
The Fed Bakal Makin Galak, Resesi Makin Dekat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pejabat Federal Reserve (The Fed) kembali menekankan perlunya memerangi inflasi, bahkan jika dapat memperlambat ekonomi. Pada Rabu (6/7) waktu setempat, telah dirilis risalah pertemuan The Fed periode 14-15 Juni yang menunjukkan bahwa The Fed kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga sebanyak 50 hingga 75 basis poin (bps). Setelah kenaikan sebelumnya sebesar 75 bps pada bulan Juni.
The Fed menilai bahwa kenaikan suku bunga pinjaman sebanyak tiga perempat poin persentase di Juni masih perlu untuk mengendalikan kenaikan biaya hidup yang berjalan pada level tertinggi sejak 1981.
Para pejabat The Fed menyadari dampak pengetatan kebijakan moneter tersebut akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi untuk sementara waktu, tapi mereka masih memprioritaskan untuk memerangi inflasi hingga ke target 2%.
Dalam catatan risalah The Fed juga menyatakan bahwa mereka perlu membuat langkah-langkah untuk meyakinkan pasar dan publik bahwa mereka sungguh-sungguh untuk memerangi inflasi.
"Banyak peserta menilai bahwa risiko signifikan yang sekarang dihadapi Komite adalah inflasi yang meningkat dan mengakar jika publik mulai mempertanyakan keputusan Komite untuk menyesuaikan sikap kebijakan yang diperlukan," tulis dokumen tersebut dikutip CNBC International.
Pejabat The Fed pada pertemuan tersebut masih optimis tentang jalur ekonomi jangka panjang, meskipun mereka kembali menurunkan perkiraan PDB secara tajam dari 2,8% ke 1,7% tahun ini.
Ditambah, beberapa kekhawatiran seperti laporan belanja konsumen AS yang melambat dan bisnis menahan investasi mereka karena kenaikan biaya. Selain itu, perang di Ukraina yang berdampak menghambat pasokan dan penguncian Covid di China membuat The Fed memperkirakan lonjakan inflasi yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed, diperkirakan mencapai 5,2% tahun ini naik dari sebelumnya 4,3%.
Setelah serangkaian kenaikan suku bunga, The Fed berada di posisi yang baik untuk mengevaluasi keberhasilan, sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Mereka mengatakan kebijakan yang lebih ketat dapat diterapkan jika inflasi tidak turun.
The Fed juga memberikan sinyal bahwa serangkaian kenaikan akan membawa ke tingkat suku bunga 3,4% tahun ini, di atas tingkat netral jangka panjang di 2,5%.
Namun, pendekatan tersebut terjadi ketika ekonomi AS sedang goyah.
PDB AS pada kuartal pertama tahun ini sudah terkontraksi sebanyak 1,6% dan kini berada di jalur penurunan 2,1% di kuartal kedua, jika melihat data dari alat pelacak GDPNow Fed Atlanta.
Secara teknis, penurunan pada PDB secara beruntun dapat diartikan bahwa ekonomi memasuki resesi, meskipun dangkal.
Menurut Kepala Strategi Ekuitas LPL Financial Quincy Krosby bahwa sejak pertemuan The Fed terakhir, situasi ekonomi AS telah melemah karena kondisi keuangan yang ketat.
Dia juga menambahkan bahwa saat ini para pelaku pasar ingin mengetahui apa yang The Fed pikirkan jika data ekonomi menunjukkan penurunan lebih jauh dan inflasi tidak sepadan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Alarm Resesi AS Menguat, Rupiah Dekati Rp 15.000/USD