Surplus Neraca Dagang 33 Bulan Beruntun, Uangnya di Mana Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga Januari 2023, Indonesia sudah menorehkan surplus selama 33 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia surplus dengan nilai terakhir sebesar US$ 3,87 miliar. Artinya Indonesia sudah menumpuk dolar dari Mei 2020.
Namun, pundi-pundi dolar yang menjadi salah satu sumber devisa itu tidak membuat cadangan devisa Indonesia naik signifikan. Pada Januari 2023, cadangan devisa US$ 139,4 miliar, masih jauh dari capaian tertingginya pada September 2021 US$ 146,9 miliar.
Lantas, ke mana larinya uang-uang hasil ekspor tersebut?
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, uang devisa hasil ekspor itu kerapkali diparkirkan eksportir di Singapura, sehingga tidak masuk ke dalam sistem keuangan Tanah Air. Akibatnya, pasokan dolar dari hasil ekspor tak melimpah di dalam negeri.
Oleh sebab itu, ia menekankan pemerintah kini terus melakukan pembahasan aturan devisa hasil ekspor (DHE), melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
"Sehingga eksportir itu tidak hanya parkir di Singapura, berutang di Singapura, escrow di Singapura. Tapi ini semua kita tarik ke Indonesia," jelas Airlangga dalam sebuah Seminar Economic Outlook 2023, dikutip Rabu (15/2/2023).
Chief Economist Bank Syariah Indonesia, Banjaran Surya Indrastomo menilai, terparkirnya dolar-dolar hasil ekspor itu di Singapura disebabkan rata-rata suku bunga tertimbang di bank umum untuk simpanan berjangka dolar AS lebih menarik ketimbang di Indonesia.
Dia mengatakan, berdasarkan data statistik ekonomi dan keuangan Indonesia dari BI per November 2022, rata-rata suku bunga tertimbang di bank umum untuk simpanan berjangka dolar AS dengan jangka waktu 3 bulan 2,41% sedangkan 6 bulan hanya 1,19%.
"Kita bandingkan dengan Singapura, tingkat suku bunga simpanan berjangka USD dengan jangka waktu yang sama bisa mencapai 4-5%. Jadi memang attractiveness dari Singapura untuk bagaimana simpanan dalam bentuk USD lebih menjari dari Indonesia," ujarnya.
Terparkirnya dolar hasil ekspor di luar negeri ini menurutnya tentu berdasarkan mekanisme pasar, karena imbal hasil yang ditawarkan di luar negeri lebih baik. Maka, pengaturan DHE ke depan harus bervisi jangka panjang, termasuk untuk menarik ekspor hasil produk manufaktur.
"Potensi terbesar DHE itu long term project should be in manufacturing karena sustain trading-nya dilakukan terus menerus sepanjang tahun. Apalagi kita berusaha menyongsong era hilirisasi ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah kepada perekonomian," ucap Banjaran.
Menurutnya, pengaturan hingga akhirnya DHE harus dikonversi ke rupiah atau tidak masuknya dalam kerangka menengah panjang, sedangkan untuk dalam kerangka jangka pendek fokus pada menahan DHE supaya parkir di sistem keuangan dalam negeri.
"Dalam jangka pendek mungkin kita harus tahan, kita fokus pada case by case industry basis, insentif apa yang dibutuhkan, point attractiveness adalah sesuatu yang perlu dijaga, dan ada terkait cyclical bisa kita link dengan industri karena PR utamanya ini likuiditas dolar dibutuhkan di dalam negeri supply-nya terbatas tapi demand-nya tinggi. Ini yang harus dicarikan solusinya," kata dia.
[Gambas:Video CNBC]
Tak Bisa Dibiarkan, Lalu Lintas Devisa Harus Diatur!
(haa/haa)