Harga Batu Bara Ikut Terbang Karena Perang Israel vs Hamas?

- Pertempuran Israel-Palestina mengancam ambisi Israel menjadi pusat ekspor gas alam Eropa.
- Gangguan pasokan dapat diperparah, mengingat Israel dan Palestina memiliki hubungan dengan beberapa pemain penting energi global.
- Berbagai gangguan tersebut mengingatkan akan ancaman energi global, seperti yang terjadi setahun sebelumnya akibat perang Rusia-Ukraina.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasokan energi terancam akibat perang di Timur Tengah. Harga energi fosil seperti minyak, gas alam, dan batu bara diperkirakan akan melesat.
Pertempuran antara Israel dan militan dari Gaza dapat mengancam ambisi Israel dan wilayah Mediterania timur yang lebih luas untuk menjadi pusat ekspor gas alam ke Eropa dan negara lain. Tidak hanya itu, ancaman geopolitik dapat mengganggu pasokan energi global, seperti minyak, gas, dan batu bara layaknya yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina.
Rencana Israel menjadi lumbung gas Eropa mendapat dorongan seiring Chevron, raksasa energi Amerika, mengakuisisi saham di dua ladang gas besar lepas pantai Israel ketika membeli Nobel Energy pada tahun 2020 dengan nilai sekitar US$4 miliar.
Sebagai informasi, Nobel Energy telah memimpin pengembangan gas Israel. Ladang gas alam di lepas pantai Israel kini menyumbang sekitar 70 persen pembangkit listrik di negara itu, sehingga mengurangi penggunaan batu bara yang menimbulkan polusi. Gas ini juga membantu Israel mengurangi ketergantungan yang besar terhadap impor energi.
Fasilitas-fasilitas tersebut memiliki keamanan yang ketat, meskipun salah satu platform produksi yang dioperasikan Chevron, bernama Tamar, berjarak sekitar 15 mil dari Ashkelon, sebuah kota di Israel selatan, dan berpotensi rentan terhadap serangan yang berasal dari Gaza.
![]() Produksi dan Konsumsi Gas Israel |
Selama pertempuran pada 2021, pemerintah Israel menginstruksikan Chevron untuk menutup sementara Tamar. Israel yang kembali melakukan serangan memungkinkan adanya kebijakan penghentian produksi yang akan mengancam pasokan.
Risiko tersebut memungkinkan Israel kehilangan mayoritas pasokan gasnya, sehingga terdapat kemungkinan Israel kembali melakukan impor energi dan tidak menutup probabilitas kembali digunakannya batu bara yang lebih murah.
Melansir New York Times, Chevron baru-baru ini menyatakan pihaknya "fokus pada pasokan gas alam yang aman dan andal untuk kepentingan pasar domestik Israel dan pelanggan regional kami." Raksasa minyak global tersebut juga telah mengajukan pertanyaan pada Pemerintah Israel terkait kelanjutan operasional.
Tidak hanya itu, fasilitas Leviathan dan Tamar telah memperkirakan akan menambah jaringan pipa untuk membantu meningkatkan aliran gas dari Israel ke Mesir, yang secara tidak langsung mengekspor produksi Israel dalam bentuk gas alam cair (LNG) dari fasilitas di pantai Mediterania.
Terjadinya perang ini bisa menghilangkan kesempatan pengembangan blok LNG di perairan Israel, bahkan Negara Timur Tengah lainnya yang cenderung berpihak terhadap Hamas akan mengecam tindakan perang seperti yang dilakukan Eropa terhadap Rusia.
Kecaman Negara Timur Tengah Mengancam Pasokan Energi
Melansir catatan CNBC Indonesia, terdapat kemungkinan pasokan dari Iran akan turut terganggu.
"Mengingat ketatnya pasar minyak fisik pada kuartal keempat tahun 2023, pengurangan langsung ekspor minyak Iran berisiko mendorong kontrak berjangka Brent di atas US$100/bbl dalam jangka pendek."
CNN Indonesia mencatat letusan kekerasan itu terancam menggagalkan upaya AS untuk menengahi pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Israel, di mana kerajaan tersebut akan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan kesepakatan pertahanan antara Washington dan Riyadh.
Normalisasi hubungan Saudi-Israel kemungkinan akan membekukan langkah-langkah menuju perdamaian antara Arab Saudi dan Iran.
"Meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah akan mendukung harga minyak... volatilitas yang lebih tinggi dapat diperkirakan terjadi," kata analis dari ANZ Bank dalam catatan kliennya.
Serangan tersebut mendapat kecaman dari negara-negara Barat, tetapi secara terbuka dipuji oleh Iran dan Hizbullah, sekutu Iran di Lebanon. Sebagai informasi, negara Timur Tengah merupakan pemasok utama minyak global, dengan posisi berbagai negara sebagai eksportir terbesar dunia.
Persoalan ini disinyalir membuat terjadinya aksi panic buying untuk memastikan pasokan energi beberapa negara di dunia. Harga minyak mentah dunia kompak dibuka melesat pada perdagangan Senin (9/10/2023) karena ketidakpastian di wilayah Timur Tengah.
Hari ini harga minyak mentah WTI dibuka melejit 2,97% di posisi US$85,25 per barel, sementara minyak mentah brent dibuka melesat 2,21% ke posisi US$86,45 per barel.
Terancamnya pasokan minyak dan gas sebagai sumber energi berpotensi mendorong laju harga komoditas substitusinya yaitu batu bara. Hal ini terjadi saat pasokan energi migas terganggu dan mengalami kenaikan harga, pembangkit akan beralih ke sumber energi yang lebih murah. Seiring penggantian sumber energi, fenomena ini dapat mendorong harga batu bara menguat.
Di sisi lain, harga batu bara juga relatif telah memasuki fase jual jenuh (oversold) yang tentunya sedikit sentimen dapat mendorong kenaikan harga. Sebagai catatan, harga batu bara melejit dari US$ 237 per ton pada 23 Februari 2022 ke kisaran US$ 400 pada awal Maret 2022.
Namun, perlu dicatat jika Rusia adalah pemasok utama batu bara dunia sementara Timur Tengah bukanlah produsen batu bara.
Lantas, akankah perang Israel ini akan kembali membawa harga batu bara kembali melejit, seperti dampak perang Rusia Ukraina 2022 lalu?
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)