Newsletter

Alamak! Tingkat Kesengsaraan di Amerika Serikat Makin Tinggi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 July 2022 06:10
Demo warga Michigan, Amerika Serikat wujud kekecewaan warga setelah Gubernur Michigan memerintahkan warga tetap di rumah guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (AP Photo/Paul Sancya)
Foto: Demo warga Michigan, Amerika Serikat wujud kekecewaan warga setelah Gubernur Michigan memerintahkan warga tetap di rumah guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (AP Photo/Paul Sancya)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar finansial Indonesia sedikit membaik pada perdagangan Kamis kemarin. Rupiah tidak lagi melemah, meski tidak juga menguat. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu mencatat penguatan tipis.

Di perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (8/7/2022), IHSG dan rupiah punya peluang menguat melihat sentimen pelaku pasar global yang sedikit membaik. Meski demikian, kekhawatiran akan resesi yang dimulai dari Amerika Serikat (AS) masih terus membayangi. Sinyal-sinyal resesi terus bermunculan, bahkan tingkat kesengsaraan melesat. Beberapa isu tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini akan dibahas pada halaman 3.

IHSG kemarin mampu mencatat penguatan tipis 0,1% ke 6.652,587, setelah bolak-balik ke zona merah.

Meski IHSG menguat, investor asing masih terus melalukan aksi jual bersih (net sell), kemarin nilainya mencapai Rp 671 miliar di pasar reguler, nego dan tunai.

Kemudian rupiah berakhir stagnan di Rp 14.995/US$, padahal sepanjang perdagangan menguat melawan dolar.

Dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang menanjak. Hanya SBN tenor 1 tahun yang mengalami penurunan yield.

Rilis data cadangan devisa Indonesia mempengaruhi pergerakan pasar.

Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir bulan lalu berada di US$ 136,4 miliar. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 135,6 miliar.

Cadangan devisa merupakan "amunisi" bagi BI untuk melakukan intervensi terhadap pergerakan rupiah jika mengalami tekanan yang besar. BI memiliki kebijakan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, obligasi, dan domestic non-deliverable forward (DNDF).

Stabilitas rupiah menjadi modal penting agar investor asing mau mengalirkan modalnya ke dalam negeri.

"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Juni 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa," sebut keterangan tertulis BI.

Selain itu ada rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed), yang mengindikasikan bisa bertindak lebih agresif lagi.

Tingginya inflasi membuat The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Seperti diketahui pada bulan lalu The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan di bulan ini akan kembali menaikkan sekitar 50 - 75 basis poin. Hal itu ditegaskan dalam rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed Kamis dini hari.

Bahkan, dalam notula tersebut tersurat The Fed bisa mengambil kebijakan lebih agresif lagi jika tekanan inflasi belum mereda.

"Para anggota dewan setuju bahwa prospek ekonomi memerlukan kebijakan yang ketat, dan mereka mengakui kebijakan yang lebih ketat lagi akan tepat diambil jika tekanan inflasi yang tinggi terus berlanjut," tulis notula tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Menghijau, S&P 500 Menguat 4 Hari Beruntun

Bursa saham AS (Wall Street) menghijau lagi pada perdagangan Kamis waktu setempat, indeks S&P 500 dan Nasdaq mampu mencatat penguatan 4 hari beruntun.

Penguatan tersebut terjadi menjelang rilis data tenaga kerja yang menjadi salah satu indikator penting kesehatan ekonomi AS.

Indeks S&P 500 tercatat menguat 1,5% ke 3.902,62, Nasdaq memimpin sebesar 2,3% ke 11.621,35, dan Dow Jones naik 1,1% ke 31.384,5.

Wall Street masih mampu menguat meski data yang dirilis Kamis kemarin menunjukkan klaim tunjangan pengangguran mingguan menjadi 235.000 klaim, tertinggi sejak 15 Januari lalu. Rilis tersebut juga lebih tinggi dari hasil survei yang dilakukan Dow Jones sebesar 230.000 klaim.

Selain itu, perusahaan Challenger, Gray & Christmas melaporkan sepanjang Juni ada rencana PHK sebanyak 32.517 pekerja di berbagai perusahaan. Angka tersebut melesat 57% dari bulan sebelumnya dan tertinggi sejak Februari 2021. Perusahaan otomotif dilaporkan memiliki rencana PHK paling banyak, yakni 10.198.

"Para pengusaha mulai merespon tekanan finansial dan pelambatan permintaan dengan pemangkasan biaya. Pasar tenaga kerja masih ketat, tetapi mungkin akan melemah dalam beberapa bulan ke depan" kata Andrew Challenger, vice presiden Challenger, Gray & Christmas, sebagaimana dilansir CNBC International.

Inflasi yang tinggi serta kenaikan suku bunga yang agresif oleh The Fed mulai menunjukkan menunjukkan dampaknya ke pasar tenaga kerja. Di bulan ini, The Fed bahkan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 - 75 basis poin.

Banyak investor merasa sulit mempercayai kenaikan tersebut karena kekhawatiran terhadap resesi terus membayangi Wall Street. Pelaku pasar memprediksikan bahwa musim rilis kinerja keuangan akan bergejolak bulan ini.

"Jadi, saya pikir kita masih memiliki musim panas ini untuk mengawasi apa yang dilakukan The Fed dan mengawasi apa yang terjadi pada kebijakan internasional untuk melihat arah inflasi," tutur Direktur Pelaksana UBS Private Wealth Management Alli McCartney dikutip CNBC International.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street yang menguat tajam pada perdagangan Kamis waktu setempat tentunya memberikan angin segar ke pasar Asia hari ini. Meski demikian, pelaku pasar juga masih akan berhati-hati sebab malam ini ada rilis data tenaga kerja AS. 

Data tersebut terdiri dari penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), tingkat pengangguran dan perubahan rata-rata upah per jam. Data ini merupakan salah satu indikator yang digunakan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, selain data inflasi tentunya. 

Seperti disebutkan halaman sebelumnya, rencana PHK melonjak signifikan pada bulan lalu. Tentunya ini bisa menjadi sinyal pasar tenaga kerja mulai melemah. 

Selain itu, Indeks Kesengsaraan (Misery Index) yang mengukur tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat juga mulai menanjak. Data ini dipublikasikan oleh Federal Reserve Economic Data (FRED), mencapai 12% pada Mei lalu.

Level yang sama terjadi pada awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) dan awal krisis finansial 2008.

Artinya, tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan sama seperti sebelum krisis finansial global dan awal pandemi Covid-19, dan keduanya berujung pada resesi Amerika Serikat.

Selain itu yield Treasury kembali mengalami inversi, yang menjadi sinyal awal terjadinya resesi.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi Covid-19.
Kuatnya sinyal resesi di Amerika Serikat, dan berisiko menyebar ke negara lainnya terutama di Barat, membuat pasar finansial sulit untuk reli, termasuk di Indonesia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Dari dalam negeri, data indeks keyakinan konsumen (IKK) yang akan mempengaruhi pergerakan pasar. Pada bulan lalu Bank Indonesia (BI) merilis hasil Survei Konsumen. Hasilnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2022, yang bertepatan dengan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, berada di 128,9. Naik tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 113,1 dan menjadi rekor tertinggi.

IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.

Dengan inflasi yang meninggi bulan lalu, tentunya akan berdampak pada keyakinan konsumen. Jika menunjukkan penurunan maka akan menjadi kabar yang kurang bagus. Sebab, semakin tinggi IKK, konsumen cenderung akan semakin banyak belanja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Begitu juga sebaliknya.

Belanja rumah tangga merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran, dengan porsi mencapai 53,65% di kuartal I-2022.

Ketika konsumen mengurangi belanjanya, maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa semakin membuat investor asing getol menarik modalnya dari pasar saham.

Sebaliknya jika IKK kembali menanjak, maka akan akan memberikan dampak positif ke pasar finansial Indonesia.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Listing PT Cerestar Indonesia Tbk
  • Listing PT Arkora Hydro Tbk
  • Listing PT Chemstar Indonesia Tbk
  • RUPS PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
  • RUPS DCI Indonesia Tbk
  • RUPS Nes Visi Media Tbk
  • RUPS Maha Properti Indonesia Tbk
  • RUPS PT Kawasan Industri Jababeka Tbk
  • RUPS PT Mineral Sumberdaya Mandiri Tbk
  • Belanja rumah tangga & transaksi berjalan Jepang (6:50 WIB)
  • Indeks keyakinan konsumen Indonesia (8:30 WIB)
  • Neraca perdagangan & transaksi berjalan Prancis (13:45 WIB)
  • Transaksi berjalan Turki (14:00 WIB)
  • Inflasi Brasil (19:00 WIB)
  • Data tenaga kerja Kanada (19:00 WIB)
  • Data tenaga kerja AS (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY)

5,01%

Inflasi (Juni 2022 YoY)

4,35%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY)

0,07% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY)

US$ 1,82 miliar

Cadangan Devisa (Juni 2022)

US$ 136,4 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Resesi AS Bisa Jadi Berkah Bank RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular