Sectoral Insight

Jokowi Dapat Penghargaan Swasembada Beras, Eh Kini Impor Lagi

Research - Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
28 March 2023 14:25
Impor Beras Foto: cover topik/ Impor Beras/ Aristya Rahadian
  • Nyaris satu minggu bulan Ramadhan kita sudah dihebohkan oleh kondisi pangan Nasional, utamanya beras.
  • Belum selesai persoalan kenaikan harga beras, kini yang menghebohkan publik adalah persoalan impor.
  • Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor beras 2 juta ton pada tahun ini. Dari jumlah itu, 500 ribu ton harus didatangkan segera karena mendesak.

Jakarta, CNBC Indonesia - Nyaris seminggu momentum Ramadhan nyatanya bukan hanya meningkatkan keinginan beribadah, harga bahan pangan pokok alias sembako juga turut menggeliat di sejumlah daerah. Ironisnya, pangan pokok yang menuai persoalan tersebut salah satunya adalah beras.

Belum lama pemerintah memutuskan melakukan penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) dan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan tingginya harga beras di pasaran.

Untuk HPP gabah ditetapkan Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 5.000 per kg dan di tingkat penggilingan Rp 5.100 per kg.

Sedangkan Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan Rp 6.200 per kg dan di gudang Bulog Rp 6.300 per kg. Sedangkan beras di gudang Bulog dengan derajat sosoh 95%, kadar air 14%, butir patah 20%, butir menir maksimum 2%, harganya Rp 9.950 per kg.

Sementara itu, untuk HET beras juga ada kenaikan. HET beras berlaku berdasarkan zonasi yaitu zona 1 untuk Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi. Zona 2 untuk Sumatra selain Lampung dan Sumatra Selatan, NTT, Kalimantan. Serta, zona 3 Maluku dan Papua.

Untuk HET beras medium zona I Rp 10.900 per kg, untuk zona II Rp 11.500 per kg, zona III Rp 11.800 per kg. Kemudian untuk beras premium zona I Rp 13.900 per kg, zona II Rp 14.400 per kg, dan zona III Rp 14.800 per kg.

Kenaikan harga pangan pokok beras ini tentunya menuai polemik. Meningkatnya harga beras akanmenurunkan pendapatan riil masyarakat(konsumen beras). Hal ini dapat berpengaruh terhadap pola pengeluaran keluarga terutama keluarga pra sejahtera yang pendapatannya terbatas.

Belum selesai polemik ini, muncul pula polemik impor yang cukup menghebohkan akhir-akhir ini. Bukan tanpa alasan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor beras 2 juta ton pada tahun ini. Dari jumlah itu, 500 ribu ton harus didatangkan segera karena mendesak.

Bahkan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan kalau keputusan impor beras 2 juta tersebut sudah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat rapat terbatas pada Jumat, 24 Maret 2023 lalu.

Impor beras menjadi satu kalimat yang kontroversi. Bukan tanpa alasan, Indonesia dikenal dengan julukan negara agraris yang melekat karena mampu menghasilkan produk pertanian dalam jumlah yang besar.

Kalau kita mengacu pada data Total produksi padi pada 2019 tercatat sekitar54,60 juta ton gabah kering giling(GKG), produksi padi tersebut mengalami penurunan sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76% dibandingkan tahun 2018.

Selanjutnya, tahun 2021 luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektar atau mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar (2,3%) dibandingkan tahun 2020. Sementara itu, produksi padi tahun 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG.

Untuk tahun 2022, produksi padi pada 2022 diperkirakan sebesar 55,67 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebesar 1,25 juta ton GKG atau 2,31% dibandingkan produksi padi di 2021 yang sekitar 54,42 juta ton GKG.

Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 32,07 juta ton, mengalami peningkatan sebanyak 718,03 ribu ton atau 2,29% dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton. Namun pertanyaannya apakah produksi beras sebesar ini tak cukup bagi penduduk Indonesia?

Terbukti, pemerintah selalu menjawab dengan Impor yang pada akhirnya memunculkan penolakan di kalangan masyarakat.

Impor beras sendiri bukan menjadi aktivitas baru bagi pemerintah Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pemerintah Indonesia konsisten mengimpor beras selama 22 tahun terakhir atau sejak tahun 2000.

Menilik ke belakang lagi, berdasarkan catatan sejarah yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, nyatanya impor beras terjadi kali pertama pada era pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1910.

Kala itu Indonesia mengalami paceklik yang membuat pemerintah Belanda mengimpor beras dari Burma, India, dan China. Begini perjalanan impor beras selengkapnya.

Perjalanan Impor Beras Sejak Era Soekarno Hingga Jokowi

Pada satu pidato yang sangat terkenal di IPB, Soekarno menegaskan bahwa pangan itu hidup matinya sebuah bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia sehingga sebenarnya petani itu soko guru bangsa Indonesia.

Saat itu, Pemerintah lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947, baru terlaksana pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan 23 Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluhan pertanian.

Dikarenakan keterbatasan dana menyebabkan program ini tidak berjalan, ini mengakibatkan kecilnya kenaikan produksi padi. Kemudian di akhir tahun 1950-an, harga beras meroket karena produksi beras mengalami penurunan.

Pemerintah terpaksa melakukan impor beras, dari 334.000 ton di tahun 1950 menjadi 800.000 ton di tahun 1959.

Saat itu krisis pangan mulai menghantui stabilitas politik. Awal mula krisis pangan disebabkan produksi beras menurun hingga akhirnya negara bergantung kepada impor. Food crisis terjadi di Indonesia sampai tahun 1964. Bahkan krisis pangan tersebut memicu terjadinya social unrest di banyak tempat di negeri ini.

Era Presiden Soeharto (1967-1998)

Naiknya Soeharto melalui kudeta politik atas Presiden Soekarno. Merubah arah kebijakan pertanian yang sangat bertolak belakang apa yang dilakukan di pemerintahan Soekarno.

Dengan hal itu, kini pertanian mengarah ke mekanisme pasar bebas, yang secara grand design disebut Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan gerakan pembangunan yang meluas seluruh dunia yang mengikuti asumsi pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Kebijakan revolusi hijau tidak terlepas dari kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang pemerintahan Soekarno. Sejak masa kemerdekaan, impor beras (yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar) telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga 1 juta ton (sekitar 10% konsumsi domestik) diawal 1960-an.

Selanjutnya Indonesia sempat melakukan impor beras pada era Orde Baru sekitar tahun 1969. Pada 1980 Indonesia tercatat mengimpor sebesar 2,02 juta ton beras dari luar negeri.

Pemerintahan Soeharto menyadari betul pentingnya ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Sampai akhirnya sejak 1985 hingga 1986, Indonesia sama sekali tidak mengimpor beras. Pemerintahan Soeharto justru melakukan ekspor sebanyak 106 ribu ton pada 1985 dan 231 ribu ton pada 1986.

Namun, kegemilangan tersebut tak berlangsung lama lantaran setelahnya ekspor Indonesia kembali diberlakukan. Nyatanya, keberhasilan Soeharto menekan impor beras pada masa kepemimpinannya berlangsung tidak sampai satu dekade. Puncaknya, impor beras Indonesia melonjak tajam sebesar 1,3 juta ton pada 1995 dan 2 juta ton pada 1996.

Era Pemerintahan Habibie

Setelah Soeharto lengser, Baharudin Jusuf (BJ) Habibie langsung menempati posisi presiden Indonesia pada Oktober 1999.

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Habibie mengingat kondisi perekonomian kala itu masih dalam tahap pemulihan akibat krisis ekonomi hebat pada 1998. Impor beras pada waktu itu masih tetap dilakukan pemerintah Indonesia.

Beras sebanyak 3 juta ton diimpor Indonesia dari berbagai negara dan itu merupakan rekor yang bertahan hingga sekarang. Namun, angka tersebut berhasil diturunkan pada 2000 yang hanya mengimpor 1,35 juta ton beras.

Era Pemerintahan Gusdur

Pada masa kepemimpinanan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia juga belum juga bisa terlepas dari impor beras. Selama masa kepemimpinannya sejak 2001-2004, Gus Dur tercatat melakukan impor beras sebanyak empat kali.

Total selama kurang lebih empat tahun memimpin Indonesia, Gus Dur melakukan kebijakan impor sebanyak 4,115 juta ton. Rinciannya, 644,7 ribu ton pada 2001, kemudian melonjak tajam menjadi 1,805 juta ton pada 2002.

Impor beras semakin turun di dua tahun sisa masa kepemimpinan Gus Dur, yakni 1,428 juta ton pada 2003 dan 236,8 ribu ton pada 2004.

Era Presiden Megawati (2001-2004)

Beberapa mengalami pergantian pemimpin, kenyataan pahit yang harus diterima bahwa Indonesia masih bergantung pada impor. Meskipun, dalam catatannya Capaian impor beras yang tergolong sedikit tersebut terlaksana di masa peralihan kekuasaan dari Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Megawati.

Setahun berselang, di 2002 Megawati mengimpor beras sebanyak dua kali lipat lebih, tepatnya sejumlah 1.805.379 ton atau seharga US$ 342,5 juta. Di tahun 2003, data impor beras Indonesia sedikit menurun menjadi 1.428.505 ton selama setahun, atau senilai US$ 291,4 juta.

Di ujung masa jabatannya, dan memasuki awal kepemimpinan SBY, angka impor beras Indonesia kembali turun drastis menjadi hanya 236.866 ton atau setara denganUS$ 61,7 juta. Ini terjadi pada tahun 2004, lagi-lagi merupakan masa kampanye Pemilu.

Era Presiden SBY (2004-2014)

Di masa kepemimpinannya, pada 2005 Presiden SBY sempat menorehkan data impor beras dengan jumlah paling sedikit, yakni 189.616 ton atau setara US$ 51,4 juta.

Setahun berselang, pemerintahan SBY mengimpor beras 438.108 ton sepanjang tahun 2006 atau setara US$ 132,6 juta. Namun lonjakan impor beras secara drastis terjadi di tahun berikutnya, sebesar 1.406.847 ton di 2007 atau setara US$ 467,7 juta.

Jelang memasuki masa kampanye, dua tahun berturut-turut grafik impor beras Indonesia kembali menurun. Di 2008, Indonesia hanya impor beras 289.689 ton atau setara US$ 124,1 juta, dan di tahun 2009 kembali menurun menjadi 250.473 ton atau senilai US$ 108,1 juta.

Pada masa Pemilu kali ini, SBY kembali terpilih menjadi Presiden. Di awal periode keduanya, pada tahun 2010 pemerintahan SBY mengimpor beras 687.581 ton atau senilai US$ 360,7 juta. Angka tersebut naik berlipat-lipat dari tahun sebelumnya.

Di 2011, angka impor beras Indonesia kembali melonjak menjadi 2.750.476 ton atau setara dengan US$ 1,5 miliar. Capaian ini menjadi yang terbanyak sekaligus termahal selama periode 2000-2019 menurut BPS.

Kemudian pada 2012, angka impor beras turun menjadi 1.810.372 ton atau US$ 945,6 juta. Selanjutnya, di 2013 impor beras Indonesia turun ke angka 472.664 ton atau senilai US$ 246 juta.

Selanjutnya, pada masa akhir kepemimpinan Presiden SBY dan memasuki awal periode Presiden Jokowi, di tahun 2014 impor beras Indonesia mencapai angka 844.163 ton atau senilai US$ 388,1 juta.

Bagaimana Impor Beras Era Presiden Jokowi?

Di awal masa jabatannya, tahun 2015 pemerintahan Jokowi mengimpor beras 861.601 ton atau senilai US$ 351,6 juta. Kemudian, di tahun 2016, impor beras pemerintah melonjak menjadi 1.283.178 ton atau seharga US$ 531,8 juta.

Setahun kemudian, di 2017 angka impor beras sempat menurun menjadi 305.274 ton atau setara US$ 143,6 juta. Namun penurunan tersebut tak terulang di tahun berikutnya, ketika Indonesia mengimpor beras 2.253.824 ton di tahun 2018. Jumlah tersebut setara dengan US$ 1,037 juta.

Usai naik drastis, jumlah beras yang diimpor pemerintah kembali menurun di tahun 2019, lagi-lagi memasuki masa Pemilu. Sepanjang 2019, Indonesia mengimpor beras sebanyak 444.508 ton atau setara dengan US$ 184,2 juta.

Kini, masa kepemimpinan Jokowi masih berlangsung. Menarik dinanti bagaimana realisasi impor beras era Jokowi di sisa masa jabatannya hingga tahun 2024. Dan hingga hari ini nyatanya impor terus berlanjut.

Berdasarkan data BPS dari 2000 hingga 2022 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. BPS mencatat RI mengimpor beras hingga 1,81 juta ton di tahun 2012, dan sebelumnya bahkan 2,75 juta ton di tahun 2011. Di tahun 2013, RI mengimpor 427,66 ribu ton beras.

Perlu diketahui, dalam rentang waktu tersebut pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar.

Terbaru, awal tahun 2023 ini impor kembali menyeruak. Dirut Perum Bulog Budi Waseso buka suara soal keputusan untuk mengimpor beras 2 juta ton. Buwas mengungkapkan dari jumlah itu, 500 ribu ton harus didatangkan secepatnya untuk kebutuhan mendesak. Adapun kebutuhan mendesak yang dimaksud yaitu bantuan sosial dan operasi pasar.

Lebih rinci, bansos yang dimaksud adalah bantuan beras kepada sekitar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan kebutuhan lainnya. Sedangkan operasi pasar yaitu program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP).

Ternyata keputusan impor yang dilakukan pemerintah memang di luar dugaan. Awalnya Bulog diprediksi bisa menyerap beras petani setidaknya 70% dari potensi panen 2,4 juta ton. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya.

Bulog sulit bersaing dengan swasta untuk menyerap beras petani. Belum lagi ada praktik-praktik penimbunan.

Selain itu, ironisnya Ia juga mengungkapkan stok beras Bulog saat ini mau habis. Buwas mendata stok beras yang dimiliki Bulog sekarang tinggal tersisa 230 ribu ton. Ada tambahan beras yang masuk tetapi sedikit yaitu 55 ribu ton. Jumlah itu kemudian dibagi menjadi 2 dimana 23 ribu ton untuk CBP dan 32 ribu ton untuk beras komersil.

Di satu sisi, Bulog harus menyalurkan bansos kepada 21,3 juta KPM. Buwas bilang pada bulan Maret, April, Mei Bulog harus menggelotorkan 630 ribu ton atau 210 ribu ton per bulannya. Stok beras Bulog jadi cekak.

Persoalan persediaan beras ini seperti 'sesak nafas'. Pemerintah harus berusaha keras mencukupkan stok beras agar ke depan harga juga stabil. Ironisnya, kondisi saat ini berlawanan dengan satu tahun lalu.

Bahkan baru pada Agustus 2022, Jokowi penerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan itu diberikan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras.

Hal ini mencakup untuk sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian.

Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia mencapai 90% lebih rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan. Ini adalah pencapaian yang sangat besar. Sayangnya, penghargaan ini bertahan lama.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)

[Gambas:Video CNBC]