Newsletter
Menanti Sinyal Kebangkitan China, Titik Cerah Bagi Dunia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau bervariasi pada perdagangan Senin (30/1/2023), di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Berharga Negara (SBN) terpantau melemah, tetapi untuk rupiah menguat. Pada perdagangan Selasa (31/1/2022), perhatian tertuju pada rilis data aktivitas manufaktur China yang bisa menjadi sinyal kebangkitan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini dibahas pada halaman 3.
Kemarin IHSG ditutup melemah 0,38% ke posisi 6.872,48. Meski melemah, tetapi IHSG masih cenderung bertahan di level psikologis 6.800.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 9,8 triliun dengan melibatkan 18 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 202 saham menguat, 315 saham terkoreksi, dan 206 saham lainnya stagnan.
Investor asing hingga kemarin kembali melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 277,79 miliar di seluruh pasar.
Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik cenderung bervariasi, di mana indeks ASX 200 Australia, Hang Seng Hong Kong, PSEI Filipina, Straits Times Singapura, KOSPI Korea Selatan, dan IHSG terpantau terkoreksi.
Sedangkan untuk indeks Shanghai Composite China, BSE Sensex India, Nikkei 225 Jepang, KLCI Malaysia, dan Taiex Taiwan terpantau menguat. Hanya indeks SET Thailand yang cenderung stagnan.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin kembali ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.965/US$, naik 0,1% di pasar spot kemarin.
Tak hanya rupiah saja, mayoritas mata uang Asia terpantau menguat di hadapan the greenback (dolar AS), di mana dolar Taiwan memimpin penguatan.
Namun, beberapa mata uang Asia terpantau melemah terhadap sang greenback, yakni dolar Hong Kong, yen Jepang, rupee Malaysia, dan peso Filipina.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Senin kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya terpantau melemah dan mengalami kenaikan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor kembali melepasnya.
Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan menjadi yang terbesar kenaikan yield-nya kemarin, yakni mencapai 3,7 basis poin (bp) ke posisi 6,764%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi perhatian utama pada pekan ini. Bank sentral paling powerful di dunia ini akan mengumumkan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia, dan pasar menanti kenaikannya sebesar 25 basis poin atau 50 basis poin.
Dalam rapat kebijakan moneter akhir tahun lalu, The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin pada Maret nanti.
Namun, setelah inflasi di AS terus menurun, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin saja menjadi 4,5% - 4,75% pada pekan depan, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
Ekspektasi tersebut membuat rupiah mampu mencatat penguatan 3 pekan beruntun dan berada di level terkuat dalam 3 bulan terakhir.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (Eurpean Central Bank/ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.
ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.
Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4%.
Banyaknya pengumuman suku bunga pada pekan ini, dan akan semakin tinggi tentunya membuat pasar berhati-hati. Proyeksi kondisi ekonomi terbaru dari para bank sentral akan menjadi perhatian utama, apakah Negara Barat akhirnya mengalami resesi, atau bisa lolos.