Macro Insight

China Memang Beda! Inflasi Amat Rendah, RI Bakal Kena Masalah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 May 2023 10:30
A pro-China supporter holds a Chinese national flag during a rally to celebrate the approval of a national security law for Hong Kong, in Hong Kong, Tuesday, June 30, 2020. Hong Kong media are reporting that China has approved a contentious law that would allow authorities to crack down on subversive and secessionist activity in Hong Kong, sparking fears that it would be used to curb opposition voices in the semi-autonomous territory. (AP Photo/Kin Cheung)
Foto: China sahkan hukum keamanan nasional Hong Kong (AP/Kin Cheung)

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara di berbagai belahan bumi saat ini menghadapi masalah tingginya inflasi. Tetapi China berbeda, yang dihadapi justru inflasi yang rendah.

Data dari pemerintah China pagi ini menunjukkan inflasi pada April hanya tumbuh 0,1% year-on-year (yoy) jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 0,7%, juga lebih rendah dari prediksi Reuters 0,4%.

Inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving. Sehingga, tingkat inflasi yang tepat, bisa merupakan indikator kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara maju misalnya, menetapkan target inflasi sebesar 2%, tidak lebih dan tidak kurang.

Dalam kasus China, masyarakatnya lebih memilih untuk menahan belanja. Artinya, masyarakat China masih belum optimistis terhadap kondisi perekonomian.

"Pandangan inti kami ekonomi China mengalami deflasi," kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Research, sebagaimana dilaporkanCNN, Selasa (25/4/2023).

Deflasi bisa menjadi masalah yang tidak kalah rumit ketimbang inflasi tinggi. Jepang sudah mengalaminya selama dua dekade yang membuat pertumbuhan ekonominya sangat rendah.

"Satu kalimat yang bisa menggambarkan ekonomi China saat ini adalah deflasi sudah dimulai dan perekonomian menuju jurang resesi," kata Liu Yuhui, profesor di Chinese Academy of Social Sciences (CASS).

Liu menambahkan kondisi China saat ini sama dengan Amerika Serikat 15 tahun lalu saat dilanda krisis finansial global, dan Jepang 30 tahun lalu saat mengalami lost decade.

Masalahnya, China merupakan negara perekonomian terbesar kedua di dunia, dan mitra dagang utama Indonesia. Ketika perekonomian China melambat, maka permintaan impor dari Indonesia berisiko menurun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$ 63,5 miliar, melesat 24% dibandingkan 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% terhadap total ekspor Indonesia.

Bandingkan dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$ 28, miliar yang berkontribusi sebesar 10%. Ekspor ke China dua kali lipat lebih besar ketimbang ke Amerika Serikat, sehingga pelambatan ekonomi Negeri Tiongkok bisa berdampak signifikan ke Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

(pap/pap)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation