
RI Kalah Gugatan Nikel di WTO, Ngefek ke Investasi Smelter?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekalahan Indonesia atas gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait penghentian ekspor bijih nikel dikhawatirkan akan berdampak pada investasi. Terutama, untuk program peningkatan nilai tambah komoditas tambang, tepatnya proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral.
Lantas, bagaimana pemerintah menyikapi kekhawatiran ini?
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menjelaskan bahwa kunci dalam menarik minat investasi para investor dunia yakni adanya kepastian hukum. Oleh sebab itu, pemerintah akan menjamin iklim investasi di Indonesia ramah bagi para investor.
"Kita harus sediakan karpet merah, kan Presiden bahasanya sudah jelas, jangan ada yang menghambat investasi, jadi akan kita layani baik baik," kata Ridwan saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (6/12/2022).
Namun demikian, Ridwan memastikan bahwa pemerintah bakal mengajukan banding atas kekalahan RI dalam gugatan Uni Eropa ke WTO tersebut. Bahkan, pemerintah telah menyiapkan tim untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Kalau itu isunya kemarin walaupun sudah kalah kita tetap banding," ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia tetap mempunyai pendirian kuat mengenai kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Sekalipun dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai bahwa keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga pemerintah akan melakukan banding. Dengan begitu, Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang sudah diterapkan saat ini.
"Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB)," kata dia dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII, Senin (21/11/2022).
Pemerintah juga akan mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral (nikel) dengan mempercepat proses pembangunan smelter. Adapun final panel report yang sudah keluar pada tanggal 17 Oktober 2022 berisi beberapa poin penegasan.
"Memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994," kata Arifin.
Berikutnya, menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Kemudian, final report akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda DSB pada tanggal 20 Desember 2022.
Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berpotensi Buka Keran Ekspor Bijih Nikel, Ini Reaksi Antam