
Ekonomi China Makin Kacau! Pesta RI Segera Berakhir

- Neraca perdagangan Indonesia masih mencatat surplus pada Mei, tetapi menjadi yang terendah sepanjang tren surplus 37 bulan beruntun.
- Indonesia menikmati windfall atau "durian runtuh" dari tingginya harga batu bara dan CPO. Tetapi kedua komoditas tersebut harganya kini tidak setinggi tahun lalu.
- Perekonomian China yang semakin parah dan kacau ditambah dengan harga batu bara dan CPO yang merosot bisa membuat pesta "durian runtuh" RI segera berakhir.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mulai merasakan dampak buruk dari semakin kacaunya perekonomian China. Surplus neraca perdagangan sudah semakin tipis, ada risiko pesta windfall atau "durian runtuh" segera berakhir.
Pada Mei lalu neraca perdagangan Indonesia memang masih mencatat surplus, tetapi tidak begitu besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) surplus neraca perdagangan pada Mei tercatat sebesar US$ 440 juta. Itu menjadi surplus terendah sepanjang tren surplus selama 37 bulan beruntun.
Tingginya harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) membuat Indonesia menikmati "durian runtuh". Kini dengan harga batu bara dan CPO yang tidak setinggi tahun lalu, dan perekonomian China yang melambat, pesta "durian runtuh" bisa segera berakhir, neraca perdagangan tidak lagi mencatat surplus.
Data dari Refinitiv menunjukkan harga batu bara acuan Ice Newcastle saat ini berada di kisaran US$ 135/ton, anjlok 66% sepanjang tahun ini. Sementara CPO turun lebih dari 10% ke kisaran 3.700 ringgit per ton.
Sementara itu perekonomian China yang merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia sedang mengalami pelambatan lagi. Data BPS menunjukkan nilai ekspor ke China sepanjang tahun ini hingga Mei tercatat sebesar US$ 25,3 miliar, berkontribusi sebesar 24% dari total ekspor.
Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai tersebut meningkat 11%. Tetapi, kenaikan tersebut terbilang rendah sebab pada tahun lalu China masih menerapkan kebijakan zero Covid-19.
Guna memacu perekonomian, bank sentral China (People's Bank of China) PBoC sampai harus memangkas dua suku bunga acuannya pada pekan ini.
PBoC mengejutkan pelaku pasar dengan suku bunga seven-day reverse repo sebesar 10 basis poin menjadi 1,9%.
Sementara pada Kamis (15/6/2023), medium term lending facility (MLF) tenor 1 tahun sebesar 10 basis poin menjadi 2,65%. Pemangkasan ini menjadi yang pertama dalam 10 bulan terakhir.
Dua pelonggaran moneter yang dilakukan dalam dua hari menunjukkan perekonomian China sedang dalam masalah. Data terbaru bahkan menunjukkan tingkat pengangguran muda (usia 16 - 24 tahun) melonjak lagi ke rekor tertinggi sepanjang masa 20,8% pada Mei.
Rekor sebelumnya tercatat sebesar 20,4% pada April. Hal ini menunjukkan pemuda di China kesulitan mendapat pekerjaan. Padahal, kebanyakan dari mereka merupakan lulusan universitas, yang tentunya menyandang gelar akademik, misalnya sarjana.
Data ekonomi dari China terus mengecewakan dalam beberapa hari terakhir. Sektor manufaktur mengalami kontraksi yang dalam, kemudian impor anjlok. Data yang dirilis hari ini menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel dan produksi industri yang lebih rendah dari ekspektasi pasar.
Sementara itu Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
Istilah Balance Sheet Recessiondikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an. Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
"Banyak orang di China bertanya kepada saya apakah China akan seperti Jepang 30 tahun yang lalu. Menurut saya China akan mengalami apa yang saya sebut balance sheet recession," kata Koo dalam acara Street Signs Asia Rabu (7/6/2023).
Jika itu terjadi, ada risiko China akan mengalami dasawarsa yang hilang (lost decade) seperti Jepang 30 tahun lalu, di mana pertumbuhan ekonominya terus melambat hingga mengalami kontraksi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)