Perang Israel vs Hamas: Warga Dunia Harus Tanggung Derita Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Wilayah Timur Tengah kembali memanas setelah perang Israel menyatakan perang melawan Hamas pada Minggu (8/10/2023). Serangan tidak hanya menewaskan ribuan orang tetapi membawa dampak yang sangat besar kepada perekonomian global.
Jumlah korban tewas dalam konflik tersebut melonjak di atas 1.100 orang setelah kelompok militan Palestina melancarkan serangan kejutan besar-besaran dari Gaza. Pejuang dari kelompok Islam Hamas membunuh 700 warga Israel dan menculik puluhan lainnya ketika mereka menyerang kota-kota Israel pada hari Sabtu (7/10/2023). Serangan tersebut menjadi yang paling mematikan ke wilayah Israel sejak serangan Mesir dan Suriah dalam perang Yom Kippur 50 tahun lalu.
Sebagai tanggapan, serangan udara Israel menghantam blok perumahan, terowongan, masjid dan rumah pejabat Hamas di Gaza pada hari Minggu, menewaskan lebih dari 400 orang, termasuk 20 anak-anak, sesuai dengan sumpah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk "balas dendam yang besar".
Pasar memperkirakan ketakutan akan konflik yang lebih luas di Timur Tengah menjadi kekhawatiran ekonomi global. Serangan tersebut juga menjadi guncangan keuangan global baru di tengah masih kencangnya sentimen kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) mendatang.
Pemogokan yang terjadi pada hari Sabtu dan deklarasi perang Israel selanjutnya menimbulkan risiko yang menakutkan bagi pasar ketika pasar dibuka kembali pada hari ini. Senin (9/10/2023) dimana para investor mengamati reaksi harga minyak sebagai tolok ukurnya, meskipun para pedagang minyak mentah tidak mengantisipasi lonjakan yang terlalu besar.
Para pedagang obligasi perlu segera menentukan apakah bentrokan tersebut merupakan alasan untuk terburu-buru menyelamatkan dolar, menghindari utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi, atau takut akan terjadinya inflasi lagi.
Dampaknya terhadap pasar kemungkinan besar akan ditentukan oleh apakah konflik akan menyebar ke wilayah Timur Tengah lainnya. Terlebih, Iran adalah produsen minyak utama dan pendukung Hamas.
Krisis geopolitik di Timur Tengah biasanya menyebabkan harga minyak naik dan harga saham turun.
Terbukti pada pagi hari ini Senin (9/10/2023), minyak wti dan brent sudah melesat sebesar 5%, dengan minyak wti berada di level tertinggi US$87,24 dan minyak brent di level tertinggi US$89 per barel.
Kenaikan harga minyak mentah bisa melambungkan kembali inflasi. Dampak besar tersebut akan dirasakan negara net-importir seperti Indonesia. Selain kenaikan harga minyak, ketegangan geopolitik di Israel dan Hamas bisa berdampak berupa:
• Akan terjadi lonjakan volatilitas, dengan pendapatan tetap jangka pendek kembali menjadi aset safe haven seperti emas, sementara sektor-sektor yang bersifat siklis akan menjadi sorotan.
Harga emas dunia di pasar spot pagi ini Senin (9/10/2023) melesat 1% di posisi US$1.867 per troy ons.
• Berdampak negatif terhadap pasar keuangan saham
Saat terjadi perang, aset berisiko seperti saham menjadi kurang menarik. Investor pun lebih memilih melepas saham dan mencari aset aman lainnya.
• Kenaikan harga-harga komoditas seperti minyak mentah dunia
Harga minyak dunia sudah melambung dalam sebulan terakhir karena ekspektasi kebijakan The Fed yang masih hawkish.
Waktu terjadinya konflik sangat buruk mengingat adanya pembicaraan antara Arab Saudi dan Israel. Konflik di Timur Tengah jelas berdampak pada harga minyak. Pasar akan khawatir terhadap harga energi yang lebih tinggi.
Konflik ini akan berdampak bagi produsen minyak besar seperti Iran dan Arab Saudi ditambah jalur pelayaran utama yang melewati titik-titik sempit (chokepoint) di Selat Malaka. Hormuz, Bab-el-Mandeb, dan Terusan Suez.
Pasar keuangan akan khawatir terhadap risiko kenaikan harga minyak yang akan mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah global.
Jika konflik meluas ke seluruh wilayah maka pasokan minyak dapat terancam. Perdamaian apa pun antara Israel dan Arab Saudi dan potensi peningkatan produksi minyak Saudi tidak akan mungkin dilakukan oleh kedua negara jika Israel dan Palestina sedang berperang.
Jika Iran dianggap telah memicu permusuhan di Gaza dan Israel selatan, maka AS kemungkinan akan memperketat penegakan sanksi yang ada terhadap ekspor minyak Iran. Semua faktor ini kemungkinan akan mendorong harga minyak naik dalam waktu dekat dan oleh karena itu meningkatkan ketakutan terhadap inflasi secara global.
• Risiko nomor satu bagi perekonomian global adalah kemungkinan gelombang inflasi ketiga
Inflasi global mulai mereda setelah melambung tahun lalu akibat Perang Rusia-Ukraina. Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dapat mendorong harga energi lebih tinggi, dan melemahkan upaya bank sentral untuk mengendalikan inflasi. Status quo geopolitik menjadi semakin tidak seimbang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga hasil dari krisis baru ini bisa jadi lebih terbuka daripada yang diperkirakan oleh pasar.
• Risiko-risiko tersebut dapat membuat The Fed terbebani ketika mempertimbangkan apakah akan menaikkan suku bunga sekali lagi pada tahun ini dan mempertimbangkan berapa lama untuk mempertahankan kenaikan suku bunga.
Kenaikan suku bunga serta ekspektasi kebijakan The Fed yang hawkish membuat imbal hasil US Treasury melonjak ke 4,8% pada pekan lalu, atau level tertingginya dalam 16 tahun terakhir. Lonjakan imbal hasil ini bisa berdampak pada kenaikan suku bunga pinjaman seperti mortgage sehingga harapan ekonomi AS akan 'soft landing' tidak akan terwujud.
![]() |
Namun, perang sebenarnya bisa berdampak positif ke imbal hasil. Obligasi AS secara umum dianggap sebagai tempat berlindung yang aman pada saat terjadi ketidakpastian dan krisis ekonomi, sehingga konflik ini dapat memicu pelarian investor untuk mencari keamanan relatif. Harga obligasi dan imbal hasil terbalik, sehingga permintaan yang lebih besar terhadap Treasury akan membantu menurunkan imbal hasil..
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)