Internasional

Resesi Seks Guncang Bumi: Populasi Menyusut-Sekolah Kosong

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
12 May 2023 15:50
Sekolah menengah pertama Yumoto di Prefektur Fukushima, salah satu dari cerita suram sekolah di Jepang yang bakal tutup. (REUTERS/ISSEI KATO)
Foto: Sekolah menengah pertama Yumoto di Prefektur Fukushima, salah satu dari cerita suram sekolah di Jepang yang bakal tutup. (REUTERS/ISSEI KATO)

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena penurunan populasi yang menjadi indikasi terjadinya resesi seks mulai melanda dunia. Tren ini mulai menjangkiti beberapa negara, mulai dari Asia hingga Eropa.

Penurunan populasi yang tajam bahkan diperkirakan bakal membebani ekonomi sejumlah negara dalam beberapa dekade mendatang.

Berikut beberapa negara yang telah mengalami resesi seks seperti dirangkum CNBC Indonesia, Jumat (12/5/2023):

1. Jepang

Krisis populasi Jepang kian menjadi-jadi, hal ini terlihat dari banyaknya sekolah yang tutup. Fenomena tutupnya sekolah terjadi akibat angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan.

Kelahiran anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022, rekor terendah baru. Perkiraan pemerintah menyebut depopulasi juga delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan.

Fenomena ini tentu memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil, yang seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.

Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru yang berusia lebih muda.

Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak. Ia juga mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Tapi sedikit yang telah membantu sejauh ini.

2. Italia

Saat ini, Italia menjadi salah satu negara yang mengalami fenomena yang menjadi salah satu indikasi resesi seks. Bahkan, resesi seks diperkirakan akan membuat populasi sekolah di salah satu negara Eropa itu menyusut satu juta orang dalam dekade mendatang.

Prediksi suram ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan Giuseppe Valditara pada Kamis (11/5/2023). Ia mengatakan jumlah siswa akan turun menjadi 6 juta pada tahun akademik 2033-2034 dari 7,4 juta pada tahun 2021, dengan 110.000-120.000 lebih sedikit siswa yang memasuki ruang kelas setiap tahun.

Penurunan tajam siswa juga dapat menyebabkan jumlah guru turun menjadi 558.000 pada tahun 2033/2034 dari lebih dari 684.000 saat ini, tambah Valditara.

Biro statistik nasional ISTAT sebelumnya mengatakan kelahiran di Italia turun ke level terendah dalam sejarah di bawah 400.000 pada tahun 2022. Ini menjadi penurunan ke-14 berturut-turut, dengan populasi keseluruhan menurun 179.000 menjadi 58,85 juta.

Populasi yang menyusut dan menua merupakan kekhawatiran utama bagi negara terbesar ketiga di zona Euro. Ini menyebabkan penurunan produktivitas ekonomi dan biaya kesejahteraan yang lebih tinggi di negara dengan tagihan pensiun tertinggi di antara 38 negara Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan tersebut.

3. Korea Selatan (Korsel)

Tanda-tanda mirip Jepang dan Italia juga mulai melanda Korsel. Di Negeri Ginseng, sekolah disebutkan mulai kesulitan dalam mencari murid baru.

Warga Korsel telah memilih keluarga yang lebih kecil, meninggalkan negara dengan tingkat kesuburan terendah di dunia dan penurunan tajam secara nasional pada anak-anak usia sekolah.

Di daerah pedesaan yang paling terpukul, sekolah dasar seperti di daerah Dochang ditutup, satu per satu, karena tidak ada lagi siswa yang tersisa untuk bersekolah. Secara nasional, jumlah sekolah dasar di pedesaan turun dari sekitar 5.200 pada tahun 1982 menjadi sekitar 4.000 saat ini.

Dalam 10 tahun terakhir, jumlah siswa usia sekolah dasar di kabupaten tersebut turun dari 2.687 menjadi 1.832. Hampir setiap satu dari 16 sekolah dasar di kabupaten tersebut telah kehilangan siswanya selama periode ini, beberapa mencapai ratusan.

Kebanyakan warga Korsel tinggal di sekitar wilayah Metropolitan Seoul, di mana biaya hidup yang tinggi, termasuk pendidikan, telah membuat warga enggan memiliki anak.

Akibatnya, wanita Korsel rata-rata hanya melahirkan 0,78 anak, jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi saat ini. Para peneliti di Universitas Nasional Seoul memproyeksikan bahwa jika tren saat ini berlanjut, populasi akan turun dari 51 juta menjadi sekitar 17 juta pada tahun 2100.

"Dilihat sebagai ancaman eksistensial terhadap program ekonomi dan kesejahteraan sosial, penurunan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran bahwa negara tersebut akan kehilangan tanah musuhnya Korea Utara, di mana populasinya lebih stabil," tulis laporan Los Angeles Times.

4. China

Biro Statistik Nasional China pada April lalu melaporkan bahwa populasi Negeri Tirai Bambu itu turun menjadi 1,412 miliar tahun 2020 dari 1,413 miliar pada 2021. Ini merupakan pertumbuhan alami negatif untuk pertama kalinya sejak 1960.

Pemerintah China menghapus kebijakan satu anak pada tahun 2016 dan menghapus batas kelahiran pada tahun 2021. Namun, pasangan menikah memiliki lebih sedikit anak, atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.

Asisten profesor di departemen sosiologi dan antropologi di Universitas Nasional Singapura, Mu Zheng, mengatakan hal ini disebabkan lebih banyak wanita yang memilih untuk fokus pada karir dan tujuan pribadi mereka, daripada memulai sebuah keluarga.

"Covid terus memiliki banyak dampak negatif dan telah menyebabkan rasa ketidakpastian secara keseluruhan terhadap masa depan. Ada rasa tidak berdaya yang melarang banyak wanita ingin punya anak," tuturnya kepada CNBC International.

"Meningkatnya biaya hidup juga menjauhkan lebih banyak orang dari keinginan untuk memperluas keluarga mereka."

Hal ini pun mulai menimbulkan fenomena baru. Produsen susu formula di China, Hengan International Group Company, bahkan mulai memfokuskan bisnis pada popok lansia. Ini dikarenakan penuaan populasi yang cepat di negara itu.

Selain itu, perusahaan juga memberikan insentif pada karyawannya yang mau memiliki anak. Trip.com adalah salah satu perusahaan China yang dengan bangga mencoba mendorong lebih banyak wanita untuk memiliki anak, di mana perusahaan memberikan subsidi hingga US$ 300.000 (Rp 4,4 miliar) untuk membantu karyawan mengimbangi biaya pembekuan sel telur.

Sebagai informasi, pembekuan sel telur sendiri merupakan proses dimana sel telur wanita diambil dari ovariumnya dan disimpan. Setelah wanita menyatakan siap memiliki anak, sel telur kemudian dibuahi dengan sperma dan ditanam kembali di dalam rahim. Metode ini biasanya dilakukan untuk wanita yang baru ingin memiliki anak di usia lanjut.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mengapa "Resesi Seks" Jepang Makin Ngeri, Buat Sekolah Tutup?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular