Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia kembali tertekan Rabu kemarin. Rupiah yang paling menjadi sorotan setelah menembus Rp 15.000/US$ untuk pertama kalinya sejak Mei 2020.
Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sukses rebound Selasa lalu kembali masuk ke zona merah. Artinya, dalam 8 hari perdagangan, IHSG sudah merosot selama 7 kali.
Isu resesi dunia terus membayangi pergerakan pasar finansial global, termasuk di dalam negeri. Warga Amerika Serikat bahkan merasa resesi sebenarnya sudah terjadi. Selain itu analis menyebut warga AS semakin "miskin". Tentunya miskin yang disebutkan tersebut tidak sama dengan di Indonesia.
Bagaimana kondisi di Negeri Paman Sam, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
IHSG pada perdagangan Rabu berakhir di 6.646,410, melemah 0,85%.
Sementara itu rupiah meski sempat menembus ke atas Rp 15.000/US$, rupiah masih berakhir di bawahnya. Melansir data Refintiv, rupiah melemah tipis 0,07% ke Rp 14.995/US$. Dengan demikian rupiah sudah melemah dalam 7 hari beruntun.
Pelemahan rupiah tersebut juga menjadi perhatian Bank Indonesia (BI).
"Pemicu utama datang dari pasar keuangan global, dimana pelaku pasar khawatir akan terjadinya perlambatan lebih jauh atas ekonomi global bahkan khawatir bisa masuk ke kondisi resesi, khususnya ekonomi Amerika Serikat, dimana data terkini sepertinya mendukung terhadap kekhawatiran tersebut. Sementara ancaman inflasinya terus menghantui di banyak negara," kata Edi Susianto Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/7/2022).
Isu resesi memang terus menggentayangi pasar. Tidak hanya Amerika Serikat, dunia juga diperkirakan mengalami resesi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Hal tersebut (isu resesi) mendorong pelaku pasar global untuk mencari safe haven currency dan safe haven asset. Safe haven currency condong ke dolar AS dan safe haven asset condong cash market dan Treasury (obligasi) AS," Jelas Edi.
"Artinya dari pergerakan nilai tukar, banyak mata uang non USD khususnya mata uang EM (Emerging Market) mengalami pelemahan, tentunya termasuk Rupiah," paparnya.
Sementara itu Surat Berharga Negara (SBN) kembali bervariasi, tetapi mayoritas mengalami penguatan.
Hanya SBN tenor 3, 5 dan 20 tahun yang mengalami pelemahan, terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang naik.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harganya naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti ada aksi beli.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Menghijau, S&P 500 Cetak Hattrick
Bursa saham AS (Wall Street) sukses menguat pada perdagangan Rabu waktu setempat. Ketiga indeks utama mampu kompak menguat meski tidak terlalu besar.
Indeks S&P 500 tercatat menguat 0,36% ke 3.845,08, dan sukses membukukan penguatan 3 hari beruntun. Indeks Dow Jones naik 0,23%% ke 31.037,68, dan Nasdaq 0,35% ke 11.361,85.
Meski mampu menguat, kekhawatiran resesi masih terus membayangi. Apalagi yield Treasury kembali mengalami inversi.
Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun (2,996%) lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun (2,934%). Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.
Sementara itu bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.
Indeks S&P 500 sejak awal tahun hingga Juni lalu sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Penguatan Wall Street bisa menjadi angin segar ke pasar Asia pada perdagangan hari ini, termasuk Indonesia. IHSG berpeluang menguat, meski risiko akan bergerak volatil lebih besar akibat isu resesi.
Beberapa analis memperkirakan resesi di Amerika Serikat akan terjadi di akhir tahun ini, atau tahun depan.
Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi dua kuartal beruntun (year-on-year/yoy).
Amerika Serikat memang belum mengalami hal tersebut, tetapi warganya sudah merasakan kemerosotan perekonomian. Bloomberg mengutip hasil survei yang dilakukan CivicScience pada bulan lalu menunjukkan sepertiga warga Amerika Serikat percaya perekonomian sudah mengalami resesi saat ini.
Kemudian Misery Index yang mengukur tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat juga mulai menanjak. Menurut Bloomberg Economics, Misery Index di AS sudah mencapai 12,2%, level yang sama terjadi pada awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) dan awal krisis finansial 2008.
Artinya risiko kemerosotan perekonomian Amerika Serikat sudah di depan mata. Inflasi yang mencapai 8,6% (yoy) Mei lalu, dan mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir sangat memukul daya beli masyarakat, bahkan dikatakan membuat menjadi lebih miskin.
Inflasi terus meroket, sementara kenaikan upah di AS jauh tertinggal. Rata-rata kenaikan upah pada Mei tercatat sebesar 5,2% (yoy).
Alhasil konsumen di Amerika Serikat menjadi tidak pede dalam menatap perekonomian. Indeks Keyakinan Bisnis (IKK) turun ke bawah level 100 di bulan Juni yang menandakan pesimistis.
"Masyarakat semakin miskin. Jadi ini bukan resesi, tetapi benar-benar terasa seperti resesi," kata Ludovic Subran, kepala ekonom di Allianz SE, sebagaimana dilansir Bloomberg, Rabu (6/7/2022).
Belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, kontribusinya ke PDB mencapai 70%. Ketika konsumen merasa "miskin", maka belanja tentunya akan merosot, maka tak salah jika banyak yang memperkirakan resesi akan terjadi.
Masalahnya tidak hanya di AS, banyak negara yang diprediksi akan mengalami resesi akibat masalah yang sama, tingginya inflasi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Tingginya inflasi membuat bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Seperti diketahui pada bulan lalu The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan di bulan ini akan kembali menaikkan sekitar 50 - 75 basis poin. Hal itu ditegaskan dalam rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed dini hari tadi.
Bahkan, dalam notula tersebut tersurat The Fed bisa mengambil kebijakan lebih agresif lagi jika tekanan inflasi belum mereda.
"Para anggota dewan setuju bahwa prospek ekonomi memerlukan kebijakan yang ketat, dan mereka mengakui kebijakan yang lebih ketat lagi akan tepat diambil jika tekanan inflasi yang tinggi terus berlanjut," tulis notula tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.
Komitmen The Fed untuk bertindak semakin agresif guna meredam inflasi membuat yield Treasury kembali menanjak. Hal ini bisa memberikan tekanan bagi SBN.
Rupiah juga berisiko kembali melemah, selain akibat kemungkinan capital outflow dari pasar obligasi, indeks dolar AS terus melesat. Pada perdagangan Rabu indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut naik 0,53% ke atas 107, menyentuh level tertinggi 20 tahun yang baru.
The Fed dan bank sentral lainnya yang agresif menaikkan suku bunga diperkirakan membuat dunia mengalami resesi. Hal ini membuat harga minyak mentah merosot, baik West Texas Intermediate (WTI) dan Brent kini berada di bawah US$ 100/barel.
Penurunan minyak mentah tersebut bisa meredakan tekanan inflasi energi, dan untuk Indonesia beban impor akan berkurang.
Dari dalam negeri, rilis data cadangan devisa Indonesia akan menjadi perhatian. Bank Indonesia (BI) pada awal bulan lalu melaporkan cadangan devisa pada akhir Mei sebesar US$ 135,6 miliar, turun US$ 100 juta dibandingkan bulan sebelumnya.
Sepanjang bulan Juni lalu, rupiah tertekan dengan pelemahan tercatat sebesar 2,16%, menjadi yang terbesar Juli 2020 ketika melemah 2,5%.
Jika cadangan devisa menurun tajam, ada indikasi BI banyak melakukan intervensi. Tetapi jika penurunan tidak terlalu besar atau malah meningkat, artinya rupiah bergerak sesuai mekanisme pasar dan minim intervensi. Hal ini bisa menjadi kabar bagus, sebab dengan besarnya tekanan dari eksternal dan kebutuhan valuta asing yang besar di dalam negeri, pelemahan rupiah tidak mengalami kemerosotan tajam.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Cadangan devisa Jepang (6:50 WIB)
- Neraca perdagangan Australia (8:30 WIB)
- Cadangan devisa Indonesia (10:00 WIB)
- Tingkat pengangguran Swiss (12:45 WIB)
- Cadangan devisa Swiss (14:00 WIB)
- Cadangan devisa China (15:00 WIB)
- Cadangan devisa Singapura (16:00 WIB)
- Notula rapat kebijakan moneter ECB (18:30 WIB)
- Data tenaga kerja AS versi ADP (19:15 WIB)
- Neraca perdagangan AS (19:30 WIB)
- Klaim tunjangan pengangguran AS (19:30 WIB
- Cadangan devisa Rusia (20:00 WIB)
- Stok minyak mentah AS (22:00 WIB)
- IPO PT Saraswanti Indoland Development Tbk.
- RUPS PT Summarecon Agung Tbk
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Juni 2022 YoY) | 4,35% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | 4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY) | 0,07% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY) | US$ 1,82 miliar |
Cadangan Devisa (Mei 2022) | US$ 135,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA