
Peringatan Keras untuk RI, Ekonomi China dalam Bahaya!

- Ekonomi China terus menunjukkan tanda-tanda perlambatan
- Ekspor China turun 12,4% pada Juni dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara impor turun 6,8% bulan lalu
- Lemahnya ekspor, yang disebabkan oleh turunnya permintaan global, telah meningkatkan tekanan bagi Beijing untuk meningkatkan konsumsi domestik di sisa tahun ini.
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China tampak semakin terpukul. Negara yang dipimpin oleh presiden Xi Jin Ping ini tampak kehilangan momentum untuk pulih setelah tertekan dari Covid-19. Pada kenyataannya memang pahit, indikator ekonomi kian lesu.
Setelah serangkaian laporan ekonomi China berseliweran dan tak ada satupun yang menggembirakan, hari ini rilis pula data neraca perdagangan China yang justru menambah kesengsaraan pada ekonominya.
Pada Kamis (13/7/2023), Ekspor China dilaporkan turun dengan besaran paling jumbo dalam tiga tahun pada Juni, angkanya merosot lebih buruk dari perkiraan yakni 12,4% secara year-on-year (yoy). Sementara Impor juga turun lebih dari yang diharapkan yakni sebesar 6,8% (yoy).
Anjloknya data ekspor-impor ini dipicu tanda-tanda meningkatnya tekanan dari kesulitan ekonomi global dan pembuat kebijakan China menghadapi tekanan yang meningkat untuk langkah-langkah stimulus.
Rilis data perdagangan ini merupakan indikasi lain bahwa para pemimpin China tidak akan dapat sepenuhnya mengandalkan faktor eksternal dalam menghidupkan kembali momentum pertumbuhan yang goyah di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Untuk diketahui, ekspor merupakan pilar utama pertumbuhan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Meski rebound singkat terjadi di bulan Maret dan April, ekspor telah menurun sejak Oktober 2022. Penurunan bulan Juni ini lebih tajam dari bulan sebelumnya, meski di bawah perkiraan ekonom yang disurvei Bloomberg yakni 15,3%.
Penurunan impor bulan Juni juga lebih parah dari yang diperkirakan, menunjukkan permintaan lokal berkurang.
"Data terbaru di negara-negara maju menunjukkan sinyal yang konsisten dari pelemahan lebih lanjut yang kemungkinan akan memberi tekanan lebih besar pada ekspor China di sisa tahun ini," kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management dikutip dari CNBC International.
China harus bergantung pada permintaan domestik. Pertanyaan besar dalam beberapa bulan ke depan adalah apakah permintaan domestik dapat pulih tanpa banyak stimulus dari pemerintah.
Namun sayangnya, rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
Sebagaimana diketahui, Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tidak berubah pada Juni 2023 dari tahun sebelumnya (yoy).
Belanja konsumen China mulai lesu. Laju inflasi China turun ke level nol (oy) pada Juni 2023. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya perlemahan permintaan dan menambah kekhawatiran bahwa ancaman deflasi di depan mata.
Nilai dolar ekspor China anjlok 12,4% (yoy) pada Juni dari tahun lalu, Ini adalah penurunan yang jauh lebih besar dari ekspektasi untuk penurunan 9,5% dalam jajak pendapat Reuters dan penurunan tahunan 7,5% di bulan Mei. Persentase penurunan tersebut merupakan yang terbesar yang dicatat oleh ekonomi terbesar kedua di dunia sejak Februari 2020.
Banyak data ekonomi baru-baru ini menunjukkan bahwa pemulihan China belum menemukan pijakan yang stabil, karena masalah utama termasuk kurangnya pendorong pertumbuhan internal, permintaan yang lemah, dan prospek yang meredup tetap ada.
Dari sisi PMI Manufaktur sebenarnya juga masih lesu. Biro Statistik Nasional China (NBS) merilis data Jumat lalu yang menunjukkan PMI manufaktur resmi negara itu mencapai 49,0 di bulan Juni dibandingkan dengan 48,8 di bulan Mei. Untuk diketahui, angka 50 poin memisahkan ekspansi dari kontraksi.
Beberapa dari masalah ini termasuk kepercayaan bisnis di China pada Juni yang mencapai titik terendah dalam delapan bulan. Harga input juga turun pada laju tercepat sejak Januari 2016, karena permintaan yang lebih lemah dari perkiraan seiring dengan peningkatan pasokan.
Tumbuhnya Divergensi
Biro bea cukai China menunjukkan bahwa ada perbedaan yang berkembang dalam perdagangan China, hal ini dipicu oleh perdagangan dengan ekonomi di Asia Tenggara dan mitra "Belt and Road" mengungguli perdagangan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
China dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara sedang dalam negosiasi untuk memperdalam kemitraan kawasan perdagangan bebas dan implementasi penuh Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional, sebuah blok perdagangan yang didukung oleh China yang mencakup Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan 10 ASEAN negara-negara anggota.
Untuk diketahui, Ekspor China ke AS anjlok 24% pada Juni menjadi US$42,7 miliar dari tahun lalu, sementara impor turun 4% menjadi hampir US$14 miliar, menurut perhitungan CNBC dari data resmi yang diakses melalui Wind Information.
Sementara, Ekspor China ke 10 anggota blok ASEAN turun 17% menjadi US$43,3 miliar pada Juni dari tahun lalu, sementara impor turun 4% menjadi US$34,1 miliar.
Perdagangan China dengan negara-negara "Belt and Road" melambat menjadi pertumbuhan 9,8% dalam enam bulan pertama tahun ini dari tahun lalu, turun dari laju 13,2% dalam lima bulan pertama tahun ini.
Di saat yang sama, data juga menunjukkan nilai gabungan perdagangan China mencapai US$77,4 miliar dengan ASEAN pada bulan Juni, jumlah yang lebih besar dari nilai perdagangan China dengan UE sebesar US$68,8 miliar dan AS sebesar US$55,7 miliar.
"Tapi kabar baiknya adalah bahwa penurunan permintaan luar negeri yang terburuk mungkin sudah di belakang kita," kata Zichun Huang, ekonom China dengan konsultan Capital Economics dikutip dari CNBC International.
Resesi masih membayangi ekonomi maju, tetapi ini cenderung ringan dan hanya berdampak terbatas pada ekspor China. Sementara itu, pengapalan teknologi ramah lingkungan, termasuk EV, baterai, dan panel surya buatan China, dapat terus berkembang pesat, membantu ekspor kembali tumbuh.
Maka dari ramalan tersebut, ke depan hambatan yang dihadapi sektor eksternal tetap kuat yang memerlukan dukungan kebijakan terhadap permintaan domestik. Para pemimpin China telah memberi isyarat bahwa mereka cenderung bijaksana dan ditargetkan dalam dukungan kebijakan mereka.
Pekan lalu, Perdana Menteri China Li Qiang berjanji untuk memperkenalkan langkah-langkah kebijakan yang terarah dan terkoordinasi serta menerapkannya secara tepat waktu untuk menstabilkan pertumbuhan, memastikan lapangan kerja, dan melindungi dari risiko.
Li juga menekankan pentingnya perpaduan kebijakan yang efektif, mengingat China berada dalam periode pemulihan ekonomi dan peningkatan industri yang kritis.
People's Bank of China dan National Financial Regulatory Administration juga ikut berperan. Mereka memutuskan untuk memperpanjang keringanan pinjaman untuk beberapa pengembang, menekankan tujuan mereka untuk memastikan rumah yang sedang dibangun dapat dikirim.
Dampaknya Untuk Negara Kita
China adalah negara mitra perdagangan Indonesia terbesar. Total perdagangan China dan Indonesia menembus US$ 133,65 miliar pada 2022 atau naik 17,70% dibandingkan 2021.
Ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 65,92 miliar sementara impor dari Tiongkok mencapai US$ 67,72 miliar. Baik ekspor dan impor merupakan yang tertinggi dalam sejarah.
Pada Januari-Mei 2023, ekspor ke China tercatat US$ 26,41 miliar atau naik 12,2%. Nilai tersebut setara dengan 25% dari total ekspor. Impor tercatat US$ 25,52 miliar atau turun 2,2%.
Lihat saja, pangsa pasar ekspor Indonesia ke negara Tirai Bambu alias China masih dominan. Sebenarnya, apa saja yang paling banyak dibutuhkan China dari Indonesia?
Bank Dunia pernah memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi di Cina menjadi salah satu risiko yang bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, dampaknya lebih minim dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand.
Bank dunia juga mencatat efek dari simulasi perlambatan 1% di Cina berdampak pada penurunan 0,1 poin persentase di tingkat pertumbuhan Indonesia hingga penurunan hampir 0,6 poin persentase di Malaysia.
Di sisi lain, Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya juga memperingatkan perlambatan ekonomi Cina menjadi salah satu risiko yang bisa mengubah jalur dasar proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kombinasi perlambatan yang lebih tajam dari perkiraan di sektor properti, Covid-19, dan respons kebijakan yang tidak memadai memunculkan risiko perlambatan tajam kegiatan ekonomi Cina. IMF mengkategorikan risiko ini pada level medium.
Dampaknya ke ekspor yang lebih lemah, berkurangnya aliran masuk FDI, meningkatnya ketidakpastian yang mengarah pada investasi yang lebih lemah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)