IPO Watch

Lebih Mahal Dari Kompetitor, InI Dia Risiko Bisnis PGEO

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
07 February 2023 14:46
Pertamina
Foto: PGEO dok Pertamina

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor infrastruktur akan kedatangan 1 calon emiten baru PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang berencana akan melantai di Bursa Efek Indonesia pada 24 Februari 2023. Dari perhitungan dari prospektusnya, PGEO terbilang murah namun bisnis panas bumi justru mengalami penurunan kinerja.

PGEO akan melakukan harga penawaran pada rentan harga Rp 820-Rp 945. Dimana penawaran awal akan berlangsung pada 01/02/2023 hingga 01/02/2023 dan penawaran umumnya akan dilaksanakan pada 20/02/2023 hingga 22/02/2023. Potensi dana yang akan didapatkan oleh PGEO berada di sekitar Rp 8,49 triliun hingga Rp 9,78 triliun. Dimana PGEO menjadi urutan kelima sebagai emiten dengan dana IPO terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah BUKA, MTEL, GOTO dan ADRO.

Dapat dilihat market cap (kapitalisasi pasar) dan rasio murah atau mahalnya PGEO. Di bawah ini menggunakan asumsi kurs Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat.

Market Cap

Rp 33,95T-Rp 39,12 T

PER

17,4 - 20,0

PBV

1,20 - 1,33

Estimasi market cap pada PGEO berada di Rp 33,95T-Rp 39,12T dimana cukup besar untuk kapitalisasi pasarnya alias super likuid.

PER PGEO berada di area 17,4 jika harga listing berada di Rp 820, dan PER 20 jika harga listing berada di Rp 945. Dimana jika PER yang diambil adalah 20, PGEO masih terbilang murah untuk bisnis panas bumi ini. Dimana rata-rata industri sektor infrastruktur berada di PER 21.

Secara PBV PGEO masih berada di area 1,20 hingga 1,33. Dimana rata-rata untuk industri ini PBV berada di 2. Hal ini menandakan juga bahwa PGEO masih terbilang murah.

Jika melihat ke dalam laporan keuangan PGEO. Margin bisnis pembangkit listrik memang cukup besar. Dalam rasio profitabilitas, margin laba bruto PGEO per 30 September 2022 berada di angka 57,4%, yang berarti GAP atau kesenjangan dalam pendapatan usaha dengan beban langsung itu cukup jauh. Beban langsung yang dikeluarkan sedikiri namun pendapatan usahanya besar.

Dalam segi hutang, PGEO memiliki hutang jangka panjang dengan kurs dollar AS dan Yen. Hal ini akan mempengaruhi nilai hutang yang dibayarkan ketika fluktuasi kurs mata uang yang bergejolak.

Debt to Equity Ratio (DER) perusahaan berada di kisaran 0,9-1,5x yang menandakan bahwa kemampuan membayar kewajiban dari modal PGEO masih cukup terbilang aman.

Secara EBITDA (earning before interest tax, depreciation, and amortization) PGEO berada di area 78% hingga 85% dikarenakan mayoritas beban pokok perseroan berasal dari depresiasi. EBITDA mencerminkan arus kas dari aktivitas operasi perusahaan.

pgeo

Jika dilihat dari pendapatan usaha sejak 2019-2021 PGEO mengalami penurunan kinerja, namun secara laba tahun berjalan pada 2021mulai meningkat dibanding 2020 namun belum bisa mengejar laba pada tahun 2019.

pgeo

Jika dilihat dari pertumbuhan pendapatan usaha PGEO hanya naik 3,9% pada 30/09/2022 secara year on year. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh eskalasi harga jual listrik panas bumi yang dipengaruhi oleh naiknya Indeks Harga Produsen Amerika Serikat (United States Producer Price Index atau "US PPI") selama sembilan bulan pertama tahun 2022, yang melebihi jumlah yang diperlukan untuk menutupi penurunan total listrik yang diproduksi pada periode yang sama di tahun 2021.

Selain itu didukung juga kenaikan dari penjualan uap kepada PT Indonesia Power serta penjualan uap dan listrik ke beberapa PLN di Kamojang, Lahendong, Ulubelu, Karaha dan Lumut Balai.

Secara laba tahun berjalan PGEO pada 30/09/2022 mampu meningkatkan laba menjadi tumbuh 67,80% dari periode sebelumnya di 30/09/2021. Peningkatan laba ini juga di dukung oleh pendapatan lain-lain yang disebabkan peningkatan keuntungan atas selisih kurs.

pgeo

Paling mencolok dalam laporan arus kasnya, berada di arus kas aktivitas investasi yaitu penerimaan dividen. Selain itu juga pada arus kas aktivitas pendanaan yang naik karena pembayaran dividen dan bunga pinjaman ke Pertamina pada tahun 2021.

Perseroan juga berencana untuk mengusulkan pembagian dividen tunai kepada seluruh pemegang saham berdasarkan rasio pembayaran dividen maksimal 50% dari laba bersih. Misal ambil contoh laba bersih tahun berjalan per 30/09/2022 berada di USD 111.429.000, berarti 50% nya adalah USD 55.714.500, sedangkas kas pada 30/03/2022 berada di USD 230.440.000.

Hal ini menandakan bahwa kas PGEO mampu dalam membagikan dividen dengan estimasi maksimal 50% dari laba bersih.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 

Lalu untuk apa dana IPO PGEO? Berikut jelasnya.

Sekitar 85% akan digunakan untuk pengembangan usaha Perseroan sampai dengan tahun 2025.

  • 55% akan digunakan untuk capital expenditure (CAPEX) atau investasi pengembangan kapasitas tambahan dari WKP operasional Perseroan saat ini yang dilakukan melalui pengembangan konvensional dan utilisasi co-generation technology untuk memenuhi permintaan tambahan dari pelanggan existing Perseroan. Pengembangan ini sebagian besar akan digunakan antara lain untuk WKP Lahendong, WKP Hululais, WKP Lumut Balai dan Margabayur, WKP Gunung Way Panas, WKP Sungai Penuh, dan WKP Gunung Sibayak - Gunung Sinabung.
  • 33% akan digunakan untuk capital expenditure (CAPEX) atau investasi pengembangan kapasitas tambahan dari WKP operasional Perseroan saat ini yang dilakukan melalui pengembangan konvensional dan utilisasi co-generation technology untuk mengantisipasi kebutuhan pasar baru. Pengembangan ini sebagian besar akan digunakan antara lain untuk WKP Lumut Balai dan Margabayur, WKP Hululais, WKP Gunung Way Panas, dan WKP Kamojang - Darajat
  • 12% (dua belas persen) akan digunakan oleh Perseroan untuk capital expenditure (CAPEX) atau investasi pengembangan kemampuan digital, analitik, dan manajemen reservoir untuk mendukung production, operation & maintenance excellence.

Sederhananya, akan digunakan untuk membangun dan menambah kapasitas pembangkit listrik PGEO. Ada dua area operasi yang sudah pasti akan dikembangkan oleh PGEO yaitu:

  • Lumut Balai : 55 MW (+55 MW) = 110 MW
  • Hululais : belum diutilisasi (+110 MW) = 110 

15% untuk pembayaran sebagian Facilities Agreement tertanggal 23 Juni 2021 antara Perseroan dengan Mandated Lead Arrangers, Kreditur Sindikasi Awal dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai Facility Agent.

Siapa yang dapat menyaingin PGEO?

PT Cikarang Listrindo Tbk (POWR) merupakan produsen listrik swasta pertama di Indonesia. Pelanggan POWR berasal dari beberapa industri dan juga PLN. Bedanya jika POWR tidak hanya uap sebagai sumber dari pembangkit listriknya, ada juga gas dan batu bara.

Lalu bagaimana dengan kinerja POWR? Apakah mampu bersaing dengan PGEO?

PGEO

POWR

Market cap

Rp 33,95T-Rp 39,12 T

Rp 10,70T

PER

17,4 - 20,0

9,01

PBV

1,20 - 1,33

0,99

Harga

Rp 820-945

665

Dapat dilihat bahwa market cap calon emiten PGEO 3 kali lebih besar dibanding POWR. Namun keduanya sama-sama likuid.

Secara sektoral keduanya juga sama-sama masih murah dengan rata-rata PER sektor di bisnis pembangkit listrik ada di angka 21. Namun POWR lebih murah dibandingkan dengan PGEO.

Secara harga wajar (PBV) keduanya masih sama-sama murah namun lebih murah POWR.

Beralih dari rasio, wilayah bisnis dari PGEO dan POWR. Dimana masing-masing memiliki wilayah untuk pengoperasian pembangkit listrik.

No.

PGEO

POWR

1

Kamojang : 235 MW

Jababeka

2

Lahendong : 120 MW

MM-2100

3

Ulubelu : 220 MW

Babelan

4

Karaha : 30 MW

5

Lumut Balai : 55 MW

6

Sibayak : 12 MW (operasi dihentikan)

7

Sungai Penuh (belum beroperasi)

8

Hululais (belum beroperasi)

Ada dua wilayah pembangkit listrik PGEO yang belum beroperasi dan satu dihentikan, berarti total wilayah yang beroperasi hanya lima saja, sedangkan POWR ada tiga wilayah yang dimana terletak di wilayah industri.

per September 2022

PGEO

POWR

Margin

57.40%

24.83%

Pertumbuhan Laba Bersih

67.80%

-1.97%

Secara margin PGEO lebih unggul dengan 57,40% dibandingkan POWR hanya setengahnya di angka 24,83%. Hal ini PGEO lebih efektif dalam mengatur beban pokok pendapatan terhadap pendapatan usahanya.

Secara pertumbuhan laba bersih PGEO juga lebih unggul dengan tumbuh 67,80% dari periode kuartal III 2021. Justru POWR nampak penurunan kinerja dengan turun -1,97% dari periode kuartal III 2021.

Namun POWR salah satu emiten yang rajin membagikan dividen. Dimana dalam satu tahun, POWR melakukan dua kali pembagian dividen. Ini yang menjadikan POWR menjadi salah satu emiten kesukaan investor untuk dividen stock.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) bergerak dalam pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). PLTP memanfaatkan sumber panas bawah tanah dari magma untuk membuat air tanah menjadi panas. Air yang panas ini nantinya akan berubah menjadi uap air. Uap ini yang akan digunakan untuk memutar turbin. Turbin memutar generator, yang akhirnya akan menghasilkan listrik.

Selain itu, PGEO merupakan pemegang hak panas bumi terbesar di Indonesia, termasuk hak atas area operasi panas bumi Star Energy.

Dalam kontraknya, Star Energy bertindak sebagai kontraktor kepada PGEO yang artinya hak operasi tetap dipegang oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Hal ini menjustifikasi nilai premium yang dimiliki oleh PGEO karena PGEO mendapat bagi hasil keuntungan dari KOB dengan Star Energy.

PGEO saat ini mempunyai total 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan 8 dioperasikan sendiri, 4 dikontrakan, dan 1 dimiliki anak usaha. Dari 8 area operasi ini, masing-masing area operasi sudah punya pembangkit listrik sendiri dengan rincian:


1. Kamojang : 235 MW
2. Lahendong : 120 MW
3. Ulubelu : 220 MW
4. Karaha : 30 MW
5. Lumut Balai : 55 MW
6. Sibayak : 12 MW (operasi dihentikan)
7. Sungai Penuh (belum beroperasi)
8. Hululais (belum beroperasi)

Bisnis memanfaatkan panas bumi untuk menjadi listrik, tidak memerlukan bahan bakar alias gratis dari hasil bumi. Namun, konsekuensinya adalah panasnya harus diolah langsung di tempat, jika tidak maka uap yang dihasilkan akan dingin kembali dan tekanannya rendah. Jika uapnya rendah, maka akan menurunkan efektivitas turbin dan listrik yang dihasilkan jadinya sedikit.

Konsekuensi lainnya adalah natural decline, yaitu alam bermasalah. Salah satunya adalah ketika tidak ada air tanah yang bisa dijadikan uap. Semakin banyak air yang diuapkan, semakin banyak juga air tanah yang akan diuapkan.

Maka jika ingin menghasilkan banyak uap, harus dibuat close loop dimana uap yang dihasilkan diinjeksi kembali ke dalam bumi. Namun ada masalah serius lainnya yang muncul dari bumi. Bumi yang tidak panas lagi. Solusinya adalah proses make-up well di mana perusahaan membor sumur baru untuk memanfaatkan panas buminya jadi panasnya dikeluarkan ke permukaan bumi agar bisa dimanfaatkan.

Jika dilihat ada 2 proses besar yang dilakukan PGEO dalam Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yaitu proses pembuatan gas (termasuk infrastruktur closed loop) dan proses pembuatan listrik.

Sebagian Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dikerjakan seluruhnya oleh PGEO, mulai dari pembuatan gas (operator sumur) hingga pembuatan listrik (operator pembangkit listrik) seperti di lokasi Karaha dan Lumut Balai.

Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah listrik. Namun, di banyak lokasi, PGEO bekerja sama dengan PLN melalui PLN atau anak usaha PLN, Indonesia Power. Dimana PGEO berperan sebagai pembuat gas dan PLN sebagai pembuat listrik. Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah uap.

Pada kasus tertentu, seluruh proses dikerjakan oleh kontraktor (pihak ketiga) melalui skema kontrak operasi Bersama (KOB). Kontraktor meminta izin untuk mengerjakan area operasi tersebut dengan imbalan memberikan sebagian laba bersihnya kepada PGEO. Kejadian ini dilakukan dengan Star Energy, anak usaha Barito Pacific (BRPT), pada area operasi Darajat, Salak, dan Wayang Windu.

Jadi proyeknya dikerjakan oleh Star Energy, lalu Star Energy membayar sekitar 3% dari laba operasi bersih ke PGEO. Jangka waktu KOB berlaku hingga tahun 2039-2041 untuk seluruh proyek. Namun, perjanjian ini dapat diperpanjang lagi sebagai Izin Panas Bumi oleh Menteri ESDM. Total kapasitas KOB ini yang dikerjakan oleh kontraktor ini dihitung sebagai joint operating contract sebesar 1.205 MW. Angka JOC sebesar 1.205 MW ini berasal dari 875 MW Star Energy dan 330 MW Sarulla Operations.

Resiko bisnis PGEO

Pertama, lokasi sumur potensi panas bumi berada di daerah yang jauh dari daerah padat penduduk. Hal ini berarti memiliki letak geografis yang sulit dijangkau. Karakteristik PLTP yang panasnya harus diolah di tempat membuat diperlukannya investasi awal yang semakin besar untuk infrastruktur transmisi listriknya.

Lokasi potensi panas bumi yang jauh dari daerah padat penduduk dapat memberikan efek sedikitinya permintaan dari listrik yang dihasilkan perseroan. Perseroan meminimalisir risiko ini dengan mengusahakan setiap area operasi berdekatan dengan area padat penduduk sehingga kapasitas pembangkit listrik dapat dimaksimalkan dan listrik yang dihasilkan dapat diserap oleh masyarakat Sebagai contoh, PLTP Kamojang dan Karaha memiliki kota Bandung sebagai daerah padat penduduk, PLTP Lahendong memiliki kota Manado, PLTP Ulubelu memiliki kota Bandar Lampung, dan PLTP Lumut Balai memiliki kota Palembang.

Kedua, sumur yang sudah dibor oleh perseroan dapat mengalami penurunan kinerja atau natural decline, sehingga menjadi kurang panas dan efisiensi pembangkit juga menjadi tidak lagi maksimal. 

Salah satu cara PGEO untuk menambah panasnya adalah dengan melakukan proses make-up well (pengeboran sumur tambahan) untuk memastikan perseroan memiliki pasokan uap yang cukup untuk menggerakan pembangkit listrik perseroan. Selain itu, PGEO juga berusaha menjaga panas bumi dengan menjaga sistem close loop pada pembangkit PLTP.

Terakhir, pertumbuhan pendapatan PGEO secara signifikan hanya dapat dilakukan dengan menambah kapasitas pembangkit.

96% pendapatan perseroan berasal dari grup PLN (PLN dan PT Indonesia Power) dan sisanya berasal dari pembayaran kontraktor KOB (Star Energy) atas hak operasi di area operasi perseroan.

Selain itu, PLN memiliki pengaruh signifikan atas renegoisasi tarif PJBL dan PJBU mengingat PLN memiliki dan mengoperasikan satu-satunya jaringan listrik di mana listrik didistribusikan di Indonesia. Kontrak take-or-pay PJBU dan PJBL antara perseroan dengan PLN juga sudah pada level 90% yang berarti PLN sudah menyerap hampir semua tenaga listrik yang diproduksi perseroan. Availability dan capacity factor yang sudah di level 80-100% mengindikasikan bahwa pembangkit listrik perseroan sudah berada pada utilitas maksimum.

Dalam hal ini, PGEO sangat bergantung pada penambahan kapasitas pembangkit listrik sebagai sumber pertumbuhan, baik dari area operasi yang sudah ada maupun area operasi baru. PGEO menargetkan akan menambah kapasitas terpasang sebesar 600 MW hingga tahun 2027 sehingga total kapasitas perseroan akan menjadi 1.272 MW.

Dari sisi kapasitas, total PLTP PGEO berada di 1.877 MW, namun yang dikelola sendiri haya 672 MW. Sisanya 1.205 MW dikelola oleh Joint Operation Contract (JOC) dan perusahaan lain. Dalam beberapa tahun belakangan, kapasitasnya pun belum mengalami kenaikan.

HALAMAN SELANUTNYA >>> 

Diketahui letak geografis Indonesia yang berada di "Pacific Ring of Fire" membuat Indonesia dianugerahi potensi panas bumi yang besar dan berlimpah.

