Newsletter

Alarm Bahaya Menyala dari China & Amerika, Awas RI Kena Getahnya!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
18 January 2024 06:00
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping. (X/SpokespersonCHN)
Foto: Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping. (X/SpokespersonCHN)

Pergerakan pasar keuangan Tanah Air pada hari ini, Kamis (18/1/2024) kemungkinan besar masih volatile karena tekanan dari menguatnya indeks dolar AS di tengah data ekonomi negeri Paman Sam yang memanas, perlambatan ekonomi China, hingga efek lanjutan keputusan BI kemarin.

Penutupan tiga indeks acuan pada bursa wall street pada dini hari tadi juga terkapar di zona merah. Ini perlu diantisipasi lantaran bisa meningkatkan volatilitas pada pasar saham RI. Secara lebih lengkap, berikut sentimen yang akan mempengaruhi pasar hari ini :

Ekonomi AS Masih Panas,The Fed Belum Akan Dovish? 

Dari negeri Paman Sam, ada sejumlah data yang patut dicermati lantaran ada kenaikan penjualan ritel yang memicu inflasi hingga pasar tenaga kerja memanas. Imbasnya, akan muncul keraguan pada sikap the Fed yang potensi melonggarkan kebijakan lebih lama dari perkiraan.

Pada Rabu pukul 20.30 WIB, menurut data Biro Sensus AS, penjualan ritel untuk periode Desember 2023 tumbuh 0,6% secara bulanan (month-to-month/mtm), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 0,3% dan konsensus pasar sebesar 0,4%.

Dalam basis bulanan, ini menjadi kenaikan terbesar dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Sementara dalam basis tahunan, penjualan ritel AS naik 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan konsensus pasar di 4%yoy. Peningkatan ini menjadi yang terbesar dalam sebelas bulan terakhir.

Kencangnya penjualan ritel AS ini mencerminkan jika daya beli AS masih kencang dan ekonomi AS masih panas sehingga inflasi kemungkinan besar masih sulit turun dengan cepat.

Penjualan ritel yang meningkat lebih tinggi dari konsensus pada akhir tahun lalu, semakin mengkonfirmasi inflasi AS pada periode yang sama tak terduga juga naik melebihi perkiraan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) AS, Inflasi konsumen pada Desember 2023 meningkat 3,4% yoy, lebih panas dibandingkan konsensus pasar yang proyeksi hanya naik 3,2% yoy dan bulan sebelumnya sebesar 3,1% yoy.

Sementara itu, pada periode yang sama untuk inflasi inti AS tumbuh melandai 3,9% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4% yoy. Hanya saja, jika dibandingkan perkiraan pasar sebesar 3,8% yoy, inflasi inti saat ini masih lebih panas.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat the Fed lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Selain itu, pasar tenaga kerja juga masih cukup ketat lantaran pekerjaan yang dicatat di luar pertanian masih tinggi, mencapai 216.000. Angka ini di luar dugaan pasar yang memperkirakan bisa turun ke 170.000 pada Desember lalu. Ditambah juga, klaim pengangguran masih meningkat dan tingkat pengangguran masih berada di bawah 4%.

Sebagai informasi, pada malam nanti akan ada rilis data yang semakin melengkapi kondisi pasar tenaga kerja yaitu klaim pengangguran selama seminggu yang berakhir 13 Januari 2024. Menurut Trading Economics, klaim pengangguran terbaru diperkirakan akan naik jadi 207.000, dibandingkan pekan sebelumnya sebesar 202.000 klaim.

Gabungan dari berbagai indikator di atas yang mengindikasikan ekonomi AS masih panas, diperkirakan bisa memicu keraguan the Fed untuk melancarkan kebijakan longgar pada Maret mendatang.

Menurut perangkat FedWatch Tool oleh CME Group, saat ini ekspektasi pelaku pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed pada pertemuan Maret mendatang turun jadi 55%, padahal dalam beberapa hari terakhir sudah mencatat peluang di atas 60%.

Senada dengan hal tersebut, melansir dari Reuters, Stuart Cole, kepala ekonom di Equiti Capital di London mengatakan dengan rilis kenaikan data-data ekonomi yang masih panas akan memberikan keraguan.

"Bagi The Fed, angka-angka tersebut akan menimbulkan keraguan lebih lanjut terhadap kemungkinan penurunan suku bunga pertama yang dilakukan pada bulan Maret, kemungkinan penurunan tersebut semakin berkurang dengan setiap rilis data yang kami dapatkan," kata Stuart. .

Yield US Treasury Melambung, Tekanan DXY Menguat Berlanjut

Menilai dari ekonomi AS yang masih panas dan prospek the Fed melonggarkan kebijakan lebih lama, ini berimbas pada imbal hasil obligasi acuan AS dengan tenor 10 tahun yang langsung melonjak tinggi.

Selama dua hari terakhir hingga Kamis dini hari waktu Indonesia imbal hasil acuan AS sudah naik ke level 4%. Kenaikan yield mengindikasikan harga turun yang berarti obligasi sedang dilepas investor.

Pada perdagangan Rabu, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun menembus 4,1% untuk pertama kalinya sejak 12 Desember 2023 atau lebih dari sebulan.

Indeks dolar AS (DXY) juga terus meningkat. Indeks dolar ditutup di posisi 103,38 pada perdagangan Rabu kemarin, level tertingginya dalam sebulan terakhir. Penguatan indeks dolar ini menandai adanya peningkatan pe,belian dolar AS sehingga mata uang akan terdepresiasi. Rupiah pun masih akan rawan tertekan.

Ekonomi China Tumbuh Lesu, RI Bisa Kena Imbas

Sentimen berikutnya, datang dari negeri Tirai Bambu yang ekonomi masih lesu akibat krisis properti yang berlarut hingga kepercayaan konsumen yang rendah. Guna mengentaskan persoalan ini, pemerintah sedang mempertimbangkan meluncurkan stimulus jumbo.

Membahas terlebih dahulu soal ekonomi China, pada periode kuartal IV/2023 tercatat tumbuh 5,2% secara tahunan (yoy), angka tersebut di bawah perkiraan jajak pendapat Reuters, 5,3%. Ini terungkap dari angka resmi yang ditujukan badan statistik setempat, NBS, Rabu (17/1/2024).

Mengutip AFP, sayangnya ini menjadi salah satu pertumbuhan tahunan terlemah China dalam lebih dari tiga dekade terakhir atau sejak 1990 silam, di luar tahun-tahun yang terdampak pandemi Covid-19.

Meskipun pertumbuhan 5,2% akan dipandang iri oleh negara-negara lain seperti AS dan zona Eropa, yang masing-masing hanya tumbuh kisaran 2%. Namun, secara historis masih jauh di bawah angka pertumbuhan China sekitar 6% atau 7% yang cukup stabil terjadi sejak tahun 2010.

Selain itu, kemarin juga rilis data penjualan ritel Tiongkok yang tercatat hanya tumbuh sebesar 7,4% pada Desember, meleset ekspektasi pertumbuhan sebesar 8%. Tingkat pengangguran juga rilis tetapi hasilnya malah naik 5,1%, meleset juga dari perkiraan yang proyeksi masih menetap di 5%.

Namun produksi industri naik 6,8% pada Desember dibandingkan tahun sebelumnya, mengalahkan perkiraan pertumbuhan 6,6%. Investasi aset tetap untuk tahun 2023 naik sebesar 3%, sedikit di atas perkiraan kenaikan sebesar 2,9%.

Secara keseluruhan, ekonomi China terbilang masih tumbuh lesu, oleh karena itu pemerintah Tiongkok masih pertimbangkan tekanan baru terhadap para pejabat untuk mengeluarkan lebih banyak langkah stimulus untuk memulai aktivitas bisnis dan meningkatkan belanja konsumennya.

Pada Selasa pekan ini, pemerintah Tiongkok mempertimbangkan meluncurkan stimulus jumbo melalui penerbitan obligasi spesial "ultra long" senilai satu triliun yuan atau US$139 miliar setara Rp2.166 triliun (Asumsi kurs Rp15.585/US$).

Stimulus jumbo tersebut kemungkinan besar akan memberikan kelegaan bagi berbagai negara yang memiliki hubungan erat dengan China. Bagi Indonesia, China merupakan mitra dagang utama ekspor sehingga hal ini dapat memberikan angin segar jika dilaksanakan dengan baik.

Guyuran stimulus ini adalah langkah ke sekian kalinya yang diambil pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk membangunkan kembali ekonomi Sang Naga. Sebelumnya, Xi Jinping juga sudah memberikan sejumlah stimulus, terutama ke sektor properti. Bank sentral China (PBoC) juga mencoba membangkitkan ekonomi China melalui pemangkasan suku bunga pinjaman satu tahun.

Perlambatan ekonomi China adalah warning keras buat Indonesia. Tiongkok adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Asia, Bagi Indonesia, China adalah mitra dagang terbesar dengan kontribusi ekspor mencapai 23%. China juga menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia.

Ekonom dan mantan Menteri Keuangan di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) M. Chatib Basri menegaskan bahwa pasar barang negara yang sangat berpengaruh pada perdagangan Indonesia dan negara ASEAN adalah China. Pelemahan permintaan impor China yang melambat akan membuat permintaan ekspor dari Indonesia juga melambat.

"1% perlambatan ekonomi di China, itu memiliki dampak perkiraannya sebesar 0,3%," kata dia dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2024, dikutip Selasa (28/11/2023).

Bank Indonesia Tahan Lagi Suku Bunga Acuan

Beralih ke sentimen dalam negeri yang potensi mempengaruhi gerak pasar hari ini, datang dari Bank Indonesia (BI) pada kemarin telah mengumumkan hasil rapat dewan gubernur (RDG) periode Januari 2024 dengan kembali menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6%.

Dengan demikian, BI sudah menahan suku bunga acuannya selama empat bulan berturut-turut sejak Oktober 2023.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan itu ditempuh sebagai langkah konsistensi BI menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan, di tengah masih bergejolaknya ketidakpastian ekonomi global. Seiring dengan upaya untuk menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun ini.

"Keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, yaitu untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024," kata Perry saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (17/1/2024).

(tsn/tsn)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular