Meski demikian, IHSG masih rentang kembali merosot, begitu juga dengan rupiah yang bisa menembus ke atas Rp 14.500/US$ pada perdagangan Rabu (6/7/2022), sebab itu resesi dunia terus menghantui. Bahkan tidak sekedar resesi, ada yang memperkirakan akan terjadi long recession, yang akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
IHSG Selasa kemarin sukses mencatat penguatan 0,97% ke 6.703,266. Sayangnya, investor asing masih melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 575,51 miliar di pasar reguler, tunai dan nego.
Sementara itu rupiah tercatat melemah 0,13% melawan dolar Amerika Serikat ke Rp 14.985/US$ yang merupakan level terlemah sejak Mei 2020. Rupiah kini berjarak 0,1% saja dari level psikologis Rp 15.000/US$.
Pelemahan rupiah terus dipantau oleh Bank Indonesia. Gubernur BI, Perry Warjiyo memberikan sinyal kebijakan baru dalam menyikapi perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan mempengaruhi kondisi dalam negeri.
Hal ini disampaikan Perry dalam siaran pers yang diterbitkan Senin (4/7/2022). Sederet ketidakpastian global ditandai dengan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih, serta makin luasnya kebijakan proteksionisme oleh berbagai negara.
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan bila diperlukan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional," jelasnya.
Dari pasar obligasi, hanya SBN tenor 25 dan 30 tahun yang mengalami penguatan tipis.
Total dana asing yang keluar dari pasar obligasi Indonesia menembus US$ 3,1 miliar pada kuartal lalu. Investor asing meninggalkan Indonesia bukan karena faktor fundamental domestik tetapi lebih karena kekhawatiran resesi.
Senin (4/7/2022) pasar Amerika Serikat libur merayakan Hari Kemerdekaan. Tetapi, begitu perdagangan kembali dibuka Selasa waktu setempat bursa saham AS (Wall Street) bergerak liar.
Indeks S&P 500 dan Dow Jones langsung jeblok hingga 2% di awal perdagangan, sementara Nasdaq minus 1,7%.
Namun S&P 500 dan Nasdaq perlahan bangkit dan sukses menguat 0,16% ke 3.831,39 dan 1,75% ke Rp 11.322,24. Dow Jones masih tertahan di zona merah, berada di 30.967,82 atau melemah 0,4%.
Outlook perekonomian AS memberikan kekhawatiran kepada pelaku pasar. Dalam 5 pekan terakhir, Wall Street merosot sebanyak 4 kali, indeks S$P 500 sudah jeblok lebih dari 20% dari rekor tertingginya.
Para ekonom yakin Produk Domestik Bruto (PDB) AS akan terkontraksi di kuartal II-2022 yang menjadi indikasi resesi, sebab pada Januari - Maret sudah terjadi hal yang sama.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen menggelar pertemuan virtual bersama Wakil Perdana Menteri China Liu He untuk mendiskusikan masalah makroekonomi hari ini.
"Pasar saham AS sudah memasukkan faktor perlambatan ekonomi, dan memperhitungkan fakta bahwa The Fed dipaksa menaikkan suku bunga yang memicu perlambatan," tutur penasihat ekonomi kepala Allianz Mohamed El-Erian kepada CNBC International.
Pekan ini, investor masih menunggu rilis data pekerjaan di Juni yang akan dirilis pada Jumat (8/7). Melansir prediksi analis Dow Jones, pertumbuhan pekerjaan baru di Juni hanya sekitar 250.000 pekerjaan yang melambat dari bulan sebelumnya sebanyak 390.000 pekerjaan di Mei. Meski begitu, analis masih memprediksikan angka pengangguran tetap di 3,6%.
Pada Rabu (6/7) waktu setempat juga akan dirilis risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang berfluktuasi belum bisa memberikan sentimen positif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini. Malah, isu resesi dunia masih akan terus menghantui pasar finansial global termasuk Indonesia.
Jebloknya harga minyak mentah menjadi indikasi ketakutan pasar akan resesi dunia. Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) ambrol 8,2% ke bawah US$ 100/barel, bahkan sebelumnya sempat merosot lebih dari 10%. Brent juga merosot hingga 9,5% ke US$ 102,77/barel.
Ketakutan akan terjadinya resesi membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Indeksnya dolar AS pun melesat lebih dari 1% ke atas level 106 yang merupakan posisi tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Hal ini tentunya bisa membuat rupiah terpuruk ke atas Rp 15.000/US$.
Saat rupiah terpuruk, tekanan bagi IHSG dan SBN akan lebih besar lagi.
Isu resesi diawali dari Amerika Serikat yang diprediksi akan mengalami resesi di akhir tahun ini, bahkan bisa lebih cepat lagi.
Inflasi di AS yang mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 40 tahun terakhir membuat daya beli masyarakatnya tergerus. Seperti diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 70%.
Ketika motor penggerak perekonomian tersebut tersendat, maka pelambatan ekonomi pasti terjadi.
Guna meredam kenaikan inflasi, bank sentral AS (The Fed) agresif menaikkan suku bunga. Hingga Juni lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Bulan ini, bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50 - 75 basis poin, dan di akhirnya tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.
Masalah muncul di sini, suku bunga yang dianggap pro pertumbuhan berada di bawah 2,5%, sementara di atasnya akan memicu kontraksi ekonomi.
Maklum saja, dengan suku bunga tinggi, kredit akan seret, ekspansi dunia usaha juga akan melambat, begitu juga dengan belanja konsumen yang akan semakin tertekan.
Alhasil, Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami resesi. Negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini bahkan diperkirakan akan mengalami resesi yang panjang, meski kontraksi ekonominya tidak akan dalam.
"Kabar baiknya ada batas seberapa parah resesi akan terjadi. Kabar buruknya resesi akan terjadi dalam waktu yang panjang," kata Robert Dent, ekonom senior di Nomura Securities, sebagaimana dilansir Bloomberg, Minggu (3/7/2022).
Dent melihat kontraksi ekonomi AS akan mencapai 2% yang dimulai pada kuartal IV-2022 dan akan berlanjut sampai tahun depan.
Sejak perang dunia II, rata-rata kontraksi ekonomi AS saat resesi sebesar 2,5%, dan tingkat pengangguran akan naik sekitar 3,8 poin persentase, dan laba perusahaan akan merosot hingga 15%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Ketika Amerika Serikat mengalami resesi, negara-negara lainnya juga akan terkena dampak buruknya. Masalahnya tidak hanya AS, negara-negara dengan nilai perekonomian besar juga diperkirakan akan mengalami resesi akibat menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
Dari semua negara tersebut, hanya bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ) yang belum menaikkan suku bunga. Tetapi ECB sudah mengatakan akan menaikkan di bulan ini dan September, jadi hanya Jepang saja yang tidak ikut arus.
Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sudah 5 kali menaikkan suku bunga hingga Juni lalu. Suku bunga BoE saat ini 1,25% menjadi yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir.
Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) Selasa kemarin kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,35%, tertinggi sejak Maret 2019. RBA sudah menaikkan suku bunga dalam 3 bulan beruntun.
Bank sentral Kanada dan Korea Selatan juga sudah menaikkan suku bunga beberapa kali.
"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.
Jepang merupakan negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar ketiga di dunia, Inggris berada di urutan kelima.
Kanada di urutan kesepuluh, Korea Selatan dan Australia masing-masing menempati urutan dua belas dan tiga belas.
Kemudian zona euro terdiri dari 19 negara, yang termasuk di dalamnya Jerman Prancis dan Italia, yang masuk 10 besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia. PDB total 19 negara tersebut berada menjadi yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Ketika para raksasa ekonomi tersebut mengalami kontraksi beruntun, maka dunia akan mengalami resesi.
Resesi tersebut bisa lebih dalam dan panjang seandainya kenaikan suku bunga yang agresif belum mampu menurunkan inflasi.
Paul Gambles, managing partner di MBMG Group mengatakan menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi yang saat ini terjadi merupakan kebijakan yang salah.
"Menaikkan suku bunga untuk menurunkan demand, sehingga inflasi menurun bukan merupakan solusi yang tepat. Sebab, tingginya inflasi saat ini dipicu oleh masalah supply," kata Gambles, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (4/7/2022).
Ia menambahkan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menjadi yang pertama menyatakan kebijakan moneter tidak bisa mengurangi supply shock, tetapi mereka masih terus menaikkan suku bunga.
Isu long recession dunia masih akan terus membayangi pasar finansial termasuk Indonesia, sehingga pergerakan IHSG, rupiah hingga SBN masih akan terus berfluktuasi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Penjualan ritel zona euro (16:00 WIB)
- S&P Global Composite PMI Amerika Serikat (20:45 WIB)
- ISM non-manufaktur PMI Amerika Serikat (21:00 WIB)
- Distribution date deviden PT Metrodata Electronics Tbk
- Distribution date deviden PT Total Bangun Persada Tbk
- Recording date deviden PT Indo-Rama Synthetics Tbk
- Recording date deviden PT Bayu Buana Tbk
- RUPS PT AirAsia Indonesia Tbk
- RUPS PT Sentra Food Indonesia Tbk
- RUPS PT PAM Mineral Tbk
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Juni 2022 YoY) | 4,35% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | 4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY) | 0,07% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY) | US$ 1,82 miliar |
Cadangan Devisa (Mei 2022) | US$ 135,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA