CNBC Indonesia Research

Permintaan Nikel Diramal Melambung, Cadangan RI Bakal Habis?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
15 December 2022 09:25
Bijih Besi (REUTERS/Beawiharta)
Foto: Bijih Besi (REUTERS/Beawiharta)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki cadangan 'harta karun' dari berbagai komoditas, salah satunya nikel. Bahkan, cadangan nikel di dalam negeri menjadi yang terbesar di dunia. Namun, sejalan dengan permintaan yang meningkat, persediaan nikel diramal akan cepat habis. Bagaimana dengan persediaan nikel di Indonesia?

Nikel merupakan salah satu jenis logam dasar yang di gadang-gadang jadi komoditas masa depan. Nikel merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, mengutip dari Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/ kadar rendah). Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton nikel.

Menyusul Indonesia, ada Australia dengan cadangan nikel mencapai 15%, lalu Brazil 8%, Rusia 5%, dan gabungan sejumlah negara lainnya seperti Filiphina, China, Kanada, dan lainnya 20%.

Indonesia memiliki kandungan bijih nikel mencapai 11,7 miliar ton dan cadangan 4,5 miliar ton, yang termasuk nikel kadar rendah (limonite nickel) dan nikel kadar tinggi (saprolite nickel).

Umur cadangan bijih nikel Indonesia disebutkan bisa mencapai 73 tahun, untuk jenis bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5% (limonite nickel).

Asumsi umur cadangan tersebut berasal dari jumlah cadangan bijih nikel limonit mencapai 1,7 miliar ton dan kebutuhan kapasitas pengolahan (smelter) di dalam negeri sebesar 24 juta ton per tahun.

Pengolahan bijih nikel kadar rendah ini biasanya menggunakan teknologi hydrometalurgi menjadi berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nickel hydroxide (NiOH).

Adapun produk MHP dan NiOH ini bisa diolah lagi menjadi bahan baku komponen baterai kendaraan listrik maupun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Sementara untuk bijih nikel kadar tinggi di atas 1,5% (saprolite nickel), umur cadangan disebutkan hanya cukup untuk sekitar 27 tahun ke depan.

Hitungan tersebut dengan asumsi jumlah bijih saprolit sebesar 2,6 miliar ton dan kapasitas kebutuhan bijih untuk smelter dalam negeri mencapai 95,5 juta ton per tahun.

"Bijih nikel kadar tinggi biasanya menggunakan teknologi pyrometalurgi yang bisa menghasilkan produk nickel matte, Nickel Pig Iron (NPI), dan feronikel (FeNi)," tulis keterangan Booklet Nikel tersebut.

Produksi

Tak tanggung-tanggung, dari sisi produksi, Indonesia juga menduduki juara pertama. Melansir data U.S Geological Survey (USGS) 2021, Indonesia menjadi negara dengan produksi nikel terbesar di dunia. Bahkan, USGS memprediksikan bahwa produksi nikel dari Indonesia pada 2021 sukses meningkat hingga 30% dengan kontribusi terbanyak dari proyek nikel pig iron dan baja tahan karat terintegrasi.

USGSSumber: USGS2021

Sejak dulu hingga 2019, Indonesia tercatat masih melakukan ekspor bijih nikel mentah yang harganya pun lebih murah.

Namun, pada 1 Januari 2020, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal tersebut sebagai langkah untuk menghidupkan hilirisasi industri demi mendorong nilai tambah di dalam negeri.

Terbukti, dalam catatan Menteri BUMN Erick Thohir, pada tahun 2021 lalu nilai tambah dari hasil ekspor nikel melalui hilirisasi tembus 2600% atau menjadi US$ 27 miliar atau setara dengan Rp 421 triliun (asumsi kurs Rp 15.595/US$) dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya US$ 1 miliar.

Sementara dari catatan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), nilai tambah ekspor hasil hilirisasi nikel mencapai US$ 33 miliar atau Rp514 triliun (kurs Rp 15.595 per US$) untuk periode Januari-Oktober 2022.

Kebijakan penghentian untuk menghentikan ekspor bijih nikel bukan tanpa pro-kontra. Uni Eropa (UE) yang bergantung pada pasokan nikel dari RI langsung membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sebagai informasi, Indonesia mengekspor 98% nikelnya ke China dan sisanya ke UE. Blok kerja sama ekonomi di Benua Biru tersebut merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah RI. Pantas saja, jika UE sangat bergantung terhadap nikel Indonesia.

Namun, persediaan nikel di dunia diprediksi akan cepat habis seiring dengan peningkatan permintaan untuk produksi Electric Vehicle (EV) dan memenuhi transformasi energi hijau

Lalu, bagaimana nasib persediaan nikel di Indonesia? Simak di halaman berikutnya>>>>>

Berdasarkan analisis dari International Energy Agency (IEA) pada risetnya dengan judul "Total Nickel Demand by Sector and Scenario 2020-2040" yang diperbaharui pada 24 Januari 2022, bahwa Filipina diprediksikan akan kehabisan bijih nikel pada awal 2030 karena nikel adalah sumber daya alam yang terbatas.

Dampaknya diproyeksikan akan berimbas pada China sebab Filipina merupakan importir terbesar bagi Negeri Tirai Bambu tersebut.

Sementara pada 2030, permintaan akan nikel untuk bahan baku baterai mobil listrik (Electric Vehicle/EV) di Eropa akan bertambah hingga menyamai total permintaan di seluruh dunia pada 2021.

Senada, Germany's Fraunhofer Institute memprediksikan permintaan nikel untuk EV di seluruh dunia akan bertambah hingga 2,4 juta ton pada 2040 dan terus bertambah hingga 6 juta ton pada 2050.

Negara produsen nikel lainnya, tentu saja dapat mengisi kekurangan tersebut. Namun, dapat menghabiskan cadangan mereka sendiri jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Selain itu, adanya target menuju transformasi hijau melalui "net zero emissions" pada 2050 akan mendorong permintaan akan nikel meningkat menjadi lebih dari 6,2 juta ton per tahun pada 2040. Angka tersebut naik hampir 170% dari permintaan pada 2020.

Lalu, bagaimana nasib persediaan nikel Tanah Air?

Melansir data Kementerian ESDM, pada 2021 produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton, naik 2,17% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 2,41 juta ton.

Tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Awalnya produksi olahan nikel hanya sebesar 927.900 ton pada 2018. Angka ini terus naik, salah satunya ditopang oleh produksi feronikel.

Sementara di tahun ini, Kementerian ESDM menargetkan produksi olahan nikel hingga 2,58 juta ton, melalui produksi Feronikel sebesar 1,66 juta ton, nickel pig iron 831.000 ton dan nickel matte 82.900 ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa saat ini sebagian besar konsumsi bijih laterit didominasi oleh bijih tipe saprolite kadar nikel tinggi untuk smelter berteknologi Rotary Kiln Electric furnace (RKEF) untuk memproduksi nikel kelas 2 seperti feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).

Jumlah cadangan bijih tipe saprolite dengan kandungan nikel lebih besar dari 1,7% dan nikel lebih besar dari 1,5% sebesar 1,76 miliar ton dan 2,75 miliar ton biji basah.

Menurut Ridwan, cadangan bijih dengan kandungan nikel lebih besar dari 1,7% akan habis pada 2031, apabila tidak ada penambahan cadangan dan konsumsi biji mencapai tingkatan di mana semua smelter yang direncanakan telah terbangun dan seluruhnya beroperasi dengan kapasitas produksi 210 juta ton bijih basah per tahun.

Sedangkan, jika digunakan bijih dengan kandungan nikel lebih besar dari 1,5%, maka cadangan bijih saprolite akan habis pada 2036.

"Konsumsi bijih laterit tipe limonite kadar nikel rendah di Indonesia untuk pabrik HPAL yang memproduksi nikel kelas 1 masih relatif rendah. Jumlah cadangan bijih tipe saprolit dengan kandungan nikel lebih kecil dari 1,7% dan Ni lebih kecil dari 1,5% masing-masing sebesar 2,80 miliar ton dan 1,81 miliar ton biji basah," tuturnya pada konferensi pers Kamis (12/5/2022).

Ridwan menambahkan bahwa cadangan biji untuk kandungan nikel lebih rendah dari 1,5% masih dapat bertahan hingga 2025 jika semua pabrik HPAL yang direncanakan telah terbangun dan seluruhnya beroperasi dengan kapasitas produksi 58 juta ton biji basah per tahun.

Maka dari itu, meski Indonesia dapat meraih untung yang sangat luar biasa dari produksi dan ekspor olahan nikel, tapi para pelaku industri dan pemerintah harus tetap memperhatikan persediaan nikel dalam negeri.

Guna memastikan persediaan mencukupi di tengah permintaan yang meningkat, sehingga harga nikel dunia tidak melambung terlalu tinggi dan mengganggu perwujudan target net zero emission dan transformasi energi hijau yang lebih ramah lingkungan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular