
Kejutan! PBoC Pangkas Suku Bunga Lagi, China Makin Genting?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral China (People's Bank of China/PboC) kembali memangkas suku bunga acuannya. Kali ini untuk suku bunga jangka menengah.
Langkah PBoC kali ini tidak terlalu mengejutkan, sebab dua hari lalu PBoC sudah memberi kode. Saat itu PBoC mengejutkan pelaku pasar dengan suku bunga seven-day reverse repo sebesar 10 basis poin menjadi 1,9%.
Sementara pada Kamis (15/6/2023), medium term lending facility (MLF) tenor 1 tahun sebesar 10 basis poin menjadi 2,65%. Pemangkasan ini menjadi yang pertama dalam 10 bulan terakhir.
Dua pelonggaran moneter yang dilakukan dalam dua hari menunjukkan perekonomian China sedang dalam masalah. Data terbaru bahkan menunjukkan tingkat pengangguran muda (usia 16 - 24 tahun) melonjak lagi ke rekor tertinggi sepanjang masa 20,8% pada Mei.
Rekor sebelumnya tercatat sebesar 20,4% pada April. Hal ini menunjukkan pemuda di China kesulitan mendapat pekerjaan. Padahal, kebanyakan dari mereka merupakan lulusan universitas, yang tentunya menyandang gelar akademik, misalnya sarjana.
"Bubble mahasiswa akhirnya pecah. Ekspansi universitas pada akhir 1990-an menciptakan lulusan yang sangat besar, tetapi ada ketidaksejajaran antara supply dan demand tenaga kerja berketerampilan tinggi. Perekonomian tidak mampu mengimbanginya," kata Yao Lu, profesor sosiologi di Universitas Columbia di New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (29/5/2023).
Itu baru yang terdata sebagai pengangguran, Lu mengatakan setidaknya seperempat lagi dari lulus universitas merupakan setengah pengangguran. Yang artinya mereka bekerja paruh waktu atau mengambil pekerjaan yang di bawah kualifikasi mereka dengan gaji yang rendah.
Kondisi Ekonomi China
Data ekonomi dari China terus mengecewakan dalam beberapa hari terakhir. Sektor manufaktur mengalami kontraksi yang dalam, kemudian impor anjlok. Data yang dirilis hari ini menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel dan produksi industri yang lebih rendah dari ekspektasi pasar.
China disebut perlu segera melakukan penyeimbangan perekonomian oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter International (IMF) Kristalina Georgieva, dari pertumbuhan yang ditopang investasi berubah menjadi konsumsi.
Dalam pidatonya di China Development Forum Minggu (26/3/2023) di Beijing, Georgieva menyebut pertumbuhan yang ditopang konsumsi akan lebih tahan lama, tidak terlalu bergantung dengan utang, dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Michael Pettis, profesor finansial Guanghua School of Management di Peking University yang berlokasi di Beijing bahkan memprediksi pertumbuhan China tidak akan lebih tinggi dari 2% - 3% dalam beberapa tahun ke depan jika melakukan penyeimbangan ekonomi.
Dalam tulisannya yang dimuat oleh Carnegie Endowment, Pettis menyebut China negara dengan investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Penyeimbangan ekonomi perlu dilakukan dengan mendorong lebih banyak konsumsi. Namun, ketika itu dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi China tidak akan lebih tinggi dari 3% selama bertahun-tahun, kecuali terjadi peningkatan konsumsi yang substansial.
Sementara itu Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
Istilah Balance Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an. Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
"Banyak orang di China bertanya kepada saya apakah China akan seperti Jepang 30 tahun yang lalu. Menurut saya China akan mengalami apa yang saya sebut balance sheet recession," kata Koo dalam acara Street Signs Asia Rabu (7/6/2023).
Jika itu terjadi, ada risiko China akan mengalami dasawarsa yang hilang (lost decade) seperti Jepang 30 tahun lalu, di mana pertumbuhan ekonominya terus melambat hingga mengalami kontraksi.
13.500 Miliuner Kabur Dari China
Perekonomian China yang menunjukkan tanda-tanda pelambatan membuat banyak crazy rich atau miliuner kabur dari negara tersebut. Fenomena ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan semakin masif terjadi.
Ekspansi ekonomi China yang kuat pada periode 2000 hingga 2017 membuat jumlah miliuner China meningkat drastis. Berdasarkan estimasi, jumlah warga China yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 1 juta atau sekitar Rp 14,9 miliar sebanyak 823.800 orang.
Presiden Xi Jinping mendorong rencana "kemakmuran bersama", dan mendesak para pengusaha untuk "berbagi hasil pertumbuhan" membuat eksodus para orang kaya semakin masif.
Business Insider mengutip Henley Private Wealth Migration Report 2023 melaporkan pada 2022 lalu sebanyak 10.800 pergi meninggalkan China. Jumlah tersebut lebih besar lagi tahun ini, sebanyak 13.500 orang miliuner diperkirakan kabur.
Perginya para miliuner tersebut diperkirakan akan berdampak lebih parah dari sebelumnya.
"Pertumbuhan kekayaan secara umum di negara tersebut telah melambat selama beberapa tahun terakhir, yang berarti keluarnya para miliuner akan lebih merusak dari sebelumnya," tulis laporan tersebut, yang dikutip Business Insider Rabu (14/6/2023).
Selain China, beberapa negara yang para miliunernya banyak pindah keluar negeri ada Inggris dan India. Sementara itu negara tujuan yang paling populer berada dekat Indonesia.
Australia pada tahun ini diprediksi akan kedatangan 5.200 crazy rich, naik dari tahun lalu sebanyak 3.800 orang. Uni Emirat Arab sebanyak 4.500 orang dan Singapura 3.200 orang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)