Newsletter

Kebangkitan IHSG & Rupiah Diuji Trump, Sanggup Bertahan?

Revo M, CNBC Indonesia
04 March 2025 06:25
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Indonesia kompak mencatat kinerja positif setelah hancur lebur pada pekan sebelumnya
  • Wall Street ambruk pada perdagangan Senin karena kebijakan tarif Trump
  • Kebijakan tarif trump, deflasi pada Februari dan PMI diperkirakan akan menjadi penggerak sentimen hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan kinerja impresif pada Selasa (04/03/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terbang, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penguatan, dan Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilirik asing.

Pasar keuangan domestik hari ini (04/03/2025) masih akan bergerak volatil dengan terdapat beberapa sentimen khususnya yang datang dari luar negeri tepatnya dari Amerika Serikat (AS) dan akan memengaruhi IHSG, nilai tukar rupiah, dan imbal hasil SBN. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada n perdagangan kemarin (03/03/2025) ditutup melesat 3,97% ke posisi 6.519,66 dan kembali ke atas level psikologis 6.500.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp15,8 triliun dengan melibatkan 21 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,31 juta kali. Sebanyak 454 saham menguat, 162 saham melemah, dan 180 saham stagnan.

Kendati demikian, investor asing tampak masih keluar dari pasar saham Indonesia sebesar Rp137 miliar (all market).

Secara sektoral, 10 dari 11 sektor berada di zona positif. Sektor basic industrials mengalami apresiasi paling tinggi yakni 4,12% diikuti dengan infrastructures dan finance yang masing-masing menguat 3,35% dan 3,46%.

Hanya sektor healthcare yang terkoreksi tipis 0,01%.

Penguatan IHSG kemarin menjadi kabar baik setelah bursa hancur lebur pada pekan sebelumnya.

Direktur Utama BEI Iman Rachman mengatakan, pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan para pelaku pasar pada Senin, (3/3/2025) mendatang. Iman menyebutkan bahwa BEI juga akan berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna mencari solusi yang dapat diterapkan dalam jangka pendek.

"Kami tidak diam. Kami akan melihat langkah-langkah yang bisa diambil. Senin nanti, kami akan mengumpulkan para pelaku pasar. Sebagai SRO (Self Regulatory Organization), kami memiliki peran dalam ekosistem ini, dan kami akan berdiskusi dengan para pelaku mengenai apa yang bisa dilakukan, kata Iman di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Gedung BEI, Jakarta, Jumat, (28/2/2025).

Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah kebijakan terkait short selling. BEI akan mendengar masukan dari para pelaku pasar guna menentukan apakah kebijakan ini dapat diterapkan dan sejauh mana dampaknya terhadap stabilitas indeks. Ia menekankan pentingnya menghadirkan kabar positif agar investor asing tidak semakin menjauh dan tetap memiliki kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia.

Sementara dari pasar mata uang, rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan kemarin sebesar 0,6% di angka Rp16.475/US$ pada hari kemarin. Posisi ini mematahkan tren pelemahan yang telah terjadi selama empat hari beruntun atau sejak 25 Februari 2025.

Apresiasi tersebut terjadi seiring dengan hilangnya momentum naiknya indeks dolar AS (DXY) setelah Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan pada hari Minggu bahwa tarif terhadap Meksiko dan Kanada masih "bersifat fleksibel," yang mengisyaratkan bahwa tarif tersebut bisa lebih rendah dari 25% yang diusulkan.

Apabila hal ini terus terjadi, maka rupiah berpotensi sedikit mengalami penguatan untuk sementara waktu.

Selanjutnya, beralih pada imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun terpantau turun ke 6,883%.

Posisi imbal hasil ini merupakan yang terendah sejak 26 Februari 2025.

Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield turun berarti harga obligasi naik, hal ini bahwa investor mulai membeli SBN Tanah Air.

Dari Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street hancur lebur pada perdagangan Senin waktu AS atau Selasa dini hari waktu Indonesia. Bursa jatuh karena Presiden AS Donald Trump menegaskan kebijakannya untuk menerapkan tarif ke Meksiko dan Kanada.

Indeks S&P ambruk 1,76%, ditutup di 5.849,72, yang menjadi hari terburuknya sejak Desember.  Indeks Dow Jones turun 649,67 poin, atau 1,48%, berakhir di 43.191,24, dan indeks Nasdaq jatuh 2,64%, ditutup di 18.350,19.

Salah satu saham yang ambles adalah Nvidia yakni lebih dari 8%.

Bursa jatuh menyusul keputusan Trump untuk menerapkan tarif sebesar 25% ke Meksiko dan Kanada. Penegasan ini menghapus harapan investor jika Trump akan menunda atau menghentikan kebijakan tersebut.

"Tidak ada ruang lagi untuk Meksiko atau Kanada. Tarif timbal balik dimulai pada 2 April ... tetapi yang sangat penting, besok, tarif 25% untuk Kanada dan 25% untuk Meksiko ... akan mulai berlaku." " kata Trump di Gedung Putih, berdampingan dengan Menteri Perdagangan Howard Lutnick.

Trump juga menandatangani tindakan untuk memberlakukan tambahan bea 10% terhadap China.

Pergerakan risk-off pun terjadi, menghantam segala sektor mulai dari teknologi hingga saham small caps. Selain Nvidia, saham perusahaan yang sebelumnya populer AI seperti Broadcom dan Super Micro Computer juga anjlok. Di tempat lain, indeks Russell 2000, yang berfokus pada saham small cap, turun hampir 3%.

Saham-saham yang berpotensi terkena dampak langsung dari tarif atau pembalasan dari negara-negara yang ditargetkan juga mengalami penurunan. GM dan Ford mencapai titik terendah sesi perdagangan setelah komentar Trump. Dana yang diperdagangkan di bursa (exchange-traded funds atau ETF) dari iShares yang melacak Meksiko dan Kanada masing-masing turun lebih dari 1%.

"Apakah pasar saham bisa bertahan menghadapi perubahan ini masih harus dilihat," kata Chris Rupkey, kepala ekonom di FWDBONDS, dalam sebuah catatan. "Bagaimanapun juga, tarif akan menjadi kejutan bagi ekonomi."

Aksi jual pada hari Senin yang mengawali n Maret terjadi setelah ketiga indeks utama mencatat kerugian sepanjang Februari, terutama karena ketakutan akan dampak tarif serta tanda-tanda awal melemahnya ekonomi. Dow dan S&P 500 masing-masing turun lebih dari 1% pada Februari, sementara Nasdaq Composite, yang didominasi saham teknologi, mengalami bulan terburuknya sejak April 2024 dengan pelemahan sekitar 4%.

Data ekonomi yang lemah dari sektor manufaktur dan konstruksi yang dirilis pada hari Senin semakin menambah kekhawatiran tentang kondisi ekonomi AS. Rangkaian data ini membuka pekan yang sibuk untuk laporan ekonomi, yang akan ditutup dengan laporan ketenagakerjaan Februari yang dijadwalkan rilis pada hari Jumat.

Pelaku pasar keuangan mesti mencermati sejumlah sentimen yang akan berdampak kepada pergerakan IHSG, rupiah, dan SBN hari ini. Ambruknya Wall Street, kebijakan tarif Trump dan deflasi pada Februari akan menjadi penggerak pasar hari ini.

Tarif Trump Picu Ketidakpastian

Presiden AS, Donald Trump mengatakan pada Senin bahwa tarif 25% atas impor dari Meksiko dan Kanada akan mulai berlaku pada hari hari ini, Selasa (4/3/2025). Kebijakan ini memicu kembali ketakutan akan perang dagang di Amerika Utara yang sudah menunjukkan tanda-tanda meningkatkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

"Besok-tarif 25% untuk Kanada dan 25% untuk Meksiko. Dan itu akan dimulai. Mereka harus membayar tarif.," kata Trump kepada wartawan di Roosevelt Room.

Trump menyatakan bahwa tarif tersebut bertujuan untuk memaksa kedua negara tetangga AS meningkatkan upaya mereka dalam memerangi perdagangan fentanyl dan menghentikan imigrasi ilegal. Namun, Trump juga mengisyaratkan bahwa ia ingin menghilangkan ketidakseimbangan perdagangan di kawasan Amerika serta mendorong lebih banyak pabrik untuk pindah ke Amerika Serikat.

Namun, pemerintahan Trump tetap yakin bahwa tarif adalah pilihan terbaik untuk meningkatkan manufaktur AS dan menarik investasi asing. Menteri Perdagangan Howard Lutnick mengatakan pada hari Senin bahwa produsen chip komputer TSMC telah memperluas investasinya di Amerika Serikat karena kemungkinan diberlakukannya tarif terpisah sebesar 25%.

Sebagai catatan, Kanada, China dan Meksiko adalah penyuplai impor terbesar untuk Amerika Serikat. Mereka berkontribusi sebesar 45% terhadap total impor Amerika Serikat.

Dilansir dari APnews, pada Februari lalu, Trump memberlakukan tarif 10% terhadap impor dari China. Pada hari Senin, ia menegaskan kembali bahwa tarif tersebut akan meningkat dua kali lipat menjadi 20% pada hari Selasa.

Trump sempat memberikan penundaan selama satu bulan pada Februari setelah Meksiko dan Kanada menjanjikan konsesi. Namun, pada Senin (3/3/2025), Trump menyatakan bahwa "tidak ada lagi ruang bagi Meksiko atau Kanada" untuk menghindari tarif baru yang tinggi, yang juga mencakup pajak sebesar 10% untuk produk energi Kanada seperti minyak dan listrik.

"Jika Trump memberlakukan tarif, kami sudah siap. Kami siap dengan tarif senilai US$155 miliar, dan kami siap dengan tahap pertama tarif senilai US$30 miliar."  kata Menteri Luar Negeri Kanada Mélanie Joly.

Joly mengatakan bahwa Kanada memiliki rencana perbatasan yang sangat kuat dan telah menjelaskannya kepada pejabat pemerintahan Trump pekan lalu. Ia menambahkan bahwa upaya diplomatik terus berlanjut.

Kedua negara telah berusaha menunjukkan tindakan konkret dalam menanggapi kekhawatiran Trump. Meksiko mengirim 10.000 tentara Garda Nasional ke perbatasan untuk menindak perdagangan narkoba dan imigrasi ilegal. Kanada menunjuk seorang fentanyl czar, meskipun penyelundupan obat tersebut dari Kanada ke Amerika Serikat tampaknya relatif kecil.

Pada pertengahan Februari, Trump mengumumkan kebijakan perdagangan resiprokal atau timbal balik yang bertujuan untuk mengembalikan keadilan dalam perdagangan global. Di bawah kebijakan ini, ia menyatakan bahwa Amerika Serikat akan memberlakukan tarif impor yang setara dengan tarif yang dikenakan oleh negara lain. Trump menegaskan bahwa AS akan mengenakan tarif timbal balik, yang berarti tarif tersebut akan mencerminkan tarif yang dikenakan oleh negara lain-tidak lebih, tidak kurang.

Trump juga menyoroti negara-negara dengan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value-Added Tax atau VAT), yang ia anggap lebih memberatkan dibandingkan tarif tradisional. Di bawah kebijakan baru ini, negara-negara tersebut akan menerima perlakuan timbal balik, di mana AS akan mengenakan tarif yang setara dengan besaran VAT yang dikenakan pada barang-barang AS.

Kebijakan Trump ini diperkirakan akan memicu ketidakpastian di pasar keuangan dan meningkatkan potensi outflow. IHSG dan rupiah pun bis terdampak besar jika outflow meningkat.

Sektor Penopang IHSG, Akankah Sanggu Bertahan?

Sektor yang mendorong IHSG kemarin yakni sangat banyak, seperti basic industrials yang naik 4,12%, infrastructures dan finance yang menguat 3,35% dan 3,46%.

Tidak hanya itu, sektor consumer non-cyclical juga melesat 2,92%, diikuti dengan property dan energy yang masing-masing juga naik 2,62% dan 2,46%.

Namun berbeda halnya dengan sektor healthcare yang turun tipis 0,01% mengingat ada salah satu saham di sektor ini yang turun nyaris 12% dalam sehari.

Kendati demikian, mayoritas saham di sektor kesehatan ini masih tergolong cukup positif dengan dominasi ditutup di zona hijau.

Dengan performa tersebut, bukan tidak mungkin IHSG berpeluang untuk kembali menanjak pada perdagangan hari ini.

Deflasi RI, Ancaman Daya Beli?

Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami penurunan atau deflasi baik secara bulanan (month to month) ataupun tahunan (year on year/yoy). Deflasi (yoy) ini adalah fenomena langka di Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2025, IHK turun atau deflasi sebesar 0,48% (mrm) dan deflasi sebesar 0,09% (yoy).

Secara bulanan, deflasi sudah terjadi selama dua bulan beruntun (Januari -Februari 2025).

Deflasi Februari ini menjadi tanda tanya karena terjadi justru sebulan sebelum Ramadan. Pasalnya, IHK biasanya melesat atau mengalami inflasi tinggi menjelang datangnya Ramadan karena masyarakat meningkatkan permintaan barang, terutama makanan. Seperti diketahui, umat Islam di Indonesia mengawali Ramadan pada 1 Maret 2025.

Selain bulanan deflasi juga terjadi pada perhitungan IHK tahunan. Deflasi secara tahunan ini adalah fenomena sangat langka di Indonesia.

Sejak era krisis 1997/1998, Indonesia hanya mengalami dua kali deflasi (yoy) yakni pada Maret 2000 dan Februari tahun ini. Artinya, fenomena deflasi tahunan hanya terjadi 25 tahun yang lalu.

Terjadinya deflasi pada Maret 2000 lebih disebabkan karena inflasi pada periode sebelumnya sangat tinggi, Inflasi pada Maret 1999 menembus 45%.

Namun, berbeda dengan kondisi saat ini di mana laju inflasi terbilang rendah. Sebagai catatan, inflasi Februari 2024 tercatat 2,75%.

BPS menyebut deflasi secara tahunan disebabkan oleh turunnya tarif listrik karena diskon listrik masih berlangsung pada Februari 2025.

Namun, fakta bahwa deflasi terjadi sebelum Ramadan dan fenomena langka deflasi tahunan maka perlu dicermati. Terjadinya deflasi dua bulan beruntun dan terlebih menjelang Puasa bisa menjadi sinyal jika daya beli masyarakat melemah.
Kondisi ini tentu berdampak besar terhadap prospek kinerja perusahaan. Padahal, Ramadan biasa menjadi bulan pendulang cuan, terutama untuk perusahaan consumer goods, transportasi, hingga perbankan.

PMI Melesat, Sinyal Baik Atau Sementara?

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global kemarin Senin (3/3/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 53,6. Angka ini adalah yang tertinggi sejak Maret 2024 atau 11 bulan terakhir.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P menjelaskan lonjakan PMI didorong oleh kenaikan pesanan baru yang kencang, bahkan menjadi yang tercepat dalam hampir setahun.

Lonjakan ini mendorong ekspansi yang juga melambungkan produksi, aktivitas pembelian, dan ketenagakerjaan. Bahkan, peningkatan jumlah tenaga kerja pada Februari merupakan yang tercepat yang pernah tercatat dalam survei ini.

Lonjakan PMI terjadi di tengah datangnya Ramadan yang bertepatan dengan Maret 2025.
Ramadan adalah puncak konsumsi masyarakat Indonesia di mana selalu terjadi lonjakan permintaan barang dan jasa.
Secara tradisi, pabrik memang akan meningkatkan kapasitas menjelang Ramadan karena meningkatnya permintaan.

Bila melihat data PMI, lonjakan manufaktur memang selalu terjadi menjelang Ramadan. Tahun lalu, misalnya, PMI melonjak ke 54,2 pada Maret atau saat mendekati Ramadan.

Rapat Bulanan OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  akan menyelenggarakan konferensi pers RDK Bulanan (RDKB) Februari 2025. Menarik disimak apa saja langkah OJK di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat, kinerja jelek IHSG, serta besarnya outflow.
Menarik disimak pula seperti apa perkembangan industri keuangan selama Februari dan dampaknya ke ekonomi.

Diskon Tiket lebaran

Pemerintah resmi memberikan insentif berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tiket pesawat ekonomi domestik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan insentif ini akan membantu menekan harga tiket pesawat hingga 14%.
"Sesuai arahan Presiden agar kita terus membantu masyarakat, terutama di masa-masa penting seperti Lebaran, maka Kementerian Keuangan memberikan keringanan bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (1/3/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 18 Tahun 2025, yang mengatur PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebagian untuk tiket pesawat ekonomi domestik

Adapun insentif ini berlaku untuk tiket yang dibeli pada periode 1 Maret hingga 7 April 2025, dengan jadwal penerbangan antara 24 Maret hingga 7 April 2025. Dalam kebijakan ini, PPN yang biasanya dikenakan sebesar 11% kini dipotong 6%, sehingga masyarakat hanya perlu membayar pajak sebesar 5%, sementara sisanya ditanggung pemerintah.

Sementara itu, harga tiket pesawat selama masa mudik lebaran bakal turun sebesar 13%-14% seiring dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18 Tahun 2025.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan pemerintah telah berhasil menurunkan ongkos kebandarudaraan, termasuk penurunan biaya avtur di 37 bandara. Hal tersebut bakal berdampak pada penurunan harga tiket pesawat.

Adapun khusus untuk masa mudik lebaran tahun ini, pemerintah juga memberikan insentif tambahan berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah sebagian.

Diskon tiket ini tentu akan berdampak positif kepada permintaan masyarakat hingga perusahaan yang terkait transportasi. Dengan adanya diskon maka permintaan jasa transportasi diharapkan bisa meningkat.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Interest Rate Decision Korea (08:00 WIB)
  2. GDP Growth Rate Germany (14:00 WIB)
  3. US. CB Consumer Confidence (20:00 WIB)
  4. OJK akan menyelenggarakan konferensi pers RDK Bulanan (RDKB) Februari 2025 via zoom meeting (14.00 WIB)

  5. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh mengundang rekan-rekan jurnalis untuk hadir dalam konferensi pers terkait permasalahan SRITEX via zoom meeting (11.00 WIB

  6. Rapat koordinasi pemantauan ketersediaan pasokan dan harga daging ayam ras selama Ramadan 1446 H/2025 M di Auditorium Kemendag, Jakarta Pusat (13.00 WIB)

  7. Konferensi pers Kesiapan Jasa Marga, Hutama Karya dan Jasaraharja dalam persiapan Ramadan dan Idul Fitri 2025 di Media Center Kementerian BUMN, Jakarta Pusat (09.30 WIB)

  8. Menteri Perdagangan melakukan pemantauan Harga Barang Kebutuhan Pokok di Pasar Induk Beras Cipinang bersama Menko Bidang Pangan di Pasar Induk Beras Cipinang, Pulo Gadung, Jakarta Timur )07.30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Pemberitahuan RUPS Rencana PT Bank Maspion Indonesia Tbk. (BMAS)
  2. Pemberitahuan RUPS Rencana PT Venteny Fortuna International Tbk (VTNY)
  3. tanggal DPS HMETD PT MNC Energy Investments Tbk (IATA)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular