Duh! Super Thursday Bakal Jadi "Badai" di Pasar Finansial?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau kembali bervariasi pada perdagangan Rabu (14/12/2022), di mana rupiah dan harga Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah.
Pada perdagangan Kamis (15/12/2022), perhatian tertuju pada pengumuman suku bunga beberapa bank sentral utama, atau yang disebut "Super Thursday". Sinyal awal "Super Thursday" akan menjadi "badai" di pasar finansial, sebab dini hari tadi bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kenaikan suku bunga 50 basis poin, tetapi Wall Street malah jeblok.
"Super Thursday" dan beberapa faktor yang mempengaruhi pasar finansial Indonesia akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Sementara itu menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG kemarin ditutup turun 0,13% ke posisi 6.801,749. IHSG bertahan di zona psikologis 6.800 kemarin.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 15 triliun dengan melibatkan 28 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 233 saham terapresiasi, 292 saham terdepresiasi, dan 177 saham lainnya mendatar.
Investor asing hingga kemarin masih melakukan penjualan bersih (net sell) mencapai Rp 696,36 miliar di pasar reguler.
Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas menghijau. Hanya IHSG saja yang terpantau melemah pada perdagangan kemarin.
Indeks TAIEX Taiwan memimpin penguatan bursa Asia-Pasifik kemarin, di mana indeks bursa saham acuan Negeri Formosa tersebut melesat 1,49%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin akhirnya ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.595/US$, menguat 0,42% di pasar spot kemarin.
Sedangkan di kawasan Asia, sebagian besar terpantau menguat di hadapan sang greenback. Ringgit Malaysia pun memimpin penguatan pada perdagangan kemarin.
Sementara untuk yuan China, rupee India, won Korea Selatan, dan dolar Singapura terpantau melemah dihadapan The Greenback.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas ditutup menguat dan mengalami penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor ramai memburunya
Melansir data dari Refinitiv,hanya SBN tenor 15 tahun yang yield-nya terpantau naik yakni sebesar 0,2 basis poin (bp) ke posisi 6,875%.
Sedangkan yield SBN tenor 20 tahun stagnan di level 7,154% pada perdagangan kemarin.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara melandai 11,3 bp menjadi 6,835%, menjadi penurunan yield terbesar kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa kemarin.
Investor cenderung menyambut baik rilis data inflasi di AS yang kembali melandai pada November lalu.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) tumbuh 7,1% (year-on-year/yoy) pada November, jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 7,7% (yoy). Bahkan, rilis tersebut lebih rendah dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memperkirakan 7,3%.
Pasar kini melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bp menjadi 4,25%-4,5% dengan probabilitas sebesar 83%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group. Probabilitas tersebut naik dari 73% sebelum rilis data inflasi.
Ekspektasi The Fed akan mengendur sempat membuat rupiah menguat tajam di awal Desember.
Jika The Fed benar mengendurnya laju kenaikan suku bunga, dan jika diimbangi dengan kenaikan oleh Bank Indonesia (BI), maka selisih yield obligasi AS dan Indonesia bisa jadi tidak akan menyempit lagi.
Hal ini tentunya menarik kembali minta investor asing, apalagi di tahun depan Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang akan terlepas dari resesi.
Saat capital inflow terus terjadi di pasar obligasi, pelan-pelan rupiah tentunya bisa menguat kembali. Sejak November lalu, investor asing mulai masuk kembali ke pasar obligasi sekunder.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sepanjang November terjadi inflow di pasar sekunder obligasi sebesar Rp 23,7 triliun.
Inflow tersebut menjadi yang terbesar di tahun ini. Tercatat sejak awal tahun, inflow hanya terjadi pada Februari dan Agustus saja.
Hingga 9 Desember 2022, total inflow sudah sebesar Rp 19,3 triliun, berdasarkan data DJPPR. Sehingga sejak November, total inflow di pasar SBN tercatat sekitar Rp 43 triliun.
Sepanjang tahun ini investor asing yang menjual SBN secara masif menjadi salah satu penyebab jebloknya nilai tukar rupiah.
Dengan investor asing yang mulai memborong lagi SBN sejak November, capital outflow yang terjadi pada tahun ini terus terpangkas menjadi Rp 135 triliun.
Namun di pasar saham, asing hingga kemarin masih mencatatkan outflow, sehingga IHSG juga cenderung tertahan untuk menguat.
(chd/chd)