Pada perdagangan Kamis (15/12/2022), perhatian tertuju pada pengumuman suku bunga beberapa bank sentral utama, atau yang disebut "Super Thursday". Sinyal awal "Super Thursday" akan menjadi "badai" di pasar finansial, sebab dini hari tadi bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kenaikan suku bunga 50 basis poin, tetapi Wall Street malah jeblok.
"Super Thursday" dan beberapa faktor yang mempengaruhi pasar finansial Indonesia akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin akhirnya ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara untuk yuan China, rupee India, won Korea Selatan, dan dolar Singapura terpantau melemah dihadapan The Greenback.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas ditutup menguat dan mengalami penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor ramai memburunya
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup terkoreksi pada perdagangan Rabu (14/12/2022), setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar setengah poin persentase.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,42% ke posisi 33.966,35, S&P 500 terkoreksi 0,61% ke 3.995,21 dan Nasdaq Composite merosot 0,76% menjadi 11.170,89.
Tiga indeks utama Wall Street mencapai posisi terendah harian setelah Ketua The Fed, Jerome Powell mengisyaratkan lebih banyak data diperlukan sebelum The Fed mengubah pandangannya tentang inflasi secara signifikan.
"Data inflasi yang diterima sejauh ini di bulan Oktober dan November menunjukkan penurunan yang disambut baik dalam laju kenaikan harga bulanan. Tetapi, butuh lebih banyak bukti untuk memberikan keyakinan bahwa inflasi berada di jalur penurunan yang berkelanjutan," kata Powell.
The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar setengah poin persentase atau 50 basis poin (bp) pada pertemuan terakhir di tahun 2022, sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya, sehingga suku bunga acuan kini berada di kisaran 4,25% - 4,5%.
Kenaikan suku bunga kali ini menjadi lebih lambat dari empat kenaikan suku bunga berturut-turut sebelumnya sebesar 75 bp.
Pejabat The Fed juga memperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga tahun depan, bukan menurunkan suku bunga hingga 2024.
Bank sentral Negeri Paman Sam tersebut pada akhirnya melihat dirinya menaikkan suku bunga menjadi 5,1% sebelum berhenti menaikkan, yang disebut tarif terminal yang lebih tinggi dari tingkat 4,6% yang diperkirakan pada September lalu.
Khususnya, Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) meninggalkan bagian penting dari pernyataan kebijakan bahwa mereka "mengantisipasi bahwa peningkatan berkelanjutan dalam kisaran target akan sesuai."
"Masalah besar yang membuatnya The Fed makin hawkish adalah perkiraan mereka yang menempatkan tingkat terminal di 5,1% untuk 2023, dari sebelumnya 4,6% pada pertemuan September," kata Jim Caron dari Morgan Stanley Investment Management, dikutip dari CNBC International.
Proyeksi hawkish The Fed berpotensi mengguncang pasar keuangan, sebab spekulasi bahwa The Fed akan segera menghentikan kenaikannya telah berkontribusi pada kondisi keuangan yang lebih mudah. Saham telah meningkat, sementara tingkat hipotek dan dolar telah jatuh sejak Powell bulan lalu menyarankan perubahan kebijakan akan datang.
Investor awalnya bereaksi negatif terhadap ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi lebih lama, dan saham melepaskan keuntungan sebelumnya.
Dalam konferensi pers, Powell mengatakan penting untuk terus berjuang melawan inflasi agar ekspektasi harga yang lebih tinggi tidak mengakar.
Setelah The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya yang sesuai dengan prediksi pasar, dolar AS yang sebelumnya sempat melesat, kemudian berbalik arah dan terkoreksi pada akhir perdagangan, di mana indeks The Greenback ditutup di 103,55, turun sekitar 0,4%. Indeks naik setinggi 104,16 pada jam sebelumnya.
Sedangkan, imbal hasil (yield) Treasury tenor 10 tahun juga kembali melandai 2,4 bp menjadi 3,479%, setelah The Fed menaikkan kembali suku bunga acuannya.
Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street, setelah The Fed menaikkan kembali suku bunga acuannya.
Sejatinya, kenaikan suku bunga The Fed di pertemuan terakhir tahun 2022 sudah sesuai prediksi, di mana The Fed menaikkan kembali suku bunga acuannya sebesar 50 bp menjadi 4,25% - 4,5%.
Namun yang membuat pasar kembali skeptis adalah pernyataan The Fed yang mengisyaratkan perlu lebih banyak data yang diperlukan sebelum The Fed mengubah sikap hawkish-nya dan pandangannya tentang inflasi secara signifikan.
Bersamaan dengan kenaikan tersebut, muncul indikasi bahwa para pejabat The Fed berharap untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi hingga tahun depan, tanpa pengurangan hingga 2024.
Tingkat terminal yang diharapkan, atau titik di mana para pejabat berharap untuk mengakhiri kenaikan suku bunga, ditetapkan pada 5,1%, menurut "dot plot" FOMC tentang harapan masing-masing anggota.
Investor awalnya bereaksi negatif terhadap ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi lebih lama. Namun dalam konferensi pers, Powell mengatakan penting untuk terus berjuang melawan inflasi agar ekspektasi harga yang lebih tinggi tidak mengakar.
Level baru menandai tingkat Fed Funds Rate tertinggi sejak Desember 2007, tepat sebelum krisis keuangan global dan ketika The Fed melonggarkan kebijakan secara agresif untuk memerangi apa yang akan berubah menjadi penurunan ekonomi terburuk sejak Great Depression.
Anggota The Fed memperkirakan kenaikan suku bunga hingga mencapai tingkat rata-rata 5,1% tahun depan, setara dengan kisaran target 5% - 5,25%. Pada saat itu, para pejabat cenderung berhenti sejenak untuk membiarkan dampak pengetatan kebijakan moneter menembus perekonomian.
Konsensus kemudian menunjuk ke penurunan suku bunga senilai poin persentase penuh pada tahun 2024, menjadikan suku bunga dana menjadi 4,1% pada akhir tahun itu. Itu diikuti oleh persentase poin pemotongan lainnya pada tahun 2025 ke tingkat 3,1%, sebelum patokan tersebut menetap di tingkat netral jangka panjang sebesar 2,5%.
Namun, terdapat penyebaran yang cukup luas dalam perkiraan untuk tahun-tahun mendatang, yang menunjukkan bahwa para anggota tidak yakin tentang apa yang akan terjadi di depan perekonomian yang menghadapi inflasi terburuk yang pernah terjadi sejak awal 1980-an.
Dot plot terbaru menampilkan banyak anggota yang melihat tingkat menuju jauh lebih tinggi daripada titik rata-rata untuk tahun 2023 dan 2024.
Untuk tahun 2023, tujuh dari 19 anggota komite, melihat tingkat kenaikan di atas 5,25%. Demikian pula, ada tujuh anggota yang melihat angka lebih tinggi dari rata-rata 4,1% pada tahun 2024.
Pernyataan kebijakan FOMC, yang disetujui dengan suara bulat, hampir tidak berubah dari pertemuan November lalu.
Beberapa pengamat mengharapkan The Fed untuk mengubah bahasa yang dilihatnya "peningkatan berkelanjutan" ke depan menjadi sesuatu yang kurang berkomitmen, tetapi frasa itu tetap ada dalam pernyataan.
FOMC pun menurunkan target pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2023, menempatkan perkiraan kenaikan PDB hanya 0,5%, sedikit di atas apa yang dianggap sebagai resesi.
Prospek PDB untuk tahun ini juga ditetapkan sebesar 0,5%. Dalam proyeksi September lalu, anggota mengharapkan pertumbuhan 0,2% tahun ini dan 1,2% tahun depan.
Komite juga menaikkan estimasi median untuk ukuran inflasi inti yang disukai menjadi 4,8% untuk tahun 2022, naik 0,3 poin persentase dari prospek bulan September.
Anggota sedikit menurunkan prospek tingkat pengangguran mereka untuk tahun ini dan menaikkannya sedikit lebih tinggi untuk tahun-tahun berikutnya.
Selain The Fed, pasar juga bersiap dengan kebijakan suku bunga terbaru bank sentral lainnya yakni bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB).
Tetapi, The Fed menjadi perhatian utama, karena sikap The Fed juga akan mempengaruhi bank sentral di negara lainnya.
The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp menjadi 4,25% - 4,5%, sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.
Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.
Adapun, agresifnya The Fed dalam menaikkan suku bunga bertujuan untuk mengendalikan inflasi ke target 2%. Kendati begitu, angka inflasi di AS mulai menunjukkan perlambatan.
Departemen Tenaga Kerja AS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) per November 2022 kembali melandai ke 7,1% secara tahunan (year-on-year/yoy). Melandai dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% (yoy).
Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.
Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).
Setelah The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya, dua bank sentral ternama lainnya juga dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya.
Sama halnya, Inggris dan Eropa juga berjibaku dengan angka inflasi yang tinggi. Bahkan, angka inflasi di kedua negara maju tersebut mencapai double digit.
Kantor Statistik Inggris (ONS) mengumumkan angka inflasi per Oktober sebesar 11,1% secara tahunan (yoy) dan menjadi angka inflasi tertinggi sejak Oktober 1981.
Inflasi tersebut naik dari 10,1% yoy pada bulan sebelumnya. Inflasi ini juga di atas ekspektasi para ekonom yang meramalkan inflasi sebesar 10,7%. Tekanan inflasi datang terutama dari jasa perumahan dan rumah tangga yang naik hingga 26,6% yoy, gas 128,9%, dan listrik 65,7%.
Adapun, ada yang sedikit menyelamatkan Inggris dari inflasi yang lebih tinggi, jaminan harga energi yang dipatok pemerintah. Harga makanan dan minuman nonalhokol juga naik 16,2%.
Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi Inggris pada Oktober 2022 tercatat sebesar 2%, jauh di atas bulan sebelumnya sebesar 0,5% (mtm). Inflasi itu juga di atas ekspektasi para ekonom sebesar 1,7% (mtm).
Tidak heran jika BoE pun bertindak agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya. Di sepanjang tahun ini, BoE tercatat sudah menaikkan suku bunga sebesar 275 bp dan mengirim tingkat suku bunga BoE berada di 3%.
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BoE akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp pada pertemuannya di 15 Desember 2022.
Serupa, angka inflasi di Eropa menyentuh 10,6% (yoy) pada Oktober 2022 sekaligus rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.
Berdasarkan data yang dirilis EUROSTAT, Kamis (17/11/2022), inflasi tersebut naik dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 9,9% (yoy). Namun, sedikit di bawah estimasi awal sebesar 10,7%.
Inflasi tersebut jauh di atas target ECB yang menargetkan inflasi sebesar 2% pada tahun ini.
Pelemahan mata uang euro dan melambungnya sejumlah harga komoditas menjadi biang keladi tingginya inflasi tersebut.
Inflasi di sektor energi, misalnya, naik hingga 41,5%, diikuti oleh makanan, alkohol, dan rokok sebesar 13,1%.
Sementara itu, inflasi inti tahunan yang tidak termasuk barang dengan harga bergejolak tercatat sebesar 5% (yoy), naik dari bulan sebelumnya sebesar 4,8%.
Secara bulanan (mtm), inflasi zona Eropa tercatat sebesar 1,5%, juga naik dari bulan sebelumnya sebesar 1,2% (mtm).
Pada hari ini, ECB juga dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya. Konsensus analis memprediksikan bahwa ECB akan mengekor dua bank sentral lainnya dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp.
Di sepanjang tahun ini, ECB juga agresif menaikkan suku bunga acuannya sebesar 200 bp dan membawa tingkat suku bunga acuan berada di 2%.
Inflasi tinggi yang terjadi di berbagai negara memang menjadi momok yang menakutkan, sehingga wajar saja bank sentral hampir di seluruh dunia pun kompak mengetatkan kebijakan moneternya.
Namun, kenaikan suku bunga akan berdampak pada meningkatnya volatilitas pasar keuangan global.
Beberapa waktu yang lalu, petinggi Bank Indonesia (BI), yakni Deputi Gubernur Senior, Destry Damayanti menyatakan bahwa kondisi dunia saat ini mengalami VUCA.
VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Singkatan ini menggambarkan kondisi dunia yang saat ini tengah kita rasakan, dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.
"Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity," terang Destry, dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, dikutip Senin (12/12/2022).
Senada, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo juga mengingatkan adanya ancaman global yang akan terjadi pada tahun depan.
Adapun Indonesia akan terkena dampaknya. Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka, sehingga dampak dari gejolak ekonomi global turut membawa dampak pada perekonomian Indonesia.
"Indonesia tak terlepas dari gejolak global yang dapat mengancam tekanan perlambatan ekonomi di Indonesia dan menimbulkan instabilitas pada perekonomian kita," jelas Dody dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Regional Kalimantan, dikutip Selasa (13/12/2022).
Meski begitu, BI menekankan bahwa semua risiko baik itu stagflasi dan resflasi masih bisa dimitigasi. Kuncinya adalah dengan mengkomunikasikan secara jelas arah kebijakan, sinergi, dan inovasi.
Berbeda dengan negara maju tersebut, sejumlah indikator perekonomian dalam negeri terbilang cukup apik. Angka inflasi dalam negeri yang masih cukup terjaga di 5,71% (yoy), bahkan angka inflasi per Oktober 2022 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.
Selain itu, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III 2022, pun sukses melesat ke 5,72% (yoy).
Pada hari ini di dalam negeri, pasar akan memantau rilis data neraca perdagangan pada periode November 2022.
Pasar dalam polling Trading Economics memperkirakan neraca perdagangan RI akan mengalami penurunan menjadi US$ 4,3 miliar.
Sebelumnya, neraca perdagangan per Oktober 2022 juga sukses mencetak surplus mencapai US$ 5,67 miliar dan menjadi rekor surplus selama 30 bulan beruntun.
Adapun data ekspor diprediksi turun menjadi 9,5% pada bulan lalu dan impor juga diprediksi turun menjadi 7%. Sebelumnya pada Oktober lalu, ekspor RI mencapai 12,3%, sedangkan impor Tanah Air mencapai 17,44%.
Kendati fundamental perekonomian Tanah Air terbilang mentereng di saat dunia tengah kacau, tapi investor masih tetap harus waspada sebab gejolak ekonomi global tampaknya masih akan berlangsung hingga tahun depan.
Hingga Rabu kemarin, pasar masih cenderung volatil karena pelaku pasar menilai bahwa kondisi global yang belum memungkinkan membuat pergerakan pasar keuangan global masih bergelombang.
Inflasi global yang masih cukup tinggi dan bank sentral di beberapa negara yang masih bersikap hawkish pun membuat investor selalu berubah sikap dengan cepat, membuat pergerakan pasar keuangan masih dilanda ketidakpastian.
Namun apakah fenomena 'santa claus rally' tidak akan terjadi pada tahun ini?
Santa Claus Rally merupakan momen spesifik, di mana ada kecenderungan Wall Street akan mengalami kenaikan di 5 hari terakhir perdagangan setiap tahunnya, dan berlanjut di 2 hari pertama tahun yang baru.
Artinya, Santa Rally di AS sejatinya akan dimulai pada 26 Desember, dan berakhir pada 3 Januari 2023.
Namun jika pasar masih dihadapkan dengan kondisi pasar yang masih tidak pasti dan potensi resesi semakin kuat, maka fenomena Santa Claus Rally berpotensi tidak terjadi pada tahun ini.
Di Tanah Air, fenomena di pasar keuangan terutama di pasar saham pada akhir tahun dikenal dengan window dressing.
Mengutip laman Investopedia.com, window dressing adalah strategi dari manajer investasi untuk meningkatkan performa portfolio sebelum disajikan kepada klien atau pemegang saham. Istilah ini melekat pada akhir tahun, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada akhir kuartal.
Tak hanya oleh manajer investasi, window dressing juga berlaku pada perusahaan atau emiten yang mengambil tindakan untuk meningkatkan laporan keuangan mereka. Contohnya saja penjualan dengan promo di akhir tahun agar mendapatkan pendapatan.
Window dressing diharapkan mampu meningkatkan performa investasi dalam jangka pendek. Oleh karena itu, sektor-sektor 'hot' atau yang memiliki volatilitas tinggi akan menjadi pilihan.
Para investor pun tidak kalah meramaikan gelaran ini dengan berburu keuntungan dalam jangka pendek. Alhasil performa indeks saham pun terdongkrak di ujung tahun.
Namun pada tahun ini, fenomena window dressing cenderung dipertanyakan karena sejak awal bulan ini, pergerakan IHSG cenderung melemah.
Secara historis, IHSG pada akhir tahun selalu membukukan kinerja yang positif. Rata-rata kinerja IHSG pada Desember dalam 15 tahun terakhir tercatat 3,61%.
Kenaikan tertinggi terjadi pada Desember 2008 yakni 9,17%. Sementara raihan terkecil yakni 0,42% pada Desember 2013.
Namun dengan IHSG yang memulai Desember tahun ini dengan koreksi membuat fenomena ini pun seakan berpotensi tidak terjadi, apalagi hingga kemarin, IHSG masih terkoreksi, meski koreksinya sudah cenderung terpangkas.
Tetapi, perdagangan Desember 2022 masih cukup jauh untuk menuju perdagangan terakhir di tahun ini, sehingga peluang adanya fenomena window dressing atau santa claus rally versi lokal masih cukup besar.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Keputusan suku bunga Federal Reserve (02:00 WIB),
- Federal Reserve Press Conference (02:30 WIB),
- Rilis data harga ekspor-impor Korea Selatan periode November 2022 (04:00 WIB),
- Rilis data neraca perdagangan Jepang periode November 2022 (06:50 WIB),
- Rilis data ekspor-impor Jepang periode November 2022 (06:50 WIB),
- Rilis data tingkat pengangguran Australia periode November 2022 (07:30 WIB),
- Rilis data indeks harga rumah China periode November 2022 (08:30 WIB),
- Rilis data produksi industri China periode November 2022 (09:00 WIB),
- Rilis data penjualan ritel China periode November 2022 (09:00 WIB),
- Rilis data tingkat pengangguran China periode November 2022 (09:00 WIB),
- Rilis data fixed asset investment China periode November 2022 (09:00 WIB),
- Rilis data final tingkat pengangguran Singapura periode kuartal III-2022 (09:30 WIB),
- Rilis data neraca perdagangan Indonesia periode November 2022 (11:00 WIB),
- Rilis data ekspor-impor Indonesia periode November 2022 (11:00 WIB),
- Rilis data inflasi Prancis periode November 2022 (14:45 WIB),
- Keputusan suku bunga Bank of England (19:00 WIB),
- Keputusan suku bunga Europe Central Bank (20:15 WIB),
- Rilis data penjualan ritel Amerika Serikat periode November 2022 (20:30 WIB),
- Rilis data klaim pengangguran mingguan periode pekan yang berakhir 11 Desember 2020 (20:30 WIB),
- ECB Press Conference (20:45 WIB),
- Rilis data produksi industri Amerika Serikat periode November 2022 (21:15 WIB).
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Luar Biasa PT Mega Manunggal Property Tbk (09:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Nusa Palapa Gemilang Tbk (10:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Organon Pharma Indonesia Tbk (10:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (11:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Guna Timur Raya Tbk (11:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Unilever Indonesia Tbk (13:30 WIB),
- Pembayaran dividen tunai PT Delta Dunia Makmur Tbk,
- Pembayaran dividen tunai PT Sarana Menara Nusantara Tbk,
- Penawaran Umum Perdana (IPO) PT Venteny Fortuna International Tbk (VTNY).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (November 2022 YoY) | 5,42% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022) | 5,25% |
Surplus Anggaran (APBN 2022) | 3,92% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY) | US$ 1,3 miliar |
Cadangan Devisa (November 2022) | US$ 134 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA