
Termasuk Babi, 5 Hal ini Buat Deflasi China Jadi Menyeramkan

- Indeks Harga Konsumen dan Produsen China sama-sama mencatatkan deflasi pada Juli
- Deflasi menguatkan sinyal jika ekonomi China sedang jeblok
- Deflasi China juga menjadi ancaman bagi negara lain karena produk impor bisa semakin membanjiri pasar lokal
Jakarta, CNBC Indonesia- Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen China mencatatkan deflasi pada Juli 2023. Deflasi kedua sektor tersebut pun langsung membuat Tiongkok dan dunia cemas.
Badan Nasional Statistik China mencatat Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) mengalami deflasi sebesar 0,3% (year on year/yoy) pada Juli. Ini adalah deflasi yang pertama sejak Februari 2021.
Sementara itu, Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) mengalami deflasi 4,4% (yoy). Dengan demikian, PPI sudah mengalami deflasi sepanjang 10 bulan beruntun.
Ini adalah kali pertama IHK dan PPI China sama-sama mengalami deflasi sejak 2009. Pada saat itu, dunia tengah diguncang krisis keuangan global.
PPI mencerminkan pergerakan harga di tingkat produsen dan di awal produksi. Melemahnya PPI mengindikasikan jika harga akhir barang juga melemah sehingga deflasi bisa berlanjut.
Deflasi China ini tentu saja menguatkan sinyal jika ekonomi Sang Naga sedang tidak baik-baik saja. Data ekonomi sebelumnya seperti penjualan ritel atapun Purchasing Manufacturing Index juga ambruk.
Deflasi China juga membuat dunia khawatir mengingat Tiongkok adalah negara dengan size ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Bila ekonomi China macet maka pertumbuhan global bisa macet.
Setidaknya ada lima catatan penting mengenai deflasi China baik penyebab ataupun dampaknya:
1. Babi
Harga babi di China anjlok 26% (yoy) pada Juli 2023. Daging babi adalah bahan pangan paling penting di China dan paling menentukan inflasi.
Babi menyumbang sekitar 3% pada basket CPI. Bobot itu setara dengan beras pada basket CPI makanan di Indonesia.
"Rumus sederhannya jika harga daging babi naik 10% maka inflasi akan naik 0,3%," tulis Economist Intelligence Unit, dikutip dari Market Insider.
Anjloknya harga daging babi pada bulan lalu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Harga daging babi di China melesat 22,5% (yoy) pada Juli 2022. Secara bulanan (month to month), harga daging babi pada Juli 2022 bahkan menjadi rekor tertingginya.
Lonjakan harga kemudian membuat pemerintah meminta peternak dan produsen besar untuk meningkatkan pasokan baik dalam bentuk daging babi segar atau frozen.
Namun, permintaan justru melandai di tengah naiknya produksi sehingga harga babi terus anjlok.
Produksi babi China meningkat 4,6% menjadi 55,41 juta ton pada 2022, Produksi tersebut adalah yang tertinggi sejak 2014.
Anjloknya harga babi secara terus menerus tentu saja menjadi kekhawatiran. Pasalnya, industri daging babi melibatkan jutaan warga China mulai dari peternak, pemotong daging, hingga pedagang.
2. Utang bisa makin menumpuk
Deflasi bisa berdampak berat terhadap negara yang memiliki beban utang besar seperti China. Pasalnya, itu akan meningkatkan ongkos bagi peminjam dan akan membatasi industri untuk berinvestasi.
Sangat sulit mencari data pasti rasio utang pemerintah China karena data yang kurang terbuka. Beberapa analis meyakini rasio utang pemerintah China terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 102%.
Reuters bahkan memperkirakan angkanya ada di kisaran 250% dari PDB. Yang pasti rasio utang pemerintah China diyakini sudah jauh melesat dari pada yang tercatat pada 2016 sebesar 47% dari PDB.
![]() FILE PHOTO: Workers sort cuts of fresh pork in a processing plant in Zhengzhou, Henan province China, November 24, 2017. Picture taken through glass. REUTERS/Dominique Patton/File Photo |
Analis memperkirakan utang pemerintah China yang belum terbayarkan melampaui 123 triliun yuan atau setara Rp 273.088 triliun tahun lalu. Dari jumlah tersebut, hampir US$ 10 triliun (Rp 152.000 triliun) adalah 'utang tersembunyi' dari pemerintah daerah kota atau provinsi.
Deflasi menjadi persoalan besar baik bagi negara, lender, ataupun masyarakat biasa sebagai peminjam.
Deflasi membuat suplai uang berkurang dan nilai uang dan juga nilai utang. Sebagai gambaran, sebuah negara menarik pinjaman sebesar US$ 100 miliar.Dengan nilai sebesar itu maka negara tersebut bisa membeli 100 juta barel minyak.
Karena deflasi maka harga barang lebih murah sehingga US$100 miliar bisa membeli 200 juta barel. Dengan kata lain, negara tersebut harus membayar 200 juta barel untuk uang yang sama.
Deflasi juga menandai daya beli yang turun sehingga produksi menurun juga. Produsen pun harus menjual barang lebih murah sehingga bisa menyulitkan mereka untuk membayar utang di bank.
"Deflasi tidak akan membantu China karena justru akan membuat utang membengkak. Ini jelas bukan berita bagus," tutur analis dari Hong Kong University of Science and Technology, Alicia Garcia-Herrero, kepada BBC.
![]() FILE PHOTO: FILE PHOTO: An exterior view of China Evergrande Centre in Hong Kong, China March 26, 2018. REUTERS/Bobby Yip/File Photo/File Photo |
3. Harga rumah diobral
Harga rumah di China terus merosot karena permintaan yang berkurang.
Survei Beike Research Institute menunjukkan jika harga rumah existing di 100 kota di China rata-rata sudah jatuh 14% dari harga puncaknya pada Agustus 2021.
Penjualan rumah China anjlok setelah skandal Evergrande menyeruak.
Evergrande mengalami krisis utang senilai US$ 300 miliar dialami perusahaan sejak 2021 lalu.Analis menyebut hal ini lantaran perusahaan properti kedua terbesar China itu, terlalu banyak meminjam uang sementara penjualan sektor properti sendiri sedang cukup bermasalah.
4. Pengangguran muda merajalela
Salah satu penyebab deflasi China adalah tingginya angka pengangguran, terutama kalangan muda. Tingkat pengangguran China sebenarnya stagnan di angka 5,2% pada Juli.
Namun, tingkat pengangguran di generasi muda terus meningkat dari 20,4% pada April menjadi 21,3% pada Juli 2023. Angka tersebut adalah yang rekor tertinggi.
Pengangguran bisa semakin meningkat tajam karena ada 11,58 juta angkatan kerja baru yang akan lulus dari perguruan tinggi.
Dengan tingkat pengangguran yang tinggi maka jumlah orang yang tidak berpenghasilan juga bertambah sehingga penjualan semakin rendah. Deflasi pun bisa berlanjut.
5.Awas Serbuan barang impor
Melandainya harga barang di China akan berdampak ganda ke negara lain. Deflasi di China akan mengurangi tekanan dari imported inflation karena harga barang produksi Tiongkok jadi lebih murah.
Namun, kondisi ini juga bisa membuat barang-barang China membanjiri pasar lokal negara lain, termasuk Indonesia, sehingga industri dalam negeri akan kalah saing sehingga penjualan tertekan.
Selama masa pandemi, banyak pabrik di China yang meningkatkan produksi untuk mengakomodasi permintaan dari luar negeri. Namun, permintaan dari negara lain semakin melandai sehingga pasokan menumpuk.
Kondisi ini paling parah terjadi pada industri otomotif dan consumer goods.
Akibat pasokan menumpuk maka produsen pun memangkas harga untuk mengurangi inventori sehingga harga barang pun jatuh.
Persaingan untuk menawarkan harga terendah sangat ketat terjadi di dalam negeri China sehingga pembeli pun bisa membeli barang dengan lebih murah.
Ekonom senior BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan tingginya inventori bisa membuat perusahaan China melakukan "clearance sale" untuk mengurangi inventori. Mereka akan mengekspor produk mereka dengan harga diskon demi mengurangi tumpukan pasokan.
"Clearance sale" yang dilakukan China di satu sisi bisa menciptakan disinflasi pada barang impor Tiongkok.
![]() Impor produk China |
Dalam catatan BCA, industrii tekstil dan logam terpukul oleh banjirnya produk murah China. Dari 98 kategori barang Harmonized System (HS) sebanyak 41 kelompok barang mengalami kenaikan impor dengan harga yang lebih murah.
Industri tekstil Indonesia sangat kuat dari apparel dan fiber buatan manusia tetapi sangat bergantung pada impor untuk kapas dan bahan fabric.
Namun, impor untuk fiber buatan tangan dan apparel justru naik.
Impor untuk serat buatan manusia melonjak 14,2% (yoy) pada kuartal I-2023 tetapi secara harga atau ongkos turun 23,9%. Impor apparel dan rajutan melonjak 24,7% (yoy) pada Januari-Maret 2023 tetapi secara nilai turun 36,6%.
CNBC INDONESIA RESEARCH