Newsletter

Bukan Resesi, Dunia Bakal Hadapi Long Recession!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 July 2022 06:10
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Wall Street yang berfluktuasi belum bisa memberikan sentimen positif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini. Malah, isu resesi dunia masih akan terus menghantui pasar finansial global termasuk Indonesia. 

Jebloknya harga minyak mentah menjadi indikasi ketakutan pasar akan resesi dunia. Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) ambrol 8,2% ke bawah US$ 100/barel, bahkan sebelumnya sempat merosot lebih dari 10%. Brent juga merosot hingga 9,5% ke US$ 102,77/barel. 

Ketakutan akan terjadinya resesi membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Indeksnya dolar AS pun melesat lebih dari 1% ke atas level 106 yang merupakan posisi tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Hal ini tentunya bisa membuat rupiah terpuruk ke atas Rp 15.000/US$. 

Saat rupiah terpuruk, tekanan bagi IHSG dan SBN akan lebih besar lagi. 

Isu resesi diawali dari Amerika Serikat yang diprediksi akan mengalami resesi di akhir tahun ini, bahkan bisa lebih cepat lagi.

Inflasi di AS yang mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 40 tahun terakhir membuat daya beli masyarakatnya tergerus. Seperti diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 70%.

Ketika motor penggerak perekonomian tersebut tersendat, maka pelambatan ekonomi pasti terjadi.

Guna meredam kenaikan inflasi, bank sentral AS (The Fed) agresif menaikkan suku bunga. Hingga Juni lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Bulan ini, bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50 - 75 basis poin, dan di akhirnya tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.

Masalah muncul di sini, suku bunga yang dianggap pro pertumbuhan berada di bawah 2,5%, sementara di atasnya akan memicu kontraksi ekonomi.

Maklum saja, dengan suku bunga tinggi, kredit akan seret, ekspansi dunia usaha juga akan melambat, begitu juga dengan belanja konsumen yang akan semakin tertekan.

Alhasil, Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami resesi. Negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini bahkan diperkirakan akan mengalami resesi yang panjang, meski kontraksi ekonominya tidak akan dalam.

"Kabar baiknya ada batas seberapa parah resesi akan terjadi. Kabar buruknya resesi akan terjadi dalam waktu yang panjang," kata Robert Dent, ekonom senior di Nomura Securities, sebagaimana dilansir Bloomberg, Minggu (3/7/2022).

Dent melihat kontraksi ekonomi AS akan mencapai 2% yang dimulai pada kuartal IV-2022 dan akan berlanjut sampai tahun depan.

Sejak perang dunia II, rata-rata kontraksi ekonomi AS saat resesi sebesar 2,5%, dan tingkat pengangguran akan naik sekitar 3,8 poin persentase, dan laba perusahaan akan merosot hingga 15%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular