Jelang Ditinggal Jokowi, RI Swasembada Beras Tinggal Nama?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nyaris satu tahun lagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat sebagai pemimpin negeri ini. Persoalan pangan masih jadi hal yang krusial di Indonesia, di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian global.
Hanya saja, meski Indonesia menyandang predikat negara agraris, justru saat ini tengah mengalami kondisi yang ironis. Di tengah gejolak ekonomi dan ancaman kelangkaan pangan global, terutama beras. Belum lagi, dampak perang dan perubahan iklim, membuat membuat produksi dan distribusi bermasalah.
Seperti diketahui, pertanian memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena berfungsi sebagai penyedia pangan, pakan untuk ternak, dan bioenergi. Peran pertanian sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional, terutama mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan.
Ketahanan Pangan Indonesia
Sementara itu, data Global Food Security Index (GFSI) menunjukkan, indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2022 mengalami peningkatan di level 60,2 atau naik 1,69% dibandingkan tahun 2021. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, ketahanan pangan Indonesia tahun ini masih di bawah rata-rata global yang indeksnya 62,2.
Serta lebih rendah dibanding rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4.
Jika melihat data GFSI dalam satu dekade terakhir, indeks ketahanan pangan Indonesia hanya 2 kali mengalami koreksi di atas 3% yakni tahun 2019 dan 2021 masing-masing berada pada level 60.4 dan 59,2.
Penurunan indeks pangan tahun 2021 merupakan menjadikan ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113 negara.
GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).
Di indikator keberlanjutan dan adaptasi, GFSI menilai kebijakan negara dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, pemeliharaan lingkungan, sampai manajemen kebencanaan yang dapat mempengaruhi keamanan pasokan pangan.
Hasil penilaian seluruh indikator tersebut dinyatakan dalam skor berskala 0-100. Semakin tinggi skornya, kondisi ketahanan pangan dinilai semakin baik.
Di sisi lain, GFSI menilai harga pangan di Indonesia cukup terjangkau dibandingkan negara-negara lain Hal ini terlihat dari skor affordability Indonesia yang mencapai 81,4, cukup jauh di atas rata-rata Asia Pasifik yang skornya 73,4.
Namun, ketersediaan pasokan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Kualitas nutrisi juga hanya mendapat skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi skornya 46,3. Di tiga indikator ini ketahanan Indonesia dinilai lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik.
Pembangunan Pertanian demi Ekonomi
Dalam rangka menyediakan pangan masyarakat sebagai wujud ketahanan pangan dalam negeri yang telah dituangkan ke dalam Undang-undang Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, maka sektor pertanian diharapkan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Indonesia.
Selama tahun 2018 sampai 2021, lapangan usaha pertanian secara luas (termasuk kehutanan dan perikanan) menduduki peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan dengan rata-rata kontribusi sebesar 13,22% terhadap PDB Indonesia, dengan kontribusi pertanian sempit (tanpa kehutanan dan perikanan) sebesar 9,82%.
Hanya saja, pandemi Covid-19 yang melanda dunia berdampak terhadap keseluruhan tatanan pembangunan nasional, hal ini menyebabkan asumsi dan target pembangunan di RPJMN 2020-2024 perlu melakukan strategi ulang.
Pembangunan pertanian diharapkan masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi yang positif dengan perbaikan/perubahan strategi peningkatan produktivitas, penguatan nilai tambah produk, investasi berkelanjutan, perbaikan pasar tenaga kerja dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Maka dari itu, pembangunan pertanian yang menjadi bagian dari RPJMN Tahun 2020-2024 merupakan tahapan ke-4 dan kelanjutan dari RPJPN 2005-2025.
Pada RPJMN keempat (2020-2024) di mana pembangunan sektor pertanian dituntut bisa meningkatkan ketahanan pangan dan daya saingnya guna mendukung terwujudnya pertanian Indonesia yang maju, mandiri dan modern.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp2,25 kuadriliun sepanjang 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional.
Meskipun lebih tinggi dibanding capaian pada 2020, pertumbuhan sektor pertanian pada 2021 masih lebih rendah dibandingkan dengan sebelum adanya pandemi Covid-19, di mana pertumbuhannya selalu di atas 3%.
Selama tahun 2022, pertanian menempati posisi ketiga penyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar 12,4%. Artinya, pertanian masih tercatat sebagai salah satu leading sector lapangan usaha yang berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Swasembada Beras yang Kini 'Samar' Bagi Indonesia
Di sisi lain, swasembada beras masih jadi predikat yang diidam-idamkan Indonesia. Dan, ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi negara kita, yang akrab di sebut negara agraris.
Sudah dua kali bangsa ini mendapat pengakuan dan penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO) dan Lembaga Riset berkelas dunia sekaliber IRRI, sebagai negeri yang mampu meraih swasembada beras. Pertama di tahun 1984 yang dikukuhkan dalam Sidang Tahunan FAO di Roma, Italia.
Dan kedua pada tahun 2022 yang pengukuhannya dilakukan di Jakarta atas kisah sukses negara kita dalam meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Bahkan selama 3 tahun berturut-turut (2019-2021), Indonesia mampu menutup rapat-rapat keran impor beras dan mengandalkan kebutuhan berasnya dari hasil produksi petani dalam negeri.
Dilansir dari World-Grain, menurut laporan Perkiraan Pasokan dan Permintaan Pertanian Dunia (World Agricultural Supply and Demand Estimates/WASDE) Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada bulan November 2022, produksi beras global diproyeksikan mencapai 503,69 juta ton pada tahun 2022-2023. Dari jumlah itu, USDA memperkirakan 52,83 juta ton diekspor ke pasar dunia.
Indonesia sendiri merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia, tetapi turun drastis menjadi 34,6 juta ton. Menilik data BPS, produksi padi tahun 2022 yaitu sebesar 54,75 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras tahun 2022 mencapai sekitar31,54 juta ton, atau naik sebesar 184,50 ribu ton (0,59%) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2021.
Dengan populasi 276,4 juta orang dan konsumsi beras dalam negeri mencapai 35,5 juta ton, Indonesia diperkirakan akan mengimpor 550.000 ton pada tahun 2022.
Ini menjadi ironis di saat Indonesia menyandang status swasembada beras. Gelar swasembada pun jadi seolah 'samar'. Sebab, menurut definisi FAO, swasembada berarti jika produksi lokal dapat memenuhi 90% kebutuhan nasional.
Memang, impor beras diputuskan karena pemerintah meluncurkan program bantuan pangan berupa 10 kg beras untuk 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan beras digelontorkan selama 3 bulan, mulai Maret-Mei 2023. Dan masih dilanjutkan hingga saat ini. Memilukannya, stok beras di gudang Perum Bulog saat itu hanya sebanyak 220 ribu ton. Jauh dari kondisi ideal yang seharusnya minimal 1 juta ton. Padahal, stok Bulog adalah senjata utama pemerintah melakukan intervensi pasar.
Dan kini, untuk tahun 2023, pemerintah membuka lagi keran impor untuk kuota 2 juta ton. Yang ditugaskan kepada Bulog. Dalih pemerintah, untuk menjaga stok beras pemerintah di gudang Bulog bisa mencapai 1,2 jutaan ton di akhir tahun 2023 nanti.
Jika rencana impor ini terealisasi penuh, maka ini menjadi impor terbesar kedua setelah tahun 2018 alias yang tertinggi selama kepemimpinan Jokowi-Mar'ruf Amin.
Rencana volume impor beras tahun 2023 melonjak 365% dibanding 2022 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Hal ini mengingatkan pada situasi tahun 2018, ketika volume impor beras nasional tiba-tiba meningkat 638% (yoy) menjadi 2,25 juta ton.
Adapun lonjakan impor beras pada 2018 dan 2023 sama-sama terjadi setahun menjelang pemilihan umum (pemilu).
Kendati demikian, Presiden Jokowi menyatakan rencana impor beras tahun ini bukan terkait persiapan pemilu, melainkan untuk antisipasi fenomena cuaca El Nino yang dapat mengganggu produksi beras.
Pola panen padi di Indonesia pada 2022 secara umum hampir mirip dengan pola panen padi pada 2021. Total produksi padi di Indonesia selama 2022 sekitar 54,75 juta ton GKG, atau meningkat sebesar 333,68 ribu ton (0,61%) dibandingkan 2021.
Jika dilihat lebih rinci, peningkatan produksi padi tertinggi terjadi pada bulan November 2022, yaitu lebih tinggi sekitar 0,39 juta ton dibandingkan November 2021. Sementara itu, penurunan produksi padi yang cukup signifikan terjadi pada bulan Juli 2022, yaitu sebesar 0,80 juta ton dibandingkan produksi padi pada Juli 2021.
Indonesia ini memang merupakan konsumen beras terbesar keempat di dunia di mana konsumsinya mencapai 35,3 juta metrik ton sepanjang tahunlalu. Angka volume konsumsi beras tersebut konsisten dari konsumsi masyarakat Indonesia pada periode sebelumnya.
Karena itu, dengan melihat kondisi sekarang Indonesia memang patut hati-hati apalagi harga beras dunia sudah berada di level tertinggi dalam 12 tahun. Jalan impor memang tengah di siapkan pemerintah untuk menekan harga beras dalam negeri.
Belum lagi, pada 20 Juli lalu, India tengah melarang ekspor beras non-basmati sebagai upaya untuk mengendalikan harga pangan di dalam negerinya.
Di saat bersamaan, ada kekhawatiran terkait dampak El Nino terhadap produksi pangan, terutama di negara-negara pemasok utama dunia.
Indeks Harga Beras Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pun menunjukkan, harga untuk Juli naik 2,8% menjadi 129,7 poin. Angka tersebut naik 19,7% dibandingkan tahun lalu, dan nilai nominal tertinggi sejak September 2011, data dari FAO menunjukkan bahwa kenaikan harga paling tajam datang dari Thailand.
Celakanya, pasar beras global diperkirakan masih akan mengalami tekanan lebih lanjut karena produsen beras terkemuka dunia yakni China, bergulat dengan risiko hujan lebat dan banjir.
"Hujan lebat di wilayah timur laut penghasil biji-bijian China yang akan mengurangi hasil panen kemungkinan akan memberikan tekanan pada harga beras global yang sudah tinggi," kata Fitch Ratings dalam laporan baru-baru ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)