Berdasarkan proyeksi Pemerintah hingga tahun 2020, total estimasi potensi panas bumi Indonesia sebesar sekitar 24 GW merupakan yang terbesar di dunia. Berdasarkan Bank Dunia, potensi panas bumi Indonesia diperkirakan mencakup sekitar 40%dari cadangan sumber daya panas bumi dunia.

Dengan hanya sekitar 2,8GW yang beroperasi pada tahun 2022, terdapat potensi yang signifikan untuk eksplorasi lebih lanjut dan pertumbuhan organik. Total kapasitas panas bumi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dari sekitar 2,8GW pada tahun 2022 menjadi sekitar 6,2GW pada tahun 2030, dengan CAGR sekitar 10,4% dari tahun 2022 hingga 2030.

Lalu, PLTP sebagai renewable energy yaitu kontinuitas dan stabilitasnya seperti pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Energi terbarukan lainnya, seperti angin (PLTB) dan matahari (PLTS) memiliki sifat intermittent yang membuatnya hanya dapat memproduksi listrik di waktu tertentu. Dan ini menjadi salah satu faktor penting untuk costumer karena kontinuitas dan stabilitasnya dapat menjaga produktivitas.

Kemudian, di dunia renewable energy, isu carbon trading menjadi salah satu topik utama untuk dibicarakan.

Carbon trading merupakan kegiatan jual beli kredit karbon, di mana pembeli yang menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan membeli kredit karbon dari perusahaan yang berhasil mengurangi emisi karbon. Bisnis PLTP yang menghasilkan emisi karbon sebesar kurang dari 1% dari jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara dengan kapasitas yang setara. Hal ini membuat PGEO dapat menjual kredit karbon melalui Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA).

Dalam Public Expose, PGEO sudah menjual carbon credit sekitar 1,1 juta ton dengan harga US$ 0,7/ton per Juni 2022 sehingga perseroan sudah mendapat tambahan pendapatan sekitar US$ 700 ribu. Katalis peningkatan harga carbon credit yang diperkirakan menjadi US$ 1,5-2/ton dan peningkatan jumlah carbon credit yang bisa dijual membuat perseroan dapat memiliki pendapatan tambahan di masa mendatang.

Informasi tambahan PGEO

Bisnis PGEO sendiri merupakan energi terbarukan. Sehingga, produknya baru berupa pengembangan-pengembangan.

Kemudian, dalam prospektus PGEO terdapat nama Berkshire Hathway Energy (BHE). Perusahaan tersebut adalah perusahaan induk di sektor energi yang 92% sahamnya dimiliki oleh Berkshire Hathaway. Ini merupakan kendaraan investasi milik investor kakap Warren Buffet.

Berkshire Hathway Energy (BHE) tidak memiliki saham di PGEO, hanya keterlibatan Berkshire sebatas konsultan eksternal saja.

Selain itu, ada entitas yang berpartisipasi dalam IPO PGEO. Salah satu investor PGEO berasal dari Timur Tengah, keikutsertaan investor asing merupakan bagian dari Indonesia Investment Authority (INA).

Namun belum diketahui berapa persentase saham yang akan ikut dicaplok oleh investor asal Timur Tengah tersebut.

HALAMAN SELANUTNYA >>> 

PGEO belum layak beli jika dilihat dari sisi bisnisnya yang masih terbilang butuh banyak pengembangan karena PGEO masih termasuk bauran energi baru terbarukan (EBT). Diketahui PLN mencatatkan kontribusi energi baru terbarukan dalam penggunaan bahan bakar pembangkit listrik hingga November baru mencapai 12,6%. Sementara non-EBT masih sangat besar yakni 87,4%.

Menurut Direktur Mega Project PLN Muhammad Ikhsan Asaad saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (25/11/2022), dari data yang dipaparkannya menunjukkan bahwa kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih mendominasi yakni mencapai 50,4% atau sebesar 31.827 mega watt (MW). Terbesar kedua berbahan bakar gas dari pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) sebesar 19,2% atau 12.137 MW, kemudian disusul pembangkit listrik tenaga gas/ mesin gas sebesar 10,7% atau 6.765 MW, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar 7,1% atau 4.487 MW.

Maka dari itu, subtotal untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau non-EBT mencapai 87,4% atau 55.216 MW.

Sambungnya, kondisi kelistrikan kita sampai 2020 didominasi pembangkit batu bara, apalagi kita tahu ada proyek 35 ribu MW dan sudah masuk ke sistem PLN kami. Namum kami tetap berkomitmen mengejar target 23% EBT di 2025.

Namun jika melihat dari sisi rasio dan pertumbuhan labanya, PGEO bisa dipertimbangkan.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular