
Yield Treasury AS Melonjak Lagi, Tapi Yield SBN Malah Turun

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Rabu (6/7/2022), menandakan bahwa investor cenderung pesimis pada hari ini.
Mayoritas investor mengoleksi SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 5 dan 20 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan kenaikan yield dan melemahnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 5 tahun menguat 3,1 basis poin (bp) ke posisi 6,232%, sedangkan yield SBN bertenor 20 tahun naik 1,8 bp ke 7,302%.
Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik menurun 2,1 bp ke posisi 7,277% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) terpantau cenderung menguat pada hari ini, di mana yield Treasury tenor 2 tahun dengan yield Treasury tenor 10 tahun kembali mengalami inversi, menandakan adanya peringatan resesi.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun menguat 2,5 bp ke posisi 2,841% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan Selasa kemarin di 2,816%.
Sedangkan untuk yield Treasury berjatuh tempo 10 tahun naik 0,5 bp ke 2,816%, dari sebelumnya pada Selasa kemarin di 2,811%.
Terjadinya inversi sering ditafsirkan sebagai tanda peringatan bahwa ekonomi mungkin melemah dan resesi bisa terjadi di depan mata. Inversi yield antara Treasury tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun terakhir terjadi pada 31 Maret lalu dan secara singkat kembali terjadi pada Juni lalu.
Pelaku pasar menjadi semakin khawatir tentang potensi resesi dalam beberapa pekan terakhir karena data ekonomi melemah. Sedangkan Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell berkomitmen tetap agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk memerangi inflasi yang melonjak.
Jika The Fed menaikkan suku bunga terlalu tajam lagi, maka pertumbuhan ekonomi kuartal berikutnya dapat berujung pada resesi.
Di lain sisi, investor di global menanti hasil dari rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50-75 basis poin (bp), dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25-3,5%.
Masalah muncul di sini, suku bunga yang dianggap pro pertumbuhan berada di bawah 2,5%, sementara di atasnya akan memicu kontraksi ekonomi.
Maklum saja, dengan suku bunga tinggi, kredit akan seret, ekspansi dunia usaha juga akan melambat, begitu juga dengan belanja konsumen yang akan semakin tertekan.
Negeri Paman Sam diperkirakan akan mengalami resesi. Negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut bahkan diperkirakan akan mengalami resesi yang panjang, meski kontraksi ekonominya tidak akan dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi