Perang Israel-Hamas: Durian Runtuh Atau Petaka Buat Pasar RI?

Pelaku pasar diperkirakan masih akan mencermati dampak perang Israel vs Hamas pada perdagangan bursa, rupiah, dan SBN.
Pelaku pasar dikejutkan dengan aksi serangan mendadak yang dilakukan oleh Hamas pada akhir pekan lalu. Serangan ini mengancam pasokan energi Timur Tengah. Harga energi fosil melesat yang tercermin dari pergerakan harga minyak, gas alam, dan batu bara.
Perang sudah melambungkan harga komoditas energi, terutama, mengingat strategisnya kawasan Timur Tengah bagi perdahangan minyak. Harga minyak brent melesat 4,35% sementara WTI ditutup menguat 4,19% pada perdagangan kemarin.
Melansir Refinitiv, harga batu bara kontrak November melesat 3% menjadi US$146 per ton pada perdagangan Senin (9/10/2023). Begitu pula, harga gas alam Eropa terbang 16,1% menjadi 44,4 euro per MWh.
Harga minyak brent ditutup di posisi US$ 88,2 per barel atau terbang 4,28% sementara harga minyak WTI terbang 4,35% ke posisi US$ 86,38 per barel.
Pecahnya perang di dua negara berkonflik di Timur Tengah ini mengingatkan ancaman energi global, seperti yang terjadi setahun sebelumnya akibat perang Rusia-Ukraina. Fenomena ini berdampak, baik terhadap gangguan pasokan komoditas secara langsung maupun tidak langsung.
Berkaca dari fenomena yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina, peperangan menyebabkan gangguan pasokan komoditas dengan melambatnya aktivitas produksi pertambangan, aksi penolakan hasil ekspor komoditas Rusia oleh sekutu Ukraina, dan serangan balasan penghentian aliran gas Rusia ke Eropa.
Kejadian serupa juga berpotensi terjadi di Israel. Sebelumnya, pertempuran Israel pada 2021 menyebabkan pemerintah Israel menginstruksikan Chevron untuk menutup sementara Blok Tamar. Israel yang kembali melakukan serangan memungkinkan adanya kebijakan penghentian produksi yang akan mengancam pasokan.
Risiko tersebut memungkinkan Israel kehilangan mayoritas pasokan gasnya, sehingga terdapat kemungkinan Israel kembali melakukan impor energi yang akan turut mendorong kenaikan harga.
Selain itu, Hamas yang mendapat dukungan dari Iran yang termasuk 10 negara penghasil minyak dan gas terbesar dunia berpotensi menyebabkan permasalahan pasokan. Bahkan, persoalan ini menyebabkan harga minyak diperkirakan akan dapat menembus level US$ 100 per barel.
"Mengingat ketatnya pasar minyak fisik pada kuartal keempat tahun 2023, pengurangan langsung ekspor minyak Iran berisiko mendorong kontrak berjangka brent di atas US$100/bbl dalam jangka pendek."
Kemungkinan adanya aksi pengurangan ekspor minyak juga dapat memanas, sehingga menyebabkan Amerika Serikat yang merupakan produsen minyak dan gas terbesar dunia dan sekutu Israel melakukan tindakan balasan.
Hal ini akan semakin mengacaukan rantai pasokan energi global, sehingga terdapat kemungkinan harga energi semakin melesat. Inflasi yang saat ini mulai mereda dapat kembali terjadi akibat peperangan ini.
Inflasi Amerika Serikat sempat menyentuh titik terendah pada Juni berada di 3%, namun Agustus ini kembali melonjak menjadi 3,7%. Inflasi yang relatif lebih terkendali ini seharusnya dapat menjadikan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) mengurangi agresivitasnya meningkatkan suku bunga.
Namun, potensi gangguan pasokan energi yang mendorong kenaikan harga dapat menyebabkan The Fed kembali hawkish untuk mengendalikan inflasi. Dan lagi, target inflasi AS yang berada di 2% tentunya akan menjadi semakin jauh untuk tercapai. Artinya, era suku bunga tinggi dapat menjadi lebih lama atau biasa disebut dengan "higher for longer".
The Fed yang kembali agresif dapat menyebabkan ekonomi dunia semakin melambat. Memang kebijakan tersebut dapat mengendalikan laju harga energi, namun dampak yang diberikan dapat mengancam perlambatan ekonomi seluruh dunia.
Perlambatan ekonomi AS sebagai pusat ekonomi dunia tentu akan memberi efek domino pada berbagai negara. Pasalnya, AS akan mengurangi aktivitas perdagangan, sehingga akan ada pengurangan transaksi ekspor-impor dari AS.
Selain itu, kebijakan kenaikan suku bunga akan membuat selisih suku bunga Indonesia dan AS semakin tipis menjadi 0-0,25 basis poin. Hal ini dapat menyebabkan tekanan rupiah semakin parah, jika Bank Sentral Indonesia (Bank Indonesia/BI) tidak ikut menaikkan suku bunganya.
Oleh sebab itu, kebijakan ini akan memungkinkan seluruh dunia mengikuti keputusan The Fed jika kembali hawkish, sehingga perekonomian global turun akan mengalami perlambatan.
Harga Komoditas Terbang, Berkah dan Musibah Bagi RI
Lonjakan harga komoditas akan memberi dampak ganda yang bertolak belakang bagi Indonesia. Kenaikan harga minyak yang sangat signifikan bisa membebani impor serta anggaran subsidi.
Impor yang membengkak tentu saja menjadi kabar buruk bagi rupiah yang tengah terkapar mengingat kenaikan impor berarti juga meningkatnya kebutuhan dolar.
Di pasar keuangan, perang juga akan menimbulkan ketidakpastian sehingga bisa membuat pasar tertekan.
Di sisi lain, kenaikan harga komoditas bisa menjadi durian runtuh bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga minyak dan batu bara akan menambah pendapatan negara. Kenaikan harga batu bara akan sangat menguntungkan mengingat Indonesia adalah eksportir terbesar batu bara. Dampak positif akan dirasakan mulai dari perusahaan, pendapatan negara, hingga jutaan masyarakat yang menggantungkan hidup dari komoditas batu bara.
Sebagai catatan, pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan negara sebesar Rp 410 triliun dari lonjakan harga komoditas tahun lalu setelah perang Rusia-Ukraina meledak.
Di pasar saham, lonjakan harga komoditas akan sangat menguntungkan bagi emiten berbasis komoditas energi seperti PT Medco Energi Internasional Tbk, PT Indika Energy Tbk (INDY), PT PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), hingga PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
(mza/mza)