
Jokowi Mendadak Impor Beras, Petani Beri Respons Tak Terduga

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah bakal mengimpor beras sebanyak 2 juta ton sampai akhir tahun 2023. Sebanyak 500.000 ton diantaranya ditargetkan segera masuk ke Indonesia.
Lalu bagaimana petani merespons keputusan impor beras tahun ini? Menolak atau merestui kebijakan Jokowi?
Pasalnya, kabar rencana impor terkuak saat Indonesia masih dalam periode musim panen raya.
Di mana, perintah penugasan pengadaan beras dari luar negeri atau impor kepada Perum Bulog dikeluarkan pada 24 Maret 2023. Hal itu terlihat dari tanggal tertera pada surat Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi kepada Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas). Salinan surat itu telah beredar luas sebelum pemerintah mengumumkan resmi rencana impor beras.
Dalam surat itu, Arief menyebutkan, perintah pengadaan tersebut menindaklanjuti hasil rapat bersama Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2023 tentang ketersediaan bahan pokok dan persiapan arus mudik Idulfitri 1444 H.
Disebutkan dalam surat penugasan itu, pemerintah akan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) pangan sebanyak 10 kg beras kepada 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Yang akan disalurkan pada bulan Maret-Mei 2023, artinya dibutuhkan beras sebanyak 630.000 ton.
Sementara, beras di gudang Bulog saat ini, (mengutip situs resmi, Selasa 28/3/2023), hanya sebanyak 58.372 ton. Itu pun, masih termasuk sisa beras impor yang ditugaskan pemerintah pada akhir 2022 lalu.
"Kalau mengandalkan pengadaan beras dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada," kata Pengamat Pertanian Khudori kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (28/3/2023).
Karena itu, ujarnya, impor bisa jadi opsio asal terukur dan waktu realisasi pemasukan ke RI tidak meleset.
Lalu bagaimana sikap petani?
Berbeda dengan kebijakan impor beras sebelumnya, kali ini suara petani terpecah merespons keputusan Jokowi.
Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sadar Subagyo mengatakan, petani kali ini memahami keputusan Jokowi. Pasalnya, ujar dia, terminologi panen raya kini tak lagi berlaku.
"Kami memahami hal tersebut harus dilakukan untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP). Perlu diketahui, Januari-Februari 2023, produksi diprediksi flat, tidak surplus tidak defisit, tapi ternyata defisit 880 ribu ton," kata Sadar kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (28/3/2023).
Menurutnya, salah satu penyebab melesetnya perhitungan prediksi panen itu karena data luas panen yang tak sesuai perkiraan.
"Harus ngisi dari mana (CBP)? Karena itu, sebenarnya narasi panen raya itu menyesatkan. Kalau hanya spot-spot bukan panen raya," katanya.
"Jadi, banyak yang nggak mengerti soal defisit ini. Barang memang tidak ada. Gabah petani itu sudah dibeli," tambah Sadar.
Yang penting, lanjut dia, pemerintah harus melanjutkan transparansi data yang saat ini sudah dimulai Bapanas. Dan, meminta realisasi impor harus terukur.
Sadar membantah, sikap petani kali ini yang tak marah dengan keputusan Jokowi, karena Jokowi telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk pengadaan beras dan gabah Bulog dari produksi petani di dalam negeri.
"Nggak lah. Jadi, seolah-olah, Pak Jokowi menaikkan harga beli petani, terus impor, gitu? Nggak lah," katanya sambil tertawa.
"Sekarang petani sudah menikmati hasil dari panen, harga sudah naik sebelum HPP dinaikkan. Barang petani juga sudah dibeli. Bahkan sebelum panen. Karena itu petani nggak ribut. Kecuali seperti sebelumnya, musim panen harga anjlok, nggak ada yang beli, terus impor," jelas Sadar.
Di sisi lain, dia meminta Presiden Jokowi tegas melakukan perbaikan data, termasuk data produksi beras di dalam negeri.
"Petani sudah menikmati hasil panen saat ini karena memang kondisinya masih defisit. Jadi nggak tahu kalau bulan depan bagaimana kondisinya ya," kata Sadar.
Berbeda dengan HKTI, Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, impor beras saat ini, tidak tepat karena di beberapa wilayah masih RI masih panen raya.
"Meski ditujukan sebagai CBP dan untuk program bantuan sosial, namun pengumuman impor beras dalam waktu dekat ini pasti berpengaruh, baik itu secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani," kata Ketua Umum SPI Henry Saragih.
"Ini terjadi karena rentetan Bulog yang tidak menguasai CBP dari tahun lalu dan masalah ini berlanjut sampai tahun ini," tambahnya.
SPI menyesalkan keputusan impor beras oleh Jokowi, yang menurut Henry, seharusnya bisa diantisipasi jauh-jauh hari.
"Ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang," cetusnya.
Dia pun mempertanyakan dasar pemerintah memutuskan membuka keran impor beras tahun ini.
"Pertanyaannya apakah memang produksi dalam negeri yang tidak cukup memenuhi kebutuhan nasional, atau memang masalahnya terletak pada ketersediaan anggaran sampai mekanisme penyerapan gabah/beras di tingkat petani?," kata Henry.
"Jika memang terjadi penurunan produksi, akibat bencana banjir maupun hama dan sebagainya, ini harus jelas. Artinya terjadi ketidaksesuaian antara prognosis pemerintah (dalam hal ini BPS) dengan fakta di lapangan," pungkasnya.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sinyal Impor Beras Menguat, Begini Kata Anak Buah Zulhas
