Huru-Hara di AS Bertambah Lagi, IHSG & Rupiah Bisa Bergejolak
- Pasar keuangan Tanah Air kembali beragam kemarin, meski The Fed dan Bank Indonesia menahan suku bunga acuannya
- Wall Street kembali berjatuhan, diperburuk oleh potensi gagalnya RUU untuk mencegah terjadinya shutdown di pemerintahan AS
- Akhir pekan, pasar masih akan memantau dampak dari The Fed yang masih akan bersikap hawkish, sembari memantau rilis beberapa data ekonomi di global hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Kamis (21/9/2023) kembali bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah. Sedangkan rupiah berhasil menguat meski tipis-tipis, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melanjutkan kenaikan.
Pasar keuangan Indonesia masih rawan gejolak pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,29% ke posisi 6.991,466. IHSG gagal bertahan di level psikologis 7.000 kemarin dan kembali menyentuh level psikologis 6.900.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai kisaran Rp 10 triliun, dengan melibatkan 16 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 209 saham naik, 321 saham turun, dan 220 saham lainnya stagnan.
Investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 144,75 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin, dengan rincian sebesar Rp 97,7 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 47,05 miliar di pasar tunai dan negosiasi.
Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, hanya dua indeks saham yang berhasil menguat kemarin, yakni SET Index Thailand dan PSEI Filipina.
Meski IHSG ikut terkoreksi, tetapi bukanlah yang menjadi paling buruk. Adapun koreksi yang paling buruk dibukukan oleh indeks KOSPI Korea Selatan yang ambles 1,75%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup naik tipis di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, rupiah sempat menyentuh level psikologis Rp 15.400/US$.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15,370/US$ di pasar spot, naik tipis 0,03% di hadapan dolar AS.
Sedangkan mayoritas mata uang Asia melemah. Kecuali yen Jepang, dolar Hong Kong, dan tentunya rupiah. Dari mata uang Asia yang melemah, won Korea Selatan menjadi yang terparah koreksinya yakni mencapai 0,47%.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 3,4 basis poin (bp) menjadi 6,799%, nyaris menyentuh 6,8%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.
Rupiah menjadi instrumen keuangan yang cenderung positif kemarin, di mana pasar cenderung merespons positif dari Bank Indonesia (BI) yang kembali menahan suku bunga acuannya.
BI memutuskan untuk kembali menahan suku bunganya pada posisi 5,75% untuk periode September 2023, di mana BI telah menahan suku bunga acuannya selama sembilan bulan terakhir. Hal ini juga sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan konsensus yang dihimpun dari CNBC Indonesia.
BI telah mengerek suku bunga sebesar 225 bp dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.
"Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini sebagai konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan menurun menjadi 2,5 plus minus 1% pada 2024," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Di lain sisi, koreksinya IHSG dan masih naiknya yield SBN sejalan dengan kekecewaan pasar akan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), meski bank sentral Negeri Paman Sam tersebut sudah menahan suku bunga acuannya sesuai prediksi pasar.
Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25%-5,5%. Hal ini sudah sesuai dengan perkiraan pasar sebelumnya, di mana mereka memperkirakan The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya.
Namun, pasar cenderung kecewa karena The Fed mengindikasikan akan tetap mempertahankan sikap hawkish-nya setidaknya hingga akhir tahun ini.
The Fed mengindikasikan bahwa satu kali kenaikan suku bunga lagi diperkirakan terjadi sebelum akhir tahun ini dalam proyeksi ekonominya. Hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan pernyataan The Fed sebelumnya di mana ruang untuk kenaikan suku bunga tinggal sekali lagi di tahun ini.
Para petinggi otoritas moneter Negeri Paman Sam tersebut pun memproyeksikan kenaikan suku bunga akan kembali terjadi pada akhir tahun, dengan mencapai level 5,50%-5,75%.
Alasan The Fed masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya hingga akhir tahun ini salah satunya yakni karena inflasi masih membandel.
(chd/chd)