Earning Report

Cerita Dibalik Lonjakan laba 49,3% PGEO & Prospek Valuasinya

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
01 June 2023 07:00
  •  Emiten anak usaha PT Pertamina (Persero) dengan bisnis hijau ini membukukan pertumbuhan laba bersih 49,3% tahunan

  • Sebagian besar dana IPO digunakan untuk ekspansi perusahaan hingga 2025

  • Valuasi PGEO yang dinilai menggunakan EV/EBITDA masih terbilang murah ketimbang rata-rata industri di domestik atau luar negeri

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten anak usaha Pertamina yang bergerak di industri energi baru terbarukan (EBT), yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) berhasil mencatat kinerja positif di kuartal I-2023 dengan membukukan laba bersih sebesar US$ 46,96 juta atau tumbuh 49,3% secara tahunan (yoy).

Hasil tersebut ditopang oleh kenaikan pendapatan usaha sebesar 18,97% YoY menjadi US$ 102,61 juta, dengan kontribusi paling besar disumbang oleh pembangkitan area Kamojang senilai US$ 40,06 juta. Wilayah ini tercatat menjadi lumbung terbesar perolehan pendapatan perusahaan dengan persentase mencapai 39,04%.

Selain itu, dalam mengoptimalkan laba PGEO juga melakukan efisiensi dengan mengurangi beban umum dan administrasi hingga 51,86% YoY, dari US$ 1,07 juta menjadi US$ 517.000 dan ada tambahan dari pendapatan keuangan yang naik hingga lebih dari 20 kali lipat secara tahunan menjadi US$ 2,76 juta dan pendapatan lain-lain naik 141,95% YoY menjadi US$ 12,85 juta.

Bagaimana posisi neracanya?

Bila dilihat dari posisi neraca PGEO selama tiga bulan pertama 2023, boleh dibilang cukup sehat. Pasalnya, PGEO masih mengalami pertumbuhan aset sebesar 15,32% menjadi US$ 2,85 miliar, jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu.

Disisi lain, posisi kas dan setara kas juga meningkat signifikan hingga 140,56% menjadi US$ 630,99 juta. Nilai ini setara dengan 22,10% dari total asetnya. Hasil tersebut membuat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek terus meningkat.

Hal ini terlihat dari posisi current ratio yang meningkat dari 50,51% menjadi 135,96% dan cash ratio naik dari 30,58% menjadi 104,09%.

Sejalan dengan itu, kewajiban perusahaan juga menyusut dari US$ 1,21 miliar pada akhir tahun lalu menjadi US$ 971,87 juta pada akhir Maret 2023. Sementara, modal perusahaan berhasil naik dari US$ 1,25 juta menjadi US$ 1,88 juta.

Hal tersebut berhasil mengimplikasi rasio utang bank terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) menyusut dari 75,29% menjadi 39,63%.

Posisi Utang Jatuh Tempo PGEO

Berdasarkan data prospektus, PGEO memiliki saldo pinjaman facilities agreement per 31 Desember 2021 sebesar US$ 600 juta yang akan jatuh tempo pada 23 Juni mendatang. Kabar baiknya, pada akhir Maret lalu PGEO sudah melakukan pembayaran sebagian Bridge Loan Facility sebesar US$ 200 juta, sehingga saldo Bridge Loan berkurang menjadi US$ 400 juta.

Membandingkan sisa saldo pinjaman tersebut dengan jumlah kas perusahaan sebesar US$ 630,93 juta tentu sudah lebih dari cukup. Akan tetapi, dalam saldo kas dan setara kas sekitar US$ 426,71 juta disimpan dalam deposito jangka pendek.

Kabar gembira lainnya pada April lalu PGEO telah mendapatkan dana segar dari penerbitan surat utang berwawasan hijau (green bond) di pasar global senilai US$ 400 juta. Sebagai informasi, penerbitan surat utang yang dilakukan perusahaan sejak April 2023 lalu sempat meraih penawaran hingga US$3,3 miliar atau terjadi kelebihan permintaan (oversubscribe) hingga 8,25 kali.

Melalui proceed dari penerbitan Green Bonds tersebut pada awal Mei ini, PGEO diketahui telah melunasi saldo bridge loan sebesar US$ 400 juta. Hal ini menjadikan struktur permodalan PGEO menjadi lebih ideal dan kuat.

Prospek Setelah IPO & Industri

Perlu diketahui, PGEO merupakan emiten yang baru saja melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 Februari lalu. Lewat IPO, PGEO berhasil meraih dana hingga Rp 9,05 triliun.

Berdasarkan rencana penggunaan dana IPO pada prospektus, sebanyak 85% atau setara Rp 7,69 triliun akan digunakan untuk ekspansi perusahaan hingga 2025, diantaranya 55% digunakan sebagai capital expenditure (capex) atau pengembangan kapasitas tambahan dari WKP operasional PGEO saat ini.

Hal tersebut dilakukan melalui pengembangan konvensional dan utilisasi cogeneration technology untuk memenuhi permintaan tambahan dari pelanggan existing PGEO. Sebagian besar dilakukan untuk WKP Lahendong, WKP Hululais, WKP Lumut Balai, dan Margabayur, WKP Gunung Way Panas, WKP Sungai Penuh, dan WKP Gunung Sibayak-Gunung Sinabung.

Kemudian, sekitar 33% akan digunakan untuk pengembangan kapasitas tambahan dari WKP operasional PGEO saat ini untuk mengantisipasi kebutuhan pasar baru, sebagian besar dilakukan di WKP Lumut Balai dan Margabayur, WKP Hululais, WKP Gunung Way Panas, dan WKP Kamojang-Darajat.

Sisanya 12% untuk investasi pengembangan kemampuan digital, analitik, dan manajemen reservoir untuk mendukung production, operation, dan maintenance excellence.

Menurut Direktur Utama PGEO, Ahmad Yuniarto, dana IPO tersebut untuk mendukung rencana perseroan dalam mengembangkan kapasitas terpasang hingga 2027 mendatang sebagai langkah untuk mengembangkan value chain dari sumber daya panas bumi Indonesia.

"Perseroan menargetkan untuk meningkatkan basis kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri dari 672 MW saat ini menjadi 1272 MW pada 2027. Selain itu juga mendukung ambisi PGE untuk terus tumbuh dan mengembangkan seluruh value chain dari sumber daya panas bumi Indonesia" Ungkap Ahmad Yuniarto dalam seremoni perdana pencatatan saham PGEO di BEI, Jumat (24/2/2023).

Perlu diketahui juga, potensi panas bumi di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia dengan sumber daya diperkirakan mencapai 11.073 MW dan cadangan sebesar 17.506 MW.

Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang melimpah dengan 331 titik potensi yang tersebar di seluruh Nusantara, mengingat juga posisi Indonesia merupakan negara di kawasan cincin api atau ring of fire.

Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, Indonesia itu terbesar kedua setelah AS dari sisi cadangan geothermal dan porsinya setara 40% dari cadangan panas bumi dunia ada di Indonesia.

"Indonesia itu second largest (terbesar kedua) setelah AS dari sisi cadangan geothermal. Dulu kalah dengan Filipina, sekarang lebih tinggi sedikit. Kita harap dengan cadangan besar, bisa dibilang 40% cadangan geothermal ada di Indonesia" Ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (1/3/2021).

Sayangnya, hingga kini berdasarkan data PLN per akhir Desember 2022, porsi cadangan panas bumi yang termasuk ke dalam EBT dalam kontribusi energi secara domestik masih sekitar 13% saja, yang artinya potensi pengembangan masih akan terus berkembang ke depan agar tercapai net zero emission pada 2050 mendatang.

Bagaimana Valuasi PGEO?

Pada perusahaan di bidang infrastruktur yang menyediakan listrik dengan energi terbarukan, tentunya aset yang digunakan untuk produksi akan mengalami depresiasi dan amortisasi. Oleh karena itu, untuk melakukan valuasi kami menggunakan EV/EBITDA.

Hingga perdagangan Selasa (30/5/5023), PGEO diperdagangkan pada EV/EBITDA sebesar 9,56 kali. Jika dibandingkan dengan rata-rata industri baik di domestik dan global yang nilainya sebesar 10,14 kali, nilai valuasi PGEO masih di bawahnya yang berarti secara teoritis valuasi masih murah atau terdiskon.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(aak/aak)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation