
Lebih Mahal Dari Kompetitor, InI Dia Risiko Bisnis PGEO

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) bergerak dalam pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). PLTP memanfaatkan sumber panas bawah tanah dari magma untuk membuat air tanah menjadi panas. Air yang panas ini nantinya akan berubah menjadi uap air. Uap ini yang akan digunakan untuk memutar turbin. Turbin memutar generator, yang akhirnya akan menghasilkan listrik.
Selain itu, PGEO merupakan pemegang hak panas bumi terbesar di Indonesia, termasuk hak atas area operasi panas bumi Star Energy.
Dalam kontraknya, Star Energy bertindak sebagai kontraktor kepada PGEO yang artinya hak operasi tetap dipegang oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Hal ini menjustifikasi nilai premium yang dimiliki oleh PGEO karena PGEO mendapat bagi hasil keuntungan dari KOB dengan Star Energy.
PGEO saat ini mempunyai total 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan 8 dioperasikan sendiri, 4 dikontrakan, dan 1 dimiliki anak usaha. Dari 8 area operasi ini, masing-masing area operasi sudah punya pembangkit listrik sendiri dengan rincian:
1. Kamojang : 235 MW
2. Lahendong : 120 MW
3. Ulubelu : 220 MW
4. Karaha : 30 MW
5. Lumut Balai : 55 MW
6. Sibayak : 12 MW (operasi dihentikan)
7. Sungai Penuh (belum beroperasi)
8. Hululais (belum beroperasi)
Bisnis memanfaatkan panas bumi untuk menjadi listrik, tidak memerlukan bahan bakar alias gratis dari hasil bumi. Namun, konsekuensinya adalah panasnya harus diolah langsung di tempat, jika tidak maka uap yang dihasilkan akan dingin kembali dan tekanannya rendah. Jika uapnya rendah, maka akan menurunkan efektivitas turbin dan listrik yang dihasilkan jadinya sedikit.
Konsekuensi lainnya adalah natural decline, yaitu alam bermasalah. Salah satunya adalah ketika tidak ada air tanah yang bisa dijadikan uap. Semakin banyak air yang diuapkan, semakin banyak juga air tanah yang akan diuapkan.
Maka jika ingin menghasilkan banyak uap, harus dibuat close loop dimana uap yang dihasilkan diinjeksi kembali ke dalam bumi. Namun ada masalah serius lainnya yang muncul dari bumi. Bumi yang tidak panas lagi. Solusinya adalah proses make-up well di mana perusahaan membor sumur baru untuk memanfaatkan panas buminya jadi panasnya dikeluarkan ke permukaan bumi agar bisa dimanfaatkan.
Jika dilihat ada 2 proses besar yang dilakukan PGEO dalam Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yaitu proses pembuatan gas (termasuk infrastruktur closed loop) dan proses pembuatan listrik.
Sebagian Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dikerjakan seluruhnya oleh PGEO, mulai dari pembuatan gas (operator sumur) hingga pembuatan listrik (operator pembangkit listrik) seperti di lokasi Karaha dan Lumut Balai.
Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah listrik. Namun, di banyak lokasi, PGEO bekerja sama dengan PLN melalui PLN atau anak usaha PLN, Indonesia Power. Dimana PGEO berperan sebagai pembuat gas dan PLN sebagai pembuat listrik. Transaksi ini diatur dalam Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) karena produk akhir yang dijual perseroan adalah uap.
Pada kasus tertentu, seluruh proses dikerjakan oleh kontraktor (pihak ketiga) melalui skema kontrak operasi Bersama (KOB). Kontraktor meminta izin untuk mengerjakan area operasi tersebut dengan imbalan memberikan sebagian laba bersihnya kepada PGEO. Kejadian ini dilakukan dengan Star Energy, anak usaha Barito Pacific (BRPT), pada area operasi Darajat, Salak, dan Wayang Windu.
Jadi proyeknya dikerjakan oleh Star Energy, lalu Star Energy membayar sekitar 3% dari laba operasi bersih ke PGEO. Jangka waktu KOB berlaku hingga tahun 2039-2041 untuk seluruh proyek. Namun, perjanjian ini dapat diperpanjang lagi sebagai Izin Panas Bumi oleh Menteri ESDM. Total kapasitas KOB ini yang dikerjakan oleh kontraktor ini dihitung sebagai joint operating contract sebesar 1.205 MW. Angka JOC sebesar 1.205 MW ini berasal dari 875 MW Star Energy dan 330 MW Sarulla Operations.
Resiko bisnis PGEO
Pertama, lokasi sumur potensi panas bumi berada di daerah yang jauh dari daerah padat penduduk. Hal ini berarti memiliki letak geografis yang sulit dijangkau. Karakteristik PLTP yang panasnya harus diolah di tempat membuat diperlukannya investasi awal yang semakin besar untuk infrastruktur transmisi listriknya.
Lokasi potensi panas bumi yang jauh dari daerah padat penduduk dapat memberikan efek sedikitinya permintaan dari listrik yang dihasilkan perseroan. Perseroan meminimalisir risiko ini dengan mengusahakan setiap area operasi berdekatan dengan area padat penduduk sehingga kapasitas pembangkit listrik dapat dimaksimalkan dan listrik yang dihasilkan dapat diserap oleh masyarakat Sebagai contoh, PLTP Kamojang dan Karaha memiliki kota Bandung sebagai daerah padat penduduk, PLTP Lahendong memiliki kota Manado, PLTP Ulubelu memiliki kota Bandar Lampung, dan PLTP Lumut Balai memiliki kota Palembang.
Kedua, sumur yang sudah dibor oleh perseroan dapat mengalami penurunan kinerja atau natural decline, sehingga menjadi kurang panas dan efisiensi pembangkit juga menjadi tidak lagi maksimal.
Salah satu cara PGEO untuk menambah panasnya adalah dengan melakukan proses make-up well (pengeboran sumur tambahan) untuk memastikan perseroan memiliki pasokan uap yang cukup untuk menggerakan pembangkit listrik perseroan. Selain itu, PGEO juga berusaha menjaga panas bumi dengan menjaga sistem close loop pada pembangkit PLTP.
Terakhir, pertumbuhan pendapatan PGEO secara signifikan hanya dapat dilakukan dengan menambah kapasitas pembangkit.
96% pendapatan perseroan berasal dari grup PLN (PLN dan PT Indonesia Power) dan sisanya berasal dari pembayaran kontraktor KOB (Star Energy) atas hak operasi di area operasi perseroan.
Selain itu, PLN memiliki pengaruh signifikan atas renegoisasi tarif PJBL dan PJBU mengingat PLN memiliki dan mengoperasikan satu-satunya jaringan listrik di mana listrik didistribusikan di Indonesia. Kontrak take-or-pay PJBU dan PJBL antara perseroan dengan PLN juga sudah pada level 90% yang berarti PLN sudah menyerap hampir semua tenaga listrik yang diproduksi perseroan. Availability dan capacity factor yang sudah di level 80-100% mengindikasikan bahwa pembangkit listrik perseroan sudah berada pada utilitas maksimum.
Dalam hal ini, PGEO sangat bergantung pada penambahan kapasitas pembangkit listrik sebagai sumber pertumbuhan, baik dari area operasi yang sudah ada maupun area operasi baru. PGEO menargetkan akan menambah kapasitas terpasang sebesar 600 MW hingga tahun 2027 sehingga total kapasitas perseroan akan menjadi 1.272 MW.
Dari sisi kapasitas, total PLTP PGEO berada di 1.877 MW, namun yang dikelola sendiri haya 672 MW. Sisanya 1.205 MW dikelola oleh Joint Operation Contract (JOC) dan perusahaan lain. Dalam beberapa tahun belakangan, kapasitasnya pun belum mengalami kenaikan.
HALAMAN SELANUTNYA >>>
(saw/pap)