
China Kena "Karma", Surat Utangnya "Dibuang" Massal

Jakarta, CNBC Indonesia - China boleh jadi negara yang paling getol "membuang" dolar Amerika Serikat (AS) atau melakukan dedolarisasi, tetapi aksi yang sama juga menerpa surat berharganya, baik itu saham perusahaan maupun surat utang (obligasi) China.
Hal tersebut dilaporkan oleh Atlantic Council, bahkan sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir utamanya akibat memanasnya hubungan China dengan Amerika Serikat.
Dalam rilisnya pada 5 Juni lalu, Atlantic Council menyebut investor institusional internasional menjual bersih obligasi China lebih satu triliun yuan (US$ 148 miliar) atau setara Rp 2.205 triliun (kurs Rp 14.900/US$) sejak 2022 lalu.
Perekonomian China yang belakangan kembali menunjukkan pelambatan membuat pelaku pasar khawatir. Apalagi, China sudah tidak menerapkan kebijakan zero Covid-19, yang seharusnya membuat perekonomian bisa kembali melaju. Banyak institusi termasuk IMF memprediksi China bakal menjadi salah satu motor perekonomian dunia tahun ini.
Nyatanya, belakangan perekonomiannya justru melambat lagi. Sektor manufaktur China mengalami kontraksi yang cukup dalam. Artinya pabrik-pabrik mengalami penurunan aktivitas, misalnya produksi menurun. Dampaknya ke tenaga kerja, bukannya merekrut malah bisa jadi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Hal ini terlihat dari purchasing managers' index (PMI) China Mei yang turun ke 48,8, terendah sepanjang tahun ini. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Sektor manufaktur yang berkontraksi juga terlihat dari impor China dilaporkan anjlok 4,5% pada Mei. Bahkan, anjloknya impor sudah terjadi dalam tiga bulan beruntun impor. Ekspor Indonesia ke China pun terancam.Terbukti pada April lalu, nilai ekspor Indonesia ke China jeblok 18,5% year-on-year (yoy).
Banyak yang melihat China tidak bisa lagi mencapai pertumbuhan ekonomi dobel digit, bahkan rata-rata jangka panjang diperkirakan hanya 4%.
Michael Pettis, profesor finansial Guanghua School of Management di Peking University yang berlokasi di Beijing bahkan memprediksi pertumbuhan China tidak akan lebih tinggi dari 2% - 3% dalam beberapa tahun ke depan jika melakukan penyeimbangan ekonomi.
Dalam tulisannya yang dimuat oleh Carnegie Endowment, Pettis menyebut China negara dengan investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Penyeimbangan ekonomi perlu dilakukan dengan mendorong lebih banyak konsumsi. Namun, ketika itu dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi China tidak akan lebih tinggi dari 3% selama bertahun-tahun, kecuali terjadi peningkatan konsumsi yang substansial.
Direktur Pelaksana Dana Moneter International (IMF) Kristalina Georgievapada akhir Maret lalu juga mendesak agar China segera melakukan penyeimbangan ekonomi, dari pertumbuhan yang ditopang oleh investasi ke konsumsi domestik.
Dalam pidatonya di China Development Forum Minggu (26/3/2023) di Beijing, Georgieva menyebut pertumbuhan yang ditopang konsumsi akan lebih tahan lama, tidak terlalu bergantung dengan utang, dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Senada Atlantic Council dalam laporanya menyebut selain kegagalan bangkit setelah pandemi Covid-19. China juga menghadapi masalah struktural yang mendalam. Tenaga kerja yang menua, pertumbuhan produktivitas yang melambat, ketimpangan yang semakin melebar, serta krisis properti.
Hal ini membuat aksi jual obligasi China yang sempat terhenti di Februari kembali berlanjut pada Maret.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(pap/pap)