Newsletter

IHSG Sudah Jeblok 7%, Indonesia Tak Lagi "Surga" Investasi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 05/07/2022 06:10 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia babak belur awal pekan kemarin akibat kecemasan akan resesi yang berisiko melanda dunia.

Investor asing yang sebelumnya getol mengalirkan modal ke dalam negeri kini mulai menariknya kembali. Indonesia yang dulu menjadi "surga" investasi pasar saham kini mulai ditinggalkan. Jika aksi jual tersebut berlanjut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berisiko kembali jeblok pada perdagangan Selasa (5/7/2022). Rupiah juga berisiko menembus Rp 15.000/US$.

IHSG kemarin sempat jeblok hingga 3,5% ke 6.559,637, sebelum perlahan dipangkas dan mengakhiri perdagangan di 6.639,172. Meski berhasil dipangkas, penurunan masih terbilang besar 2,3%. Bahkan, IHSG sudah mencatat penurunan 6 hari beruntun dengan total nyaris 7%.

Investor asing melakukan jual bersih (net sell) senilai Rp 572 miliar di pasar reguler, tunai dan nego. Dengan demikian, sejak pekan lalu total net sell nyaris Rp 4,5 triliun.

Net sell tersebut mengurangi inflow di pasar saham sepanjang tahun ini menjadi Rp 61 triliun. Inflow tersebut memang masih besar, tetapi tentunya berisiko semakin tergerus jika isu resesi dunia terus menggentayangi, apalagi ditambah dengan pelambatan ekonomi di dalam negeri.

Indonesia bisa tidak lagi menjadi "surga" investasi. Aliran modal yang mengalir deras ke pasar saham Indonesia dalam dua bulan terakhir sudah cabut.

Data pasar menunjukkan sepanjang bulan Juni investor asing net sell sebesar Rp 7,5 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar dari bulan sebelumnya Rp 3,5 triliun, berdasarkan data CEIC. Padahal, dalam 4 bulan pertama tahun ini, investor asing getol melakukan beli bersih.

Puncaknya pada bulan April lalu saat net buy mencapai US$ 40 triliun. Indonesia seolah menjadi "surga" investasi saat perang Rusia dan Ukraina terjadi. Eropa mengalami capital outflow yang masif, modal tersebut mencari tempat baru untuk "berkembang biak" dan Indonesia menjadi salah satu tujuannya.

Capital outflow yang terjadi belakangan ini dari pasar saham dalam negeri menjadi salah satu pemicu jebloknya IHSG yang turut menyeret rupiah yang kini semakin mendekati Rp 15.000/US$. Melansir data Refinitiv, rupiah kemarin melemah 0,2% melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 14.965/US$. Dengan demikian rupiah hanya berjarak 0,23% dari level psikologis Rp 15.000/US$.

Sebelumnya, rupiah sudah membukukan pelemahan 4 pekan beruntun dengan total 3,5%.

Pergerakan berbeda terjadi di pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan di tenor 1 tahun, 15 dan 30 tahun mengalami penurunan

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harganya naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti ada aksi beli. Meski belakangan menguat, tetapi capital outflow di pasar obligasi sepanjang tahun ini sangat besar. Bank Indonesia (BI) mencatat sejak awal tahun hingga 23 Juni 2022, investor asing jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 105,1 triliun.

Menguatnya SBN bisa menjadi indikasi investor mendisvestasikan investasinya, dan memasukkan ke aset yang lebih aman dengan fix income.

Isu resesi dunia membuat sentimen pelaku pasar masih sulit untuk membaik.

Kepala ekonom global Citigroup, Nathan Sheets, mengatakan risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50% dalam 18 bulan ke depan.

"Ekonomi global terus dilanda guncangan supply yang parah, yang membuat inflasi meninggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Tetapi, kini dua faktor lagi muncul, yakni bank sentral yang menaikkan suku bunga dengan sangat agresif serta demand konsumen yang melemah," kata Sheets sebagaimana dilansir Yahoo Finance, Rabu (22/7/2022).

Berdasarkan model yang dibuat, Sheet melihat produk domestik bruto (PDB) dunia di tahun ini akan tumbuh 2,3%, turun dari sebelumnya 2,6%, sementara untuk 2023 sebesar 1,7% turun dari proyeksi sebelumnya 2,1%.

"Kami menyimpulkan bank sentral menghadapi tantangan yang sangat berat dalam menurunkan inflasi. Berkaca dari sejarah, langkah yang digunakan untuk menurunkan inflasi memberikan dampak buruk ke perekonomian, dan kami saat ini melihat probabilitas hampir 50% dunia akan mengalami resesi. Bank sentral sejauh ini belum menerapkan kebijakan soft landing atau pelambatan ekonomi tanpa memicu inflasi dalam proyeksi mereka, begitu juga dengan yang kami lihat," tambah Sheets.

Ketika dunia terancam resesi, perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pelambatan. Hal ini terlihat dari aktivitas sektor manufaktur yang berkespansi tetapi berada di level terendah sejak September 2021.

Ekspansi yang rendah terjadi saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kini lebih longgar ketimbang akhir tahun lalu. Hal ini bisa menjadi indikasi perekonomian Indonesia mulai melambat. Apalagi industri pengolahan merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. DI kuartal I-2022 kontribusinya lebih dari 19% dari total PDB.


HALAMAN SELANJUTNYA >>>  Wall Street Libur, Bursa Eropa & Asia Bervariasi


(pap/pap)
Pages