CNBC Indonesia Research

Surplus Dagang RI Tembus Rp 1.700 T, Duitnya "Au Ah Gelap"

Research - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 February 2023 08:05
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
  • Neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus selama 33 bulan beruntun, dengan total nilai lebih dari Rp 1.700 triliun.
  • Saat neraca perdagangan suplus, cadangan devisa Indonesia pada tahun lalu justru merosot.
  • Di negara lain, seperti China, Jepang atau Thailand, ketika neraca perdagangan surplus cadangan devisa juga meningkat. Artinya valuta asing hasil ekspor tidak berada di dalam negeri, hanya di atas kertas.

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia masih terus mencetak surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu kemarin melaporkan surplus sebesar US$ 3,87 miliar pada Januari.

Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia tidak pernah mengenal defisit dalam 33 bulan beruntun. Selama periode tersebut total surplus tercatat sebesar US$ 113.2 miliar, jika dikonversi ke rupiah dengan kurs tengah BI Rabu kemarin Rp 15.194/US$, maka nilainya mencapai Rp 1.719 triliun.

Sayangnya nilai yang fantastis tersebut cuma di atas kertas, sebab duit hasil ekspor tersebut tidak berada di dalam negeri. Hal ini bisa terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang pada tahun lalu terus menurun.

Cadangan devisa belakangan ini memang mengalami kenaikan. Pada Januari cadangan devisa naik US$ 2,2 miliar menjadi US$ 139,4 miliar, tetapi kenaikan ini karena utang alias penerbitan global bond pemerintah senilai US$ 3 miliar. Artinya, surplus neraca perdagangan pada Januari valuta asingnya juga belum masuk ke dalam negeri.

Lazimnya ketika neraca perdagangan terus mencetak surplus, biasanya transaksi berjalan (current account) juga surplus, sehingga  cadangan devisa terus akan bertambah.

Lihat saja China, yang konsisten mencetak surplus sejak akhir 1990an kini menjadi negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia.

Cadangan devisa China pada Januari mencapai US$ 3,128 triliun, nilai yang sangat besar, 27 kali lipat dari cadangan devisa Indonesia.

Jepang juga sama, negara pemilik cadangan devisa terbesar kedua di dunia ini konsisten mencatat surplus perdagangan sejak pertengahan 1980an. Pasca krisis finansial 2008, Jepang lebih sering mengalami defisit, tetapi tabungan devisanya masih jumbo.

Ketika neraca perdagangan surplus, maka dolar AS atau valas lainnya tentunya akan mengalir ke dalam negeri, sehingga cadangan devisa pun meningkat. Itu kalau valas tersebut ditempatkan di dalam negeri oleh eksportir, tetapi kalau diparkir di luar negeri, cadangan devisa tidak akan bertambah atau malah menyusut.

Hal itulah yang terjadi di Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, uang devisa hasil ekspor itu kerapkali diparkirkan eksportir di Singapura, sehingga tidak masuk ke dalam sistem keuangan Tanah Air. Akibatnya, pasokan dolar dari hasil ekspor tak melimpah di dalam negeri.

Oleh Sebab itu, pemerintah pada awal Januari lalu mengatakan akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam menjadi sangat dinanti.

Melalui revisi itu, pemerintah akan mewajibkan para eksportir memarkirkan DHE di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu, pemerintah juga akan memperluas sektor industri yang wajib memarkirkan dolar hasil ekspornya.

Sayangnya, sejak wacana tersebut dilontarkan pertengahan bulan lalu, hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan segera diumumkan.

Thailand bisa menjadi contoh negara yang sukses menerapkan kebijakan tersebut. Negeri Gajah Putih merupakan rajanya industri pariwisata di kawasan ASEAN. Pada 2019, sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, pendapatan dari industri pariwisata tercatat sebesar US$ 59,8 miliar, dan berkontribusi sebesar 11% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Tercatat sebanyak hampir 40 juta wisatawan manca negara yang berkunjung ke Thailand pada 2019. Tidak hanya berkontribusi besar ke perekonomian, pasokan valuta asing Thailand pun menjadi melimpah.

Devisa hasil ekspor (DHE) jasa pariwisata tersebut ditahan lama di dalam negeri.

Bank sentral Thailand beberapa kali melakukan revisi terhadap rezim devisa mereka. Sebelumnya Negara Gajah Putih juga menerapkan rezim bebas mereka kepada ekspor barang maupun jasa.

Namun pada 2006, Thailand sudah mewajibkan DHE direpatriasi ke baht, dengan batasan US$ 200.000. Pada Maret 2021, bank sentral Thailand menaikkan batas DHE yang tidak harus direpatriasi menjadi US$ 1 juta. Di atas US$ 1 juta maka DHE harus direpatriasi ke baht.

Repatriasi dilakukan paling terlambat 360 hari setelah mendapat pembayaran. DHE juga diwajibkan mengendap dan baru bisa ditransaksikan lagi setelah 360 hari.

Dengan kebijakan tersebut, pasokan valuta asing menjadi cukup besar. Hal ini tercermin dari cadangan devisa Thailand yang nilainya mencapai US$ 216,6 miliar pada Desember 2022.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(pap/pap)

[Gambas:Video CNBC]