
Kejutan! PBoC Pangkas Suku Bunga, Bukti Ekonomi China Parah

- Bank sentral China secara mengejutkan memangkas suku bunganya pada hari ini, menjadi bukti perekonomian sedang dalam masalah.
- Seven-day reverse repurchase rate sebesar 10 basis poin menjadi 1,9%, dan bisa menambah likuiditas di perekonomian sebesar 2 miliar yuan.
- Perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja membuat suku bunga jangka menengah bisa di pangkas ke depannya.
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) secara mengejutkan memangkas suku bunga seven-day reverse repurchase rate sebesar 10 basis poin menjadi 1,9%. Pelonggaran kebijakan moneter ini menjadi yang pertama dilakukan PBoC sejak Agustus tahun lalu.
Penurunan suku bunga tersebut membuat PBoC menambah likuiditas sebesar dua miliar yuan (US$ 279,97 juta) ke perekonomian. Langkah mengejutkan tersebut sekaligus membuktikan perekonomian China sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, ke depannya suku bunga acuan jangka menengah diperkirakan akan kembali dipangkas.
Banyak yang melihat China tidak bisa lagi mencapai pertumbuhan ekonomi dobel digit, bahkan rata-rata jangka panjang diperkirakan hanya 4%.
Michael Pettis, profesor finansial Guanghua School of Management di Peking University yang berlokasi di Beijing bahkan memprediksi pertumbuhan China tidak akan lebih tinggi dari 2% - 3% dalam beberapa tahun ke depan jika melakukan penyeimbangan ekonomi.
Dalam tulisannya yang dimuat oleh Carnegie Endowment, Pettis menyebut China negara dengan investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Penyeimbangan ekonomi perlu dilakukan dengan mendorong lebih banyak konsumsi. Namun, ketika itu dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi China tidak akan lebih tinggi dari 3% selama bertahun-tahun, kecuali terjadi peningkatan konsumsi yang substansial.
Direktur Pelaksana Dana Moneter International (IMF) Kristalina Georgieva pada akhir Maret lalu juga mendesak agar China segera melakukan penyeimbangan ekonomi, dari pertumbuhan yang ditopang oleh investasi ke konsumsi domestik.
Dalam pidatonya di China Development Forum Minggu (26/3/2023) di Beijing, Georgieva menyebut pertumbuhan yang ditopang konsumsi akan lebih tahan lama, tidak terlalu bergantung dengan utang, dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Bukti masalah yang ditimbulkan dari pertumbuhan yang ditopang investasi kini sudah terlihat di China, utang pemerintah daerah (Pemda) dikabarkan menembus US$ 15,3 triliun atau hampir Rp 230.000 triliun (kurs Rp 15.000/US$). Bahkan, menurut estimasi Goldman Sachs nilainya mencapai US$ 23 triliun.
Kemudian sektor manufaktur China mengalami kontraksi yang cukup dalam. Artinya pabrik-pabrik mengalami penurunan aktivitas, misalnya produksi menurun. Dampaknya ke tenaga kerja, bukannya merekrut malah bisa jadi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Lebih parah lagi, China juga diperkirakan akan mengalami resesi. Resesinya bukan sembarangan, tetapi resesi balance sheet. Hal tersebut diungkapkan oleh Richard Koo, kepala ekonom di Nomura Research Institute, ia oleh pelaku pasar dianggap ahli di bidang balance sheet recession.
"Banyak orang di China bertanya kepada saya apakah China akan seperti Jepang 30 tahun yang lalu. Menurut saya China akan mengalami apa yang saya sebut balance sheet recession," kata Koo dalam acara Street Signs Asia Rabu (7/6/2023).
Istilah Balance Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an. Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
Seperti diketahui, Jepang mengalami dekade yang hilang atau lost decade pada 1991 - 2001. Pada periode tersebut perekonomian Jepang stagnan. Pertumbuhannya rendah dan terkadang berkontraksi. Banyak banyak yang menyebut Jepang mengalami beberapa dekade yang hilang, sebab jika dilihat tren pertumbuhan ekonominya memang stagnan.
Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)