China Obral Stimulus Jumbo Rp 2.000 T, Mr. Xi Jinping Mulai Putus Asa?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
17 January 2024 06:35
5 'Malapetaka' Fix Hantam China, Mau Ambruk?
Foto: Infografis/ 5 'Malapetaka' Fix Hantam China, Mau Ambruk?/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - China kembali mengejutkan pasar lantaran sedang mempertimbangkan penerbitan stimulus jumbo melalui obligasi spesial "ultra long" senilai satu triliun yuan atau US$ 139 miliar setara Rp2.166 triliun (Asumsi kurs Rp15.585/US$).

Guyuran stimulus ini adalah langkah sekian yang diambil pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk membangunkan kembali ekonomi Sang Naga. Sebelumnya, Xi Jinping juga sudah memberikan sejumlah stimulus, terutama ke sektor properti. Bank sentral China (PBoC) juga mencoba membangkitkan ekonomi China melalui relaksasi suku bunga pinjaman satu tahun.

Bank sentral China bakal pada September tahun lalu juga menggencarkan stimulus lagi melalui pemangkasan jumlah rasio cadangan perbankan atau reserve requirement ratio (RRR) kedua kalinya pada 2023.

Melansir dari Reuters, berdasarkan rencana obligasi khusus negara, penerbitan surat utang spesial ini termasuk langka, setidaknya ini bakal menjadi penjualan keempat dalam 26 tahun terakhir.

Penjualan pertama terjadi saat krisis keuangan pada 1998 silam yang memaksa otoritas Tiongkok menerbitkan utang khusus guna menambah modal bank-bank besar milik negara.

Sementara yang terbaru, pada 2020 lalu obligasi khusus ini dijual senilai 1 triliun yuan guna menanggulangi pandemi Covid-19 yang sangat memukul perekonomian dalam negeri, apalagi efeknya masih terasa hingga kini ditambah efek domino dari krisis properti setelah kebangkrutan pengembang real estate raksasa, Evergrande.

Peluncuran obligasi khusus tersebut ditengarai menjadi upaya guna mengentaskan perekonomian China yang saat ini masih lesu. Hal ini akibat dari tekanan deflasi yang kuat, krisis properti yang sedang berlangsung, dan lemahnya permintaan domestik masih membebani aktivitas perdagangan, sehingga mendorong seruan di kalangan ekonom dan investor untuk melakukan stimulus lebih lanjut.

Tekanan Deflasi China Masih Kuat

Tekanan deflasi di China masih cukup kuat dan sudah berlangsung sejak Oktober 2022 lalu. Terbaru pada Desember 2023, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik China, Indeks harga konsumen (CPI) China dilaporkan turun atau mengalami deflasi sebesar 0,3% secara tahunan (year-on-year).

Deflasi pada Desember semakin memperpanjang tren deflasi yang berlarut-larut di Tiongkok dan menandai penurunan terpanjang sejak Oktober 2009. 

Deflasi didorong oleh penurunan harga pangan yang mengalami penurunan paling sedikit sejak bulan September (-3,7% vs -4,2 persen pada November) karena penyusutan harga daging babi.

Sementara itu, untuk Indeks Harga Produsen China juga tercatat deflasi sebesar 2,7% yoy pada Desember 2023, dibandingkan deflasi 3% pada bulan sebelumnya dan meleset dari konsensus pasar yang proyeksi deflasi 2,6%.

Hal tersebut menandakan deflasi produsen selama 15 bulan berturut-turut, dan masih menjadi persoalan utama dalam perekonomian China.

Terjadinya deflasi pada Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen adalah hal yang langka mengingat permintaan domestik China biasanya sangat kencang.

Deflasi yang masih menekan ekonomi China Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.

Di tambah, krisis properti di China yang belum berakhir turut membebani perekonomian China. Setelah kasus Evergrande dan Kaisa Group Holdings, kini krisis properti bertambah yakni Zhongzhi Enterprise Group.

Krisis Properti China Berlarut-larut, Pertumbuhan Ekonomi Melambat

Mulai dari Evergrande yang menyatakan gulung tikar, kini giliran Zhongzhi Enterprise Group juga terkena krisis karena potensi gagal bayar (default). Bahkan, Zhongzhi Enterprise Group juga telah mengajukan kebangkrutan.

Krisis properti dan masih lesunya perekonomian China membuat Bank Dunia (World Bank) pun memproyeksikan perekonomian China tumbuh sebesar 4,5% pada 2024, melambat dari 2023 yang diperkirakan tumbuh sebesar 5,2%.

Vehicles drive past unfinished residential buildings from the Evergrande Oasis, a housing complex developed by Evergrande Group, in Luoyang, China September 16, 2021. Picture taken September 16, 2021. REUTERS/Carlos Garcia RawlinsFoto: Kendaraan melewati bangunan tempat tinggal yang belum selesai dari Evergrande Oasis, kompleks perumahan yang dikembangkan oleh Evergrande Group, di Luoyang, Cina 16 September 2021. (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)
Vehicles drive past unfinished residential buildings from the Evergrande Oasis, a housing complex developed by Evergrande Group, in Luoyang, China September 16, 2021. Picture taken September 16, 2021. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins

Bank Dunia menyatakan, perkiraan pertumbuhan 4,5% pada 2024 tersebut merupakan pertumbuhan yang paling lambat dalam tiga dekade, di luar periode pandemi Covid-19. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh konsumsi domestik yang diperkirakan akan tertahan, sementara krisis di sektor properti akan menghambat peningkatan investasi.

Bahkan, menurut Bank Dunia, tren perlambatan di China akan terus berlanjut hingga 2025, terutama yang dipengaruhi oleh investasi yang terhambat akibat peningkatan utang, hambatan demografis, serta menyempitnya peluang dalam mengejar ketertinggalan produktivitas.

"Pertumbuhan diperkirakan akan turun lebih lanjut pada 2025, menjadi 4,3%, di tengah berlanjutnya potensi perlambatan pertumbuhan," tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects edisi Januari, dikutip Rabu (10/1/2024).

Bank Dunia menyatakan, meskipun dukungan pemerintah pusat dapat membantu meningkatkan belanja infrastruktur, tapi pemerintah daerah di China memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan berbagai kebijakan.

Dengan perekonomian China yang melambat, Bank Dunia pun memperkirakan pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan melambat menjadi 2,5% pada 2024 dan 4,4% pada 2025.

Stimulus Jumbo 2024 Masih Belum Final, IMF Beri Peringatan

Ekonomi China yang masih lesu saat ini menjadi faktor utama industri memerlukan suntikan modal untuk bertahan dan memupuk harapan bisa kembali pulih seperti sediakala.

Namun, sejauh ini diskusi masih berlangsung terkait peluncuran stimulus jumbo senilai satu triliun yuan tersebut, dan kabarnya masih bisa diubah atau ditambah hasil laporan-nya.

Sebelumnya, pada 2020 lalu Tiongkok sudah memanfaatkan obligasi spesial dengan nilai yang sama guna membantu perekonomian bangkit dari dampak Pandemi Covid-19. Hanya saja, dampaknya belum terlalu kelihatan signifikan pandemi sudah kian mereda.

Oleh karena itu, obligasi khusus kali ini akan ada perbedaan, menurut laporan proposal tahun 2024 akan menggunakan utang khusus, yang di masa lalu telah dihitung sebagai tambahan terhadap anggaran normal dan tidak berkontribusi terhadap rasio defisit utama.

Desain obligasi ultra-panjang berarti dana yang diperoleh akan dilunasi selama beberapa dekade, sehingga mengurangi tekanan untuk melakukan pembayaran dalam jangka pendek. Hal ini berbeda dengan utang yang diterbitkan akhir tahun lalu, yang mencakup obligasi dengan tenor utama yang harus dibayar kembali dalam jangka waktu yang jauh lebih kecil, yaitu beberapa tahun hingga satu dekade.

Kendati begitu, secara keseluruhan jika stimulus ini bisa terealisasi tentu dampaknya akan baik lantaran bisa mengakselerasi ekonomi semakin pulih seiring dengan tambahan modal yang diberikan ke industri.

Namun, sejumlah risiko terkait krisis properti yang masih berlarut-larut, sementara ada kemungkinan besar dana dari obligasi khusus tersebut akan digunakan untuk membantu sektor properti dan turunannya sepertinya akan membutuhkan kajian lebih dalam.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperingatkan China memerlukan reformasi struktural untuk menghindari "penurunan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan."

Direktur IMF, Kristalina Georgieva, (YASUYOSHI CHIBA/AFP via Getty Images)Foto: Direktur IMF, Kristalina Georgieva, (YASUYOSHI CHIBA/AFP via Getty Images)
Direktur IMF, Kristalina Georgieva, (YASUYOSHI CHIBA/AFP via Getty Images)

Georgieva menyebut Beijing saat ini menghadapi tantangan jangka pendek dan jangka panjang. Peringatan itu disampaikannya saat menghadiri Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss Senin (15/1/2024).

Dalam jangka pendek, dia mengatakan sektor properti China masih perlu "diperbaiki," seiring dengan tingginya tingkat utang pemerintah daerah. Dalam jangka panjang, Georgieva mencatat perubahan demografis dan "hilangnya kepercayaan."

"Pada akhirnya, yang dibutuhkan China adalah reformasi struktural untuk terus membuka perekonomian, untuk menyeimbangkan model pertumbuhan lebih mengarah pada konsumsi domestik, yang berarti menciptakan lebih banyak kepercayaan pada masyarakat, sehingga mereka tidak menabung, mereka membelanjakan lebih banyak," kata Georgieva, seperti dikutip CNBC International.

"Semua ini akan membantu China menghadapi apa yang kami prediksi jika tidak ada reformasi, yaitu penurunan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan di bawah 4%," tambahnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH 
[email protected]

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation