
Petaka Ekonomi, Orang China Pilih Menabung Daripada Belanja

- Ekonomi China yang lesu tengah jadi sorotan dunia
- Ekonomi China lesu salah satunya dipicu oleh malasnya warga Tiongok dalam merogok uang untuk belanja
- China bahkan mengalami deflasi pada Juli karena lemahnya konsumsi masyarakat
Jakarta, CNBC Indonesia - China sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi Negara Tirai Bambu lesu sejak dilanda pandemi Covid-19 dan sudah kehilangan momentum pemulihan. Indikator ekonomi yang keluar, tak juga menunjukkan tanda-tanda ekonomi China bakal bangkit. Ditambah lagi istilah balance sheet recession di China ini betul-betul nyata.
Negara yang dipimpin oleh Xi Jinping ini telah lama menjadi mesin pertumbuhan global. Namun dalam beberapa waktu terakhir, ekonomi salah satu negara adidaya ini melambat, membuat khawatir banyak pihak.
Untuk diketahui, istilah Balance Sheet Recession ini sebelumnya dikeluarkan oleh Richard Koo saat melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990-an.
Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
Balance Sheet Recession Bukan Hanya Istilah! Begini Faktanya
Mengutip dari The Financial Times yang melakukan wawancara mendalam kepada salah satu warga China. Song Jingli namanya, Ia merupakan seorang pendiri perusahaan rintisan komunikasi di Beijing berusia 39 tahun.
Menurutnya, tahun 2023 seharusnya menjadi tahun dengan pengeluaran besar. Dia dan suaminya berharap bisa bepergian ke Selandia Baru dan membeli apartemen kedua di ibu kota Tiongkok tersebut. Tapi nyatanya, rencana tersebut hanya angan belaka.
Saat musim panas tiba, kondisi perekonomian telah meyakinkan mereka untuk menghindari pembelian mahal. Ironisnya, Ia mengatakan kondisi ini "Seperti badai akan datang," kata Song.
Untuk diketahui bahwa kelebihan tabungan di Tiongkok telah meningkat pada paruh pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dan masih terdapat kesenjangan antara konsumsi sebelum pandemi dan saat ini.
"Tiongkok belum pernah mengalami masalah inflasi yang rendah sebelumnya," kata Dan Wang, kepala ekonom Hang Seng Bank di Shanghai, seraya mencatat bahwa pertumbuhan pesat dan ekspansi kredit di masa lalu kini melambat seiring dengan menurunnya populasi, dikutip dari The Financial Times.
Khususnya pembelanja muda berada di bawah tekanan untuk mengurangi belanja negara. Pemerintah pada bulan ini berhenti menerbitkan data mengenai pengangguran kaum muda tak lama setelah mencapai rekor tertinggi sebesar 21%, sehingga sangat membebani kepercayaan diri.
Seorang karyawan berusia 25 tahun di sebuah perusahaan milik negara di provinsi timur Anhui, yang meminta untuk dipanggil Pang, mengatakan bahwa dia telah mengurangi pengeluaran setelah adanya pemotongan gaji.
"Saya biasa membeli set perawatan kulit SK-II untuk pacar saya tanpa mengedipkan mata," katanya, mengacu pada merek premium Jepang yang biasanya berharga sekitar US$200.
Untuk pembelian besar seperti properti dan mobil, dia menambahkan bahwa dia sepenuhnya bergantung pada orang tuanya.
Ada pula pengakuan dari pekerja kantoran berusia 26 tahun lainnya di Beijing, yang bermarga Xu. Ia mengungkapkan bahwa "Saya tidak lagi memiliki keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak penting." Inilah yang disebut sebagai "penurunan konsumsi", yang populer di kalangan anak muda. orang yang ingin menghemat uang tunai.
Penjualan ritel untuk periode Juli sedikit meningkat dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu, dan penurunan harga untuk produk sehari-hari tidak meluas meskipun terjadi penurunan harga konsumen secara keseluruhan.
Ironisnya, wawancara The Financial Times pada dua orang pensiunan yang sedang mengantri untuk mendapatkan sebuah restoran di Shanghai mengatakan berita buruknya perekonomian di China saat ini "tidak berdampak" pada pengeluaran mereka, dan mengatakan bahwa hal tersebut lebih merupakan masalah bagi kaum muda.
Ekonomi China 'Batuk-batuk'
Ekonomi China saat ini telah menghadapi tekanan deflasi dan situasi seperti ini kemungkinan bakal semakin cepat terjadi pada beberapa kuartal mendatang. Ini diakibatkan fakta tadi, warga malas belanja! Inilah jadi asal muasal istilah balance sheet recession menghantui China sama seperti yang pernah dihadapi Jepang.
China dikhawatirkan mengalami dekade yang hilang atau lost decade. Pada periode tersebut perekonomian China dikhawatirkan stagnan, pertumbuhannya rendah dan terkadang berkontraksi.
Para ekonom menyebut perekonomian China saat ini telah meningkatkan tekanan deflasi, dan situasi ini kemungkinan akan semakin cepat terjadi pada beberapa kuartal mendatang.
Lihat saja, China sempat mengalami masa "tergelap" dalam hal pertumbuhan ekonomi pada 2022 lalu. Produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 3% sepanjang 2022, jika tidak memperhitungkan 2020 yang merosot akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi yang terendah dalam nyaris 50 tahun terakhir.
Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal kedua tumbuh sebesar 6,3% secara year-on-year (yoy), angka ini meleset dari ekspektasi. Namun, Berdasarkan perkiraan ekonom yang di survei Reuters pada kuartal II-2023 ini pertumbuhan ekonomi China mencapai7,3%.
Koo membahas tanda-tanda yang dia lihat bahwa resesi neraca sudah berlangsung karena perusahaan China enggan meminjam lebih banyak uang untuk investasi masa depan. Dia juga menyarankan beberapa ide tentang apa yang harus dilakukan otoritas China tentang hal itu.
Dari sisi, indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) mengalami deflasi sebesar 0,3% (year on year/yoy) pada Juli. Ini adalah deflasi yang pertama sejak Februari 2021.
Sementara itu, Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) mengalami deflasi 4,4% (yoy). Dengan demikian, PPI sudah mengalami deflasi sepanjang 10 bulan beruntun.
Ini merupakan kali pertama IHK dan PPI China kompak mengalami deflasi sejak 2009. Pada saat itu, dunia tengah diguncang krisis keuangan global. PPI mencerminkan pergerakan harga di tingkat produsen dan di awal produksi. Melemahnya PPI mengindikasikan jika harga akhir barang juga melemah sehingga deflasi bisa berlanjut.
Deflasi China tentu saja memperkuat bahwa sinyal jika ekonomi Negeri Tirai Bambu sedang tidak baik-baik saja.Data ekonomi sebelumnya seperti penjualan ritel ataupun Purchasing Manufacturing Index juga ambruk.
Deflasi China juga membuat dunia khawatir mengingat Tiongkok adalah negara dengan size ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Bila ekonomi China macet maka pertumbuhan global bisa macet.
Selain itu, kini China dihadapkan dengan krisis properti. Sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.
Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kesamaan dari aset riil yang mengalamibubble. China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.
Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsunami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.
Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)