Newsletter

Hati-hati Resesi!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 June 2022 06:00
World Economic Forum (REUTERS/Arnd Wiegmann)
Presiden ECB Christine Lagarde (REUTERS/Arnd Wiegmann)

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street akan membuat pasar keuangan Asia cenderung bermain aman.

Kedua adalah hasil rapat bank sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB). Presiden Christine Lagarde dan kolega tetap mempertahankan suku bunga acuan deposit rate -0,5%. Suku bunga acuan berada di teritori negatif sejak 2014.

Namun nada hawkish sangat kentara dalam rapat kali ini. Program pembelian aset alias quantitative easing akan berakhir pada 1 Juli, dan dalam rapat 21 Juli mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps.

"Dewan berencana kenaikan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps dalam Juli. Dewan juga memperkirakan ada kenaikan lagi pada September. Jika inflasi diperkirakan masih tinggi, maka kenaikan suku bunga acuan yang lebih tinggi pada September menjadi layak," sebut keterangan tertulis ECB.

"Kami akan memastikan inflasi kembali sesuai target 2% dalam jangka menengah. Ini bukan langkah, tetapi perjalanan," kata Lagarde dalam konferensi pers usai rapat, sebagaimana diwartakan Reuters.

Dalam proyeksi terbarunya, ECB memperkirakan inflasi di Zona Euro pada 2022 mencapai 6,8%. Naik ketimbang proyeksi sebelumnya yakni 5,1%.

"Jika Anda ingin (inflasi) bisa 2,1% pada 2024 dan seterusnya, apakah penyesuaian (suku bunga acuan) akan lebih tinggi? Jawabannya adalah ya," lanjut Lagarde.

Well, ini namanya bukan tersirat lagi melainkan sudah tersurat. Sudah terang benderang, cetha wela-wela, crystal clear, tidak ada perdebatan, tidak usah pengkajian sematik. ECB bakal menaikkan suku bunga acuan bulan depan dan bulan-bulan sesusahnya, titik.

ecbSumber: Refinitiv

Artinya, iklim suku bunga tinggi sudah semakin nyata. Saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada uang murah yang begitu melimpah ketika pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Inflasi memang menyakitkan, dia adalah 'copet' yang membuat kantung berlubang. Harga barang dan jasa yang naik gila-gilaan pasti sangat memberatkan, terutama bagi mereka yang berpendapatan tetap.

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya ekstra dalam menjangkar ekspektasi inflasi agar tidak bergerak liar. Kenaikan suku bunga adalah salah satunya. Dengan kenaikan suku bunga, maka uang beredar akan berkurang dan saat jumlahnya turun maka nilai uang bisa relatif lebih terjaga.

Namun kenaikan suku bunga harus dibayar mahal. Seperti punya bodyguard yang melindungi kita dari copet, ada biaya yang harus dikeluarkan.

Kenaikan suku bunga akan membuat biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha menjadi ikut terkerek. Akibatnya, konsumsi dan investasi akan melambat sehingga ikut menahan pertumbuhan ekonomi.

Bank Dunia pun memberi wanti-wanti. Pada 1970-an, saat dunia mengalami inflasi tinggi akibat kenaikan harga minyak (oil boom), bank sentral di berbagai negara juga menaikkan suku bunga acuan secara agresif.

Efek sampingnya luar biasa, ekonomi bukannya tumbuh malah terkontraksi alias minus. Bahkan sampai menyebabkan resesi global.

"Upaya pemulihan saat itu membutuhkan kenaikan suku bunga acuan secara tajam. Akan tetapi, dampaknya adalah memicu resesi global dan krisis keuangan di negara berkembang," tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospect edisi Juni 2022.

Halaman Selanjutnya -->Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular