Istilah 'resesi seks' secara spesifik mengacu pada turunnya mood pasangan melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak.
Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara, karena kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks.
Dalam laporan media Inggris The Guardian, ada beberapa faktor yang berkembang di kalangan wanita muda pekerja, untuk menikmati kebebasan dengan menjadi lajang dan berkarir.
Pria pun juga mengalami hal serupa, mereka menikmati menjadi lajang. Namun, juga menyuarakan keprihatinan atas keamanan pekerjaan dan kemampuan mereka untuk menafkahi keluarga.
Istilah resesi seks (sex recession) kali pertama dicetuskan Kate Julian, peneliti dan penulis, pada 2018 untuk tulisannya di The Atlantic.
Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut. Ia mengutip penelitian dari Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, yang mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika.
Salah satu ancaman yang disertai dari fenomena resesi seks adalah penurunan tingkat kesuburan dan angka kelahiran di suatu negara.
Momok 'resesi seks' kini mulai mengancam di sejumlah negara, khususnya di negara-negara di Asia. Seperti Korea Selatan, China, Jepang, dan Thailand.
Resesi seks saat ini telah menjangkiti Korea Selatan dan China. Berikut cerita resesi seks yang terjadi di Korea Selatan dan China, dilansir dari berbagai sumber:
Korea Selatan
Korea Selatan (Korsel) saat ini sedang dihantui dengan 'resesi seks' atau penurunan populasi manusia. Hal itu karena, warga Korsel menolak untuk memiliki keturunan.
Mengutip AP News, berdasarkan data pemerintah Korsel, Negeri Ginseng ini hanya mencatat tingkat kesuburan 0,81% pada 2021. Idealnya, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1% untuk menjaga populasi.
Tak hanya enggan menikah, warga Korea Selatan yang sudah berumah tangga enggan memiliki keturunan atau hamil.
Hal ini dialami oleh Yoo Yeung Yi (30). Neneknya punya enam anak. Ia sendiri dua bersaudara. Namun, Yoo memutuskan tidak akan memiliki anak.
"Suami saya dan saya sangat menyukai bayi... tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami membesarkan anak-anak," kata Yoo kepada AP News.
"Jadi ini menjadi masalah pilihan antara dua hal, dan kami sepakat untuk lebih fokus pada diri kami sendiri," sambungnya
Ada banyak orang seperti Yoo di Korea Selatan yang memilih untuk tidak punya anak atau tidak menikah. Negara maju lainnya memiliki tren serupa, tetapi krisis demografi Korea Selatan jauh lebih buruk.
Tidak ada angka resmi berapa banyak warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun catatan dari badan statistik nasional menunjukkan ada sekitar 193 ribu pernikahan di Korea Selatan tahun lalu, turun dari puncaknya 430 ribu pada tahun 1996.
Data badan tersebut juga menunjukkan sekitar 260.600 bayi lahir di Korea Selatan tahun lalu, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada tahun 1971.
China
China dilaporkan tengah mengalami 'resesi seks', karena dalam satu dekade terakhir angka kelahiran turun ke tingkat terendah sejak tahun 1960-an.
Saat ini angka kelahiran di di China pada 2020 lalu merupakan terendah dalam 43 tahun terakhir.
Dalam pemberitaan media resmi China, Global Times, Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per 1.000 orang.
Selain itu, badan resmi pemerintah itu mencatat bahwa tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per 1.000, nilai terendah dalam 43 tahun.
Mengutip The Strait Times yang melansir Bloomberg, tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun.
Namun, angka-angka baru mengkonfirmasi pertumbuhan populasi di ekonomi nomor dua dunia itu melambat secara dramatis, bahkan diperkirakan akan semakin turun, sebagaimana ditegaskan sejumlah pejabat sejak Juli 2021.
Sementara itu, beberapa pakar demografi menyebut bahwa hal ini diakibatkan oleh rendahnya wanita yang menginginkan kehamilan.
Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan keengganan untuk menikah ini. Mulai dari tak punya waktu hingga biaya keuangan pernikahan dan beban ekonomi memiliki anak.
"Mereka yang disurvei mengatakan tidak punya waktu atau energi untuk menikah," kata laporan tersebut.
Sepertiga responden juga mengatakan mereka tidak percaya pada pernikahan. Bahkan dalam persentase yang sama, mereka juga mengatakan tidak pernah jatuh cinta.
Dari seluruh alasan itu, ada juga satu alasan terkait kultur bekerja 9-9-6. Budaya ini adalah posisi bekerja di mana warga bekerja 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu.
Setelah Korea Selatan dan China, resesi seks juga menghantui Jepang dan negara tetangga terdekat Indonesia, Thailand. Berikut penjelasannya yang diambil dari berbagai sumber
Jepang
Resesi seks tengah melanda dunia. Jepang, menjadi salah satu negara dengan yang paling hebat dihantam fenomena tersebut. Dalam sebuah laporan resmi terbaru, angka pria dan wanita di Jepang yang tidak ingin menikah telah memecahkan rekor terbaru pada tahun 2021.
Dalam rilis terbaru Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial, ditemukan bahwa 17,3% pria dan 14,6% wanita berusia antara 18 dan 34 tahun di Jepang mengatakan mereka tidak berniat untuk menikah. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak kuesioner pertama kali dilakukan pada tahun 1982.
Penurunan jumlah pernikahan memiliki konsekuensi terhadap tingkat kelahiran Jepang. Diketahui, negara itu telah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif sehingga mengancam perekonomiannya di masa depan.
"Pemerintah Jepang telah bekerja untuk meningkatkan angka kelahiran dengan mencoba membantu mereka yang ingin menikah atau memiliki anak untuk memenuhi aspirasi mereka," kata seorang profesor sosiologi di Universitas Chukyo, Shigeki Matsuda, kepada surat kabar Mainichi Shimbun, dikutip Kamis, (15/9/2022).
"Tetapi jika jumlah orang yang tidak ingin menikah terus meningkat, pemerintah akan dipaksa untuk meninjau kembali kebijakannya, dan itu dapat menyebabkan penurunan kesuburan lebih lanjut."
Thailand
Resesi seks bukan hanya menghantui negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan, kini resesi seks juga mulai menghantui negara Asia Tenggara, negara terdekat Indonesia seperti Thailand.
Tingkat kesuburan dan jumlah kelahiran dilaporkan terus menyusut di Thailand saat populasi yang ada semakin menua.
Dalam Konferensi Keluarga Berencana di Pattaya pada awal November 2022 silam, tren demografis Thailand menyusut drastis jika dibandingkan era 1960 dan 1970-an. Saat itu, rata-rata keluarga memiliki sampai tujuh anak sehingga tingkat kelahiran 6.1.
Pada 2020, angka kelahiran menyusut menjadi 1.24, lebih rendah dari tingkat peremajaan populasi yang sebesar 1.6, dikutip The Straits Times.
Tahun lalu, Thailand juga mencatat 544.000 kelahiran, terendah selama enam dekade. Pemerintah pun mendorong lebih banyak pasangan untuk memiliki bayi.
Pemerintah bahkan ikut melibatkan influencer dan tokoh publik untuk membantu kampanye mendorong warga agar mau memiliki lebih banyak anak.
Promosi di media sosial ditujukan bagi pasangan muda agar tidak memilih childfree atau tidak mempunyai anak.
"Tetapi rencana itu tidak berjalan," kata Direktur Biro Kesehatan Reproduksi Thailand, Bunyarit Sukrat, dikutip The Straits Times, Sabtu (28/1/2023).
"Tidak semua orang dapat memahami maksud dan tujuan program tersebut," lanjut dia.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menjelaskan, suatu negara idealnya memiliki angka Total Fertility Rate (TFR) pada angka 2.
"Kalau angka fertility rate kurang dari 2, penduduk itu akan cenderung minus growth, cenderung berkurang," jelas Hasto kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/1/2023).
Hasto mengungkapkan, negara akan sustain atau bertahan, jika angka kelahiran pada perempuan melahirkan satu anak perempuan.
"Karena kalau anaknya dua, itu hampir bisa dipastikan satu perempuan melahirkan satu anak perempuan juga. Tapi kalau anaknya cuma satu, belum tentu melahirkan anak perempuan," tuturnya.
"Padahal negara akan sustain jumlah penduduknya, kalau satu perempuan digantikan oleh satu perempuan," kata Hasto lagi.
Indonesia sendiri saat ini angka fertility rate-nya telah mencapai 2,1. Masih banyak ketimpangan di banyak daerah, yang angka fertility rate-nya bahkan menyentuh angka 3.
Hasto memberikan contoh, misalnya saja di Papua yang angka fertility rate mendekati 3. Kemudian di Nusa Tenggara Timur angka fertility rate yakni pada rentang 2,7 hingga 2,8.
Sementara di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, angka fertility rate masing-masing 2,5 dan 2,6.
"Masih banyak (daerah) yang hamil secara terus menerus. Secara nasional (angka fertility rate) belum merata. Tapi rata-rata secara nasional sudah 2,1," ujar Hasto.
Hasto sendiri tidak setuju dengan adanya istilah resesi seks. Hasto, lebih menerima adanya istilah child free atau keengganan pasangan yang sudah menikah untuk memiliki anak.
Oleh karena itu, menurut Hasto kemungkinan yang ada dan bisa terjadi adalah resesi untuk fertilitas.
Pun, resesi fertilitas juga sangat kecil kemungkinannya terjadi di Indonesia. Data BKKBN menunjukkan, dalam setahun terdapat 2 juta pasangan yang menikah di Indonesia.
Selain itu juga, jumlah bayi yang dilahirkan sebanyak 4,8 juta jiwa dalam satu tahun. "Jadi, 80% orang yang menikah di Indonesia itu adalah hamil pada tahun pertama. Karena semua yang menikah itu beramai-ramai ingin hamil di Indonesia," jelas Hasto.
Sementara 20% lainnya, berdasarkan statistik BKKBN kata Hasto bukan tidak mau hamil, tapi karena beberapa pasangan tidak bisa hamil karena ada gangguan fertilitas. "Itu kenyataan di negara kita."
"Negara kita jauh dari isu child free, resesi seks. Indonesia jauh. Mungkin bisa 50 tahun lagi atau lebih, setelah ada perubahan paradigma. Sampai hari ini belum ada perubahan," jelas Hasto.
Hasto menegaskan bahwa, sebagian besar pernikahan yang terjadi Indonesia bertujuan untuk pro-kreasi, bukan untuk sekedar rekreasi dan security.
Istilah prokreasi yakni hubungan suami istri yang bertujuan untuk menghasilkan keturunan sebagai generasi penerus.
Sementara rekreasi hanya semata untuk mendapatkan hubungan seks yang aman dan security hanya menikah untuk mendapatkan keamanan.
"Makanya budaya kita itu kalau Idul Fitri, manten baru belum hamil itu, waduh gak enak itu. Ditanya terus itu, udah isi belum. Dan itu terjadi secara statistik, 80% pasangan menikah hamil pada tahun pertama," tuturnya.