Sectoral Insight

Tiap Tahun Beras Jadi Masalah, Solusi Pemerintah Cuma Impor?

Research - Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
29 March 2023 11:10
Beras impor mulai berdatangan untuk pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Perum Bulog. Hari ini (16/12/2022) ada 5.000 ton yang masuk dari Vietnam. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana) Foto: Beras impor mulai berdatangan untuk pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Perum Bulog. Hari ini (16/12/2022) ada 5.000 ton yang masuk dari Vietnam. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)
  • Baru memasuki sepekan puasa, polemik kenaikan harga pangan utamanya beras kini menghantui konsumen di negeri agraris ini.
  • Kebahagiaan Presiden Jokowi runtuh sudah pada 2023 ini pasca sempat berbahagia memperoleh penghargaan swasembada pangan di tengah ketidakpastian ekonomi saat itu.
  • Lagi-lagi persoalan kenaikan harga pangan setiap tahun harus diselesaikan dengan impor. Apa benar tidak ada cara lain?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nyaris sepekan Ramadan berjalan, lonjakan harga pangan kembali terjadi di berbagai daerah bahkan ada beberapa daerah yang terpantau mencetak harga tertinggi secara rata-rata nasional di tingkat pedagang eceran.

Fenomena kenaikan harga pangan ini bak suatu hal yang rutin terjadi setiap tahunnya. Kita lihat saja, ketika penulis mencari berita terkait kenaikan harga pangan menggunakan kata kunci "kenaikan harga pangan menjelang Bulan Ramadhan" dengan rentang waktu pemberitaan mulai tahun 2017 hingga 2023. Hasilnya, terdapat pemberitaan yang berulang mengenai kenaikan harga pangan ini.

Beberapa bahan pangan pokok meningkat harganya karena permintaan yang melonjak. Komoditas pangan tersebut di antaranya adalah beras, cabai, telur, ayam, daging, hingga minyak goreng. Pemerintah juga melakukan monitoring harga pokok pangan tersebut.

Melonjaknya harga komoditas periode 2017 hingga 2022 ini terjadi karena hukum permintaan dan penawaran alias supply and demand, selain itu bak suatu hal yang menjadi kebiasaan bahwa tak bisa dipungkiri di lapang ini terjadi penimbunan barang.

Namun kalau kita amati lebih dalam, hampir pada setiap kesempatan menjelang Ramadhan melalui Kementerian Pertanian ataupun Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa stok pangan masih terhitung aman. Faktanya harga tetap melonjak dan selalu diatasi dengan impor.

Belakangan yang membuat heboh publik adalah beras. Bagaimana tidak, Indonesia menjadi negeri agraris namun pernyataan pemerintah terkait stok beras kerap kali membuat 'ngos-ngosan'.

Perum Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Penugasan diberikan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Merujuk salinan surat yang ditandatangani Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, dari jumlah tersebut sebanyak 500 ribu ton harus didatangkan secepatnya.

Tambahan pasokan dari impor tersebut untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP), bantuan beras kepada sekitar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan kebutuhan lainnya.

Lantas kenapa rencana impor beras di 2023 membludak? Sebanyak 2 juta ton bukan jumlah yang tak sedikit.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog saat ini menipis, tercatat sebanyak 282 ribu ton.

Maka dari itu, Bulog sempat aktif menyerap gabah petani, dibantu Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan TNI Angkatan Darat pada musim pertama panen tahun ini. Sebelumnya dia punya target Bulog mampu menyerap 70% dari total potensi produksi gabah 2,4 juta ton.

Meskipun kalau kita lihat data produksi beras dalam negeri mencatatkan peningkatan. Menilik laporan Badan Pusat Statistik (BPS) volume produksi beras di Indonesia mencapai31,54 juta ton sepanjang 2022. Angka ini naik 0,59% dibandingkan produksi tahun sebelumnya.

Sepanjang 2022 produksi beras paling besar tercatat pada bulan Maret, yakni 5,49 juta ton. Sedangkan produksi beras paling rendah pada Desember yang hanya 1,11 juta ton.

Apalagi seharusnya stok beras akan melimpah ditambah dengan hasil pada panen raya sekitar periode Maret-April 2023 ini dengan luas panen diperkirakan mencapai, 14 juta hektar menurut perkiraan BPS.

Nyatanya, pontang-panting mencari beras petani untuk dibeli ternyata tidak mudah. Buktinya, Bulog baru bisa menyerap sebanyak 30 ribu ton. Sementara itu, pihak kelompok penggiling padi sudah berkomitmen untuk menjual gabah mereka ke Bulog sebanyak 60 ribu ton sampai dengan bulan Mei 2023 mendatang.

Impor pada akhirnya menjadi jalan untuk keluar dari persoalan ini. Sebenarnya, pemerintah selalu menjawab dengan Impor yang pada akhirnya memunculkan penolakan di kalangan masyarakat.

Impor beras sendiri bukan menjadi aktivitas baru bagi pemerintah Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pemerintah Indonesia konsisten mengimpor beras selama 22 tahun terakhir atau sejak tahun 2000.

Meski memang pada tahun lalu Jokowi penerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan itu diberikan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras.

Hal ini mencakup untuk sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian.

Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia mencapai 90% lebih rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan. Ini adalah pencapaian yang sangat besar. Sayangnya, penghargaan ini bertahan lama.

Selain masalah impor, lonjakan harga beras belakangan semakin meresahkan. Bahkan harganya tahun ini sempat mencatat level tertingginya dalam 5 tahun terakhir.

Pemerintah sempat bereaksi dengan upaya menetapkan harga pembelian gabah hingga harga eceran beras. Namun, ini bukan persoalan yang mudah mengingat harga yang terlalu rendah bisa merugikan petani.

Tingginya Harga Beras Ini Sejahterakan Petani?

Berdasarkan wawancara mendalam Tim Riset CNBC Indonesia pada salah seorang Petani di Jawa Tengah menyebutkan bahwa kenaikan harga ini nyatanya tidak berdampak positif terhadap kesejahteraan petani.

"Kami belum merasakan dampak dari kenaikan harga beras. Hidup kami begini saja," ungkap Budiono.

Lantas mengapa demikian? padahal secara teori seharusnya kenaikan harga bakal berdampak pada pendapatan petani. Namun ada hal yang seringkali kita lupakan. Faktor cuaca ekstrem, tingginya biaya produksi yang di dalamnya ada faktor kenaikan harga BBM, pupuk, hingga pestisida membuat sulit sekali petani menerima manfaatnya.

"Harga sewa lahan disini juga naik, belum lagi pestisida, pupuk terus naik padahal disini pelaku usaha tahun 70% adalah penyewa atau buruh tani" tambahnya.

Meski harga BBM kembali diturunkan, Nuruddin melihat tidak lantas menurunkan biaya-biaya non-produksi beras seperti penggilingan, transportasi dan lain-lain.

Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa situasi permintaan yang tinggi dengan kemampuan suplai terbatas tersebut lantas 'dimainkan' oleh sebagian spekulan pasar untu menahan hasil produksi beras.

Hal inilah yang kemudian berakibat pada semakin berkurangnya jumlah pasokan beras dan memicu kenaikan harga komoditas. Namun pertanyaan besarnya, apakah tahun ke tahun tidak ada solusi serius dari pemerintah?

Seharusnya, pemerintah bisa menyikapi tingginya harga beras dengan kebijakan yang terintegrasi antara hulu dan hilir, sekaligus mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam proses produksi dan distribusi.

Perubahan ketetapan harga pembelian beras di skala nasional bukanlah solusi akhir dari permasalahan ini.

Pemerintah sibuk mencari cari kesalahan pihak mana yang mesti bertanggung jawab atas ketidakstabilan harga gabah dan beras belakangan ini. Menurut pemerintah, ini terjadi akibat kegagalan Bulog menyerap gabah dari petani saat musim panen 2022.

Bulog harus menyerap gabah sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang kerap lebih murah dari harga pasar. Akibatnya, petani lebih milih menjual gabahnya kepada pihak lain yang bersedia membeli dengan harga tinggi.

Sebagai informasi, HPP merupakan harga minimal yang harus dibayarkan pihak penggilingan kepada petani sesuai dengan kualitas gabah sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah.

Akibatnya, Bulog sendiri mengungkapkan stok beras saat ini mulai habis. Buwas mendata stok beras yang dimiliki Bulog sekarang tinggal tersisa 230 ribu ton. Ada tambahan beras yang masuk tetapi sedikit yaitu 55 ribu ton. Jumlah itu kemudian dibagi menjadi 2 dimana 23 ribu ton untuk CBP dan 32 ribu ton untuk beras komersil.

Di satu sisi, Bulog harus menyalurkan bansos kepada 21,3 juta KPM. Buwas bilang pada bulan Maret, April, Mei Bulog harus menggelotorkan 630 ribu ton atau 210 ribu ton per bulannya. Stok beras Bulog jadi cekak.

Situasi ini membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan operasi pasar dengan mengeluarkan cadangan beras saat harga naik.

Pada pertengahan Maret 2023, pemerintah menetapkan HPP serta harga eceran tertinggi (HET) beras. Gabah kering panen (kadar air maksimal 25% dan kotoran 10%) di tingkat petani dan penggilingan dihargai masing-masing Rp 5.000 dan Rp 5.100 per kilogram. Gabah kering giling (kadar air maksimal 10% dan kotoran 3%) diketok masing-masing di harga Rp 6.200 dan Rp 6.300 untuk penggilingan dan bulog. Harga beras bulog disetel di Rp 9.950.

Sementara, harga eceran beras berbeda-beda berdasarkan tiga wilayah zonasi dengan rentang harga Rp 10.900 hingga Rp 14.800 per kilogram.

Pengaturan kembali HPP beras dan gabah ini muncul setelah pemerintah mengimpor 500.000 ton beras sejak akhir tahun lalu, impor beras medium pertama sejak 2018, karena keterbatasan stok cadangan beras pemerintah.

Hal ini menunjukkan rumitnya permasalahan beras di Indonesia. petani menginginkan harga gabah yang menguntungkan, terutama menjelang dan saat panen raya. Sedangkan di sisi lain, ketahanan pangan mengharuskan suplai yang lancar dan harga beras yang terjangkau.

Perlu diingat bahwa kebijakan cadangan pangan saja tidak akan cukup dalam menjamin keterjangkauan beras. Harus disadari bahwa produksi yang berbiaya tinggi dan tidak efisien adalah akar dari tingginya harga beras domestik.

Solusinya adalah sinergi yang jelas, bukan lempar-lemparan tanggung jawab. Pengadaan stok beras pemerintah untuk stabilisasi harga, walaupun efektif sebagai solusi jangka pendek, tidak dapat menjadi solusi permanen bagi permasalahan beras yang kompleks.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)

[Gambas:Video CNBC]