi 5%, dimana level tersebut adalah batas atas yang ditentukan OJK

Pemisahan UUS menjadi BUS berpotensi meningkatkan NPF industri perbankan syariah, karena semakin sulit untuk menarik nasabah yang memiliki profil kredit baik. Pasalnya, nasabah-nasabah tersebut pasti sudah direbut oleh bank umum.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Aral Melintang Industri Syariah Indonesia, Tepatkah Spin-Off?Foto: Aristya Rahadian Krisabella


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular