Harga Minyak Panas Karena Perang, RI Untung atau Buntung?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
13 October 2023 17:10
Perhatian! 4 Daerah Ini Kena Uji Coba Pembatasan Pertalite
Foto: Infografis/ Perhatian! 4 Daerah Ini Kena Uji Coba Pembatasan Pertalite/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak liar dalam kurun waktu sebulan terakhir. Perang antara Israel dan Hamas sempat melambungkan harga minyak dunia, bahkan nyaris mencapai US$100 per barel. Kemudian sikap The Fed memukul mundur harga minyak kembali ke US$80-an per barel.

Harga minyak dunia memang paling sensitif dengan kisruh geopolitik maupun ekonomi. Pasalnya kebijakan ekonomi dapat menentukan permintaan minyak. Begitu juga dengan perang yang dapat membuat pasokan minyak berkurang.

Semua sentimen tersebut mengerucut pada permintaan dan pasokan. Saat permintaan tinggi, harga minyak akan naik dan sebaliknya. Begitu pula saat pasokan rendah harga minyak akan memanas. Belum lagi harga minyak juga bergerak terhadap proyeksi ekonomi.

Misalnya saja mengenai suku bunga tinggi yang dapat memicu krisis. Krisisnya belum ada tapi harga minyak di pasar akan merespon hal itu.

Ini juga terjadi pada harga minyak setengah bulan terakhir. Saat ada perang Israel dan Hamas ditakutkan aliran minyak akan tersendat. Alhasil harga minyak dunia melejit hingga menyentuh US$98 per barel dan menjadi tertinggi sepanjang 2023.

Namun laporan dari Agen Energi Dunia (IEA) mengatakan bahwa konflik Israel-Hamas tidak berdampak langsung terhadap aliran minyak.

"Didorong oleh pertumbuhan non-OPEC+, produksi global akan meningkat masing-masing sebesar 1,5 juta juta barel/hari dan 1,7 juta barel/hari pada tahun 2023 dan 2024, dan mencapai rekor tertinggi baru," tulis laporan EIA Oktober 2023.

Selain konflik, harga minyak dunia yang naik signifikan juga dipengaruhi oleh Arab Saudi dan Rusia memperpanjang pengurangan produksi sukarela mereka hingga akhir tahun. Kedua negara penghasil minyak melakukan kebijakan tersebut ketika persediaan minyak mentah dan hasil sulingan berada pada tingkat yang sangat rendah.

Meskipun demikian, dalam waktu singkat pasar melupakan serangkaian sentimen yang mendorong harga minyak. Investor tampak lebih dagdigdug soal suku bunga bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve atau The Fed.

The Fed masih menjadi momok bagi pelaku pasar minyak. Sebab pergumulan antara inflasi dan minyak dunia masih berlanjut hingga saat ini.

Inflasi AS di luar dugaan melaju kencang pada September 2023.Inflasi AS menembus 0,4% (mtm) dan 3,7% (yoy) pada September 2023. Pada Agustus 2023, inflasi AS tercatat 0,6 (mtm) dan 3,7% (yoy) pada Agustus 2023. Sementara itu, inflasi inti mencapai 0,2% (mtm) dan 4,1% (yoy) pada September 2023.Inflasi melaju lebih kencang dibandingkan ekspektasi pasar yakni 0,3% (mtm) dan 3,6% (yoy).

Data inflasi membuat pasar kecewa karena mencerminkan masih panasnya ekonomi AS. Kondisi ini pada berujung pada ketatnya kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) ke depan. Inflasi September masih jauh dari target sasaran The Fed yakni 2%.

Inflasi AS yang masih kencang ini meningkatkan ekspektasi pasar jika The Fed masih akan galak ke depan.

Perangkat FedWatch Tool menunjukkan 14,96% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Angka ini naik dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai 9,1%.

Kenapa The Fed memiliki pengaruh?

Tentu saja AS adalah mesin ekonomi dunia. Ibarat sebuah mobil jika sudah turun mesin pasti kinerjanya akan terganggu. Entah melambat atau bahkan rusak, begitu juga dengan dunia saat ini.

Apa yang terjadi ketika sebuah mobil rusak? Tentunya tidak bisa jalan. Saat mobil tidak bisa jalan, konsumsi bensin pun menjadi berkurang bahkan tidak ada.

Jika kembali ke soal harga minyak dunia, saat ekonomi AS turun permintaan juga berpotensi turun. Maka harga akan membentuk ekuilibrium baru di mana sumbu x atau jumlah barang yang diminta turun, maka sumbu y atau harga barang juga akan ikut turun.

EIA melaporkan bahwa permintaan minyak AS berada di titik terendah dalam dua dekade pada awal September.

"Bukti kehancuran permintaan terlihat dengan data awal September yang menunjukkan bahwa konsumsi bensin AS turun ke titik terendah dalam dua dekade," tulis EIA.

Perlu diketahui, melansir dari laporan Energy Institute negara Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai konsumen minyak bumi terbesar di dunia pada tahun 2022, konsumsinya mencapai 19,1 juta barel per hari angka ini merupakan 19,7% dari total konsumsi dunia yang jumlahnya mencapai 97,3 juta barel per hari. Namun memang, AS ini dikenal dengan konsumen setia minyak bumi sejak 2012.

Apa dampaknya bagi Indonesia jika Harga Minyak bergejolak?

Pastinya adalah inflasi. CGS CIMB menghitung dalam risetnya setiap perubahan 10% pada harga minyak akan berdampak pada biaya energi dan transportasi, sehingga meningkatkan inflasi sebesar 0,86% poin.

Kenaikan harga minyak akan membuat harga bahan bakar minyak non subsidi melambung. Hanya saja ini hal ini mungkin tidak berpengaruh signifikan sebab pengguna bahan bakar minyak non subsidi di Indonesia lebih rendah dibanding BBM subsidi.

Akan tetapi, secara tidak langsung akan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga membuat harga barang output menjadi lebih mahal sehingga terjadi inflasi.

Yang pasti inflasi yang memanas akan membuat produktivitas masyarakat berkurang. Sebab akan membuat gairah untuk ekspansi berkurang dan memilih memarkir uangnya di bank seperti deposito. Saat inflasi tinggi suku bunga juga akan mengikuti sehingga tingkat bunga deposito akan lebih menarik dibanding risiko tinggi ekspansi usaha.

Namun ada lagi kaitannya dengan keuangan negara. Harga minyak yang tinggi bisa mencekik kas negara karena subsidi nantinya yang begitu besar.

Namun pemerintah tampaknya tidak mau mengambil risiko tahun ini dengan meningkatkan asumsi harga minyak dunia pada 2023 dibandingkan 2022.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Abdurohman menjelaskan apabila melihat asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude price (ICP) yang berada di angka US$ 90 per barel pada APBN 2023, ICP pada tahun ini diperkirakan akan lebih rendah dari yang sudah ditetapkan di dalam APBN.

"Tadi kami sampaikan bahwa secara keseluruhan tahun ini akan berada di bawah US$ 90 per barel ataupun kalau naik menjadi US$ 100 per barel saya kira ini apa namanya deviasi terhadap asumsi harga minyak yang kita tetapkan di APBN tahun 2023 pun tidak terlalu besar saya kira," ujarnya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (26/9/2023).

Tidak melulu buruk, kenaikan harga minyak dunia juga berdampak positif bagi penerimaan negara. Mulai dari sisi Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) Migas.

"Dan juga dampak tak langsungnya adalah terhadap penerimaan PPN dan juga PPh badan dari perusahaan migas. Di sisi lain untuk belanja memang nanti akan berdampak pada besaran subsidi dan juga kompensasi," kata dia.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(ras/ras)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation