CNBC Indonesia Research

Lagi-Lagi Alarm Bahaya Menyala dari China, RI Harus Waspada!

Aulia Mutiara, CNBC Indonesia
13 October 2023 18:20
Ditanya tentang Rusia vs Ukraina, Xi Jinping Akhirnya Buka Suara
Foto: Infografis/Ditanya tentang Rusia vs Ukraina, Xi Jinping Akhirnya Buka Suara/Aristya Rahadian
  • Biro Statistik Nasional melaporkan indeks harga konsumen (IHK) China pada September datar.
  • Indeks harga produsen turun 2,5% dari tahun sebelumnya, lebih lemah dari ekspektasi penurunan 2,4%, setelah penurunan 3% pada Agustus.
  • Harga yang rendah menggarisbawahi apa yang oleh para pemimpin utama China disebut sebagai pemulihan ekonomi yang "berliku-liku" setelah negara tersebut berhasil keluar dari pembatasan.

Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga kini belum juga ada kabar positif dari Negeri Tirai Bambu. Data ekonomi belum juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang kuat.Sebagaimana diketahui, China telah lama menjadi mesin pertumbuhan global. Namun dalam beberapa waktu terakhir, ekonomi salah satu negara adidaya ini melambat, membuat khawatir banyak pihak.

Biro Statistik Nasional melaporkan pada Jumat (13/10/2023) mengumumkan indeks harga konsumen untuk September ada di angka 0% (year on year/yoy), di bawah estimasi median kenaikan 0,2% dalam jajak pendapat Reuters. Inflasi bahkan lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada Agustus 2023 yang tercatat 0,1% .

Hal ini menunjukkan pemulihan pasca-Covid yang tidak merata di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia yang mungkin memerlukan dukungan kebijakan lebih lanjut.

Namun, inflasi inti -tidak termasuk harga energi dan pangan tercatat naik 0,8% pada bulan September dibandingkan tahun sebelumnya, kata biro tersebut dalam pernyataan terpisah. Tingkat kenaikan ini serupa dengan yang tercatat pada Agustus.

Sementara itu, indeks harga produsen China turun atau mencatatkan deflasi 2,5% dari tahun sebelumnya (yoy), lebih lemah dari ekspektasi deflasi 2,4%, setelah deflasi 3% pada Agustus 2023. Namun, penurunan harga pabrik merupakan yang terkecil dalam tujuh bulan terakhir.

Harga yang rendah menggarisbawahi apa yang oleh para pemimpin utama China disebut sebagai pemulihan ekonomi yang "berliku-liku" setelah negara tersebut berhasil keluar dari pembatasan ketat terhadap Covid-19 menjelang akhir tahun lalu.

China merupakan negara yang sangat berbeda dengan negara-negara besar lainnya yang sebagian besar masih berjuang melawan inflasi yang tinggi setelah pandemi Covid-19 mencapai puncaknya.

Laporan inflasi pada hari ini mungkin menyalakan kembali kekhawatiran bahwa China berada di ambang deflasi. Meskipun harga produsen mengalami penurunan pada bulan September, penurunan tersebut masih merupakan penurunan bulanan ke-12 berturut-turut secara tahunan.

"Inflasi CPI yang berada pada angka nol menunjukkan tekanan deflasi di China masih merupakan risiko nyata terhadap perekonomian," kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management yang dikutip dari CNBC International.

"Pemulihan permintaan domestik tidak akan kuat tanpa adanya dorongan signifikan dari dukungan fiskal. Dampak dari perlambatan sektor properti terhadap kepercayaan konsumen terus membebani permintaan rumah tangga," tambahnya.

Beijing menjadi sasaran dukungan kebijakannya bahkan ketika sejumlah data ekonomi menunjukkan pertumbuhan masih lemah. Krisis utang yang sedang berlangsung di dua pengembang real estat terbesar China semakin melemahkan kepercayaan konsumen.

Harga Pangan yang Lebih Lemah

Lemahnya harga pangan merupakan hambatan besar terhadap harga konsumen pada September 2023 meskipun Biro Statistik Nasional China mengatakan hal ini disebabkan oleh tingginya harga pangan pada tahun lalu.

Pada hari Jumat, data resmi menunjukkan harga pangan China secara kolektif turun 3,2% pada  September dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara khusus, harga daging babi, daging pokok utama dalam makanan China anjlok 22% pada bulan lalu dibandingkan tahun lalu. Hal ini terjadi karena harga ternak dan daging secara kolektif turun 12,8% dan harga sayuran segar turun 6,4%.

Inflasi jasa berada pada level tertinggi dalam 19 bulan sebesar 1,3%, kata Capital Economics.

Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat inflasi China bukan disebabkan oleh pelemahan domestik. Sebaliknya, hal ini tampaknya terkait dengan kelebihan kapasitas di industri karena lonjakan permintaan barang global akibat pandemi telah berbalik. Inflasi barang inti tetap terkendali pada 0,3% tahun-ke-tahun.

Dari bulan ke bulan, harga konsumen naik tipis 0,2% di bulan September, dengan harga pangan meningkat 0,3% mewakili penurunan sebesar 0,2 poin persentase dari angka bulan Agustus dibandingkan bulan sebelumnya.

Ekspor Impor Lanjut Turun

China melaporkan penurunan ekspor yang lebih kecil dari perkiraan pada September 2023 menurut data bea cukai yang dirilis Jumat (13/10/2023). Dalam dolar AS, ekspor terkoreksi 6,2% (yoy) pada September. Angka tersebut kurang dari perkiraan koreksi sebesar 7,6% yang diprakirakan oleh para analis dalam jajak pendapat Reuters.

Impor juga terkontraksi sebesar 6,2% (yoy) pada September 2023 - sedikit lebih besar dari kontraksi sebesar 6% yang diperkirakan oleh jajak pendapat Reuters.

Ekspor China telah terkoreksi sejak Mei tahun ini. Catatan positif terakhir untuk impor secara tahunan terjadi pada September tahun lalu.

Perdagangan China merosot tahun ini di tengah lesunya permintaan global terhadap barang-barang China dan melemahnya permintaan domestik. Pemulihan negara dari pandemi ini melambat dalam beberapa bulan terakhir, terseret oleh kemerosotan besar-besaran di sektor real estat.

Dana Moneter Internasional (IMF) pada minggu ini memangkas perkiraan pertumbuhan China pada 2023 menjadi 5% dari 5,2% tetapi mempertahankan perkiraan pertumbuhan global sebesar 3% untuk tahun ini. Perekonomian dunia tumbuh sebesar 3,5% tahun lalu.

China akan melaporkan penjualan ritel bulan September pada 18 Oktober, bersama dengan angka PDB kuartal ketiga.

Di tengah meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam beberapa tahun terakhir, China berupaya meningkatkan perdagangannya dengan mitra regional di Asia Tenggara, serta negara-negara yang berpartisipasi dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). BRI adalah upaya yang dipimpin China untuk mengembangkan infrastruktur regional seperti pelabuhan dan kereta api.

Hingga akhir September, China mengatakan pihaknya telah mengoperasikan kereta api ke 217 kota di 25 negara Eropa. Kargo yang diangkut melalui jalur kereta api tersebut menyumbang 8% dari perdagangan China-UE pada tahun 2022, naik dari 1,5% pada tahun 2016, kata pejabat China pada minggu ini.

China juga mengklaim impor dan ekspor dengan negara-negara mitra Belt and Road mencapai US$ 19,1 triliun antara tahun 2013 dan 2022 dengan rata-rata pertumbuhan perdagangan tahunan sebesar 6,4%.

Forum Belt and Road ketiga dijadwalkan diadakan di Beijing pada hari Selasa dan Rabu. Presiden Rusia Vladimir Putin diperkirakan akan hadir.

Dampak Lesunya Ekspor-Impor Bagi RI

China ini merupakan negara mitra perdagangan Indonesia terbesar. Total perdagangan China dan Indonesia menembus US$ 133,65 miliar pada 2022 atau naik 17,70% dibandingkan 2021. Nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China mencapai US$ 63,5 miliar pada 2022.

 

Ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 65,92 miliar sementara impor dari China mencapai US$ 67,72 miliar. Baik ekspor dan impor merupakan yang tertinggi dalam sejarah. Pada Januari-Mei 2023, ekspor ke China tercatat US$ 26,41 miliar atau naik 12,2%. Nilai tersebut setara dengan 25% dari total ekspor.Impor tercatat US$ 25,52 miliar atau turun 2,2%.

Bank Dunia pernah memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi di China menjadi salah satu risiko yang bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, dampaknya lebih minim dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand.

Bank dunia juga mencatat efek dari simulasi perlambatan 1% di Cina berdampak pada penurunan 0,1 poin persentase di tingkat pertumbuhan Indonesia hingga penurunan hampir 0,6 poin persentase di Malaysia.

Di sisi lain, Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya juga memperingatkan perlambatan ekonomi Cina menjadi salah satu risiko yang bisa mengubah jalur dasar proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kombinasi perlambatan yang lebih tajam dari perkiraan di sektor properti, Covid-19, dan respons kebijakan yang tidak memadai memunculkan risiko perlambatan tajam kegiatan ekonomi Cina. IMF mengkategorikan risiko ini pada level medium.

Dampaknya ke ekspor yang lebih lemah, berkurangnya aliran masuk FDI, meningkatnya ketidakpastian yang mengarah pada investasi yang lebih lesu.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation