
Setelah Era "Tergelap", China Kini Terancam "Lost Decade"

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â China mengalami masa "tergelap" dalam hal pertumbuhan ekonomi pada 2022 lalu. Produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 3% sepanjang 2022, jika tidak memperhitungkan 2020 yang merosot akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi yang terendah dalam nyaris 50 tahun terakhir.
Mengawali 2023, China mengirim kabar gembira. Presiden Xi Jingping melonggarkan kebijakan lockdown yang membuat pertumbuhan ekonomi mulai bangkit. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bahkan memprediksi China menjadi motor penggerak ekonomi dunia tahun ini. Maklum saja, Amerika Serikat terancam mengalami resesi akibat suku bunga tinggi.
Tetapi belakangan data ekonomi dari China kurang meyakinkan. Purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada April tercatat sebesar 49,2, turun dari bulan sebelumnya 51,9 dan berada di level terendah sejak Desember 2022.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Ketika perekonomian mulai dibuka seluas-luasnya, kontraksi sektor manufaktur ini menjadi lampu kuning. Sebab, berdasarkan lapangan usaha sektor manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China, terbesar diantara yang lainnya.
Kemudian data terbaru menunjukkan inflasi pada April hanya tumbuh 0,1% year-on-year (yoy) jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 0,7%, juga lebih rendah dari prediksi Reuters 0,4%.
Inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving. Sehingga, tingkat inflasi yang tepat, bisa merupakan indikator kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara maju misalnya, menetapkan target inflasi sebesar 2%, tidak lebih dan tidak kurang.
Berdasarkan pengeluaran, konsumsi rumah tangga juga memberikan kontribusi paling besar ke PDB China, sekitar 54%.
"Pandangan inti kami ekonomi China mengalami deflasi," kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Research, sebagaimana dilaporkan CNN, Selasa (25/4/2023).
Deflasi bisa menjadi masalah yang tidak kalah rumit ketimbang inflasi tinggi. Jepang sudah mengalaminya selama dua dekade yang membuat pertumbuhan ekonominya sangat rendah.
"Satu kalimat yang bisa menggambarkan ekonomi China saat ini adalah deflasi sudah dimulai dan perekonomian menuju jurang resesi," kata Liu Yuhui, profesor di Chinese Academy of Social Sciences (CASS).
Liu menambahkan kondisi China saat ini sama dengan Amerika Serikat 15 tahun lalu saat dilanda krisis finansial global, dan Jepang 30 tahun lalu saat mengalami "lost decade" atau "dasawarsa yang hilang"
Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kondisi saat ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Jepang saat mengalami lost decade.
Salah satunya aset riil yang mengalami bubble. China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.
Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu. Bubble aset di Jepang menjadi yang pada akhirnya "meledak" pada awal 1990 menjadi tanda lost decade Jepang. Pertumbuhan ekonomi Jepang setelahnya menjadi sangat rendah atau stagnan, dan terjadi selama 10 tahun, bahkan lebih panjang lagi sehingga banyak yang menyebutnya beberapa dekade yang hilang (Japan's Lost Decades).
Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.
Citigroup juga melihat kesamaan lain, misalnya Jepang yang kala itu berada dalam fase pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat yang dimulai setelah era perang, kemudian China mengalaminya setelah bergabung dengan World Trade Organization pada 2021. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dari kedua negara tersebut juga dilakukan dengan cara yang sama, yakni investasi pada infrastruktur dan mendorong ekspor.
Jepang dan China juga membiayai pertumbuhan dengan cara yang sama. Bubble properti di Jepang dipicu oleh pembiayaan tidak langsung oleh bank komersial. China juga mengembangkan sistem keuangan yang tergantung dari pembiayaan tidak langsung.
Banyak lagi kemiripan kedua negara sehingga China dikhawatirkan akan mengalami lost decade.
Masalahnya China adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, dan pasar ekspor terbesar Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$ 63,5 miliar, melesat 24% dibandingkan 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% terhadap total ekspor Indonesia.
Bandingkan dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$ 28, miliar yang berkontribusi sebesar 10%. Ekspor ke China dua kali lipat lebih besar ketimbang ke Amerika Serikat, sehingga pelambatan ekonomi Negeri Tiongkok bisa berdampak signifikan ke Indonesia.
Ketika China mengalami lost decade, artinya permintaan impor dari Indonesia berisiko merosot.
Menjelang akhir 2022, ekonom Senior Chatib Basri juga mengatakan Indonesia lebih perlu khawatir dengan China ketimbang Amerika Serikat.
"Saya itu sebetulnya, lebih khawatir dengan (dampak) ekonomi China, dibandingkan dengan ekonomi AS terhadap kita karena kalau China kena itu ekspor kita (Indonesia) kena beneran," kata Chatib.
Bisa dibayangkan, lanjutnya, ekspor yang dibanggakan Indonesia seperti, nikel dan besi baja akan turun.
"Kalau China slowdown, dia enggak perlu besi baja. Buat apa besi baja kan?"
Saat ini, Chatib menyampaikan bahwa ekonomi China tengah menuju 'new normal'. Menurutnya, China tidak bisa tumbuh double digit ke depannya.
"Mungkin long term growth-nya di sekitar 4%, jauh, (tapi) itu yang harus diantisipasi. Saya gak bicara tahun ini, tapi long term growth-nya bisa ke arah sana," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menilai Indonesia harus bisa melakukan diversifikasi perdagangan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